Bab. 17

996 27 0
                                    

Memang luar biasa cepatnya Biau-koh bergerak tetapi sepasang rahib dari Po-to-san dan Tian toa-siocia juga bergerak cepat sekali.

Saat itu kesepuluh jari Tian toa-siocia sudah menerkam dan sepasang rahib itupun agak merebahkan tubuh ka belakang. Lengan jubah mereka tiba2 dikibaskan ke atas, plak, plak . . . terdengar bunyi tamparan keras ketika kedua lengan jubah sepasang rahib itu saling berbentur.

Menyusul dengan itu terdengar" bunyi krek krek macam tulang patah, Dan Tian toa-siocia menjerit ngeri.

Ternyata kedua rahib itu memancarkan tenaga murni Hok-mo-cin-gi mereka kearah lengan jubah. Dan ketika membentur jari Tian toa-siocia, tak ampun lagi kesepuluh jari tangan si toa-siocia remuk semua .....

Waktu melihat Tian toa-siocia tadi menerjang maju, Biau-koh sudah menyadari kalau puterinya bakal celaka. Dia tahu kalau puteri sulungnya itu berwatak keras. Tindakannya menerjang musuh itn tentu hendak mengadu jiwa maka Biau-kohpun buru2 mnndur hendak melepaskan puterinya dari kepungan. Tetapi pada saat dia berada di belakang kedua rahib, ternyata sudah terlambat. Sepuluh jari puterinya sudah rompal hancur.

Sudah tentu Biau-koh gugup dan sedih. Cepat dia dorongkan kedua tangannya kearah punggung kedua rahib.

Kedua rahib itu cepat menghantam ke belakang. Tetapi ternyata serangan Biau-koh itu hanya gertakan kosong, walaupun tampaknya dilancarkan dengan dahsyat.

Biau-koh sudah memperhitungkan bahwa kedua rahib itu tentu akan membalikkan tangan menghantam ke belakang. Maka dia menunggu saja. Begitu tangan kedua rahib itu mengayun ke belakang, Biau-koh menarik pulang tangannya dan memancarkan tenaga dalam dengan jempol jari.

Tepat sekali perhitungan Biau-koh itu. Telapak tangan kedua rahib itu tepat membentur jempol jari Biau-koh. Gemas karena puterinya menderita luka parah, Biau-koh salurkan tenaga-dalam dengan penuh, uh, uh kedua rahib itu mendesuh tertahan dan sebelah lengannya terkulai melentuk.

Berhasil dengan tutukan itu, dengan cepat Biau-koh melanjutkan pula, menyusuri lengan kedua rahib itu dan menutuk tiga buah jalandarah lengan mereka. Dan berbareng itu, kedua kakinya susul-menyusul melepaskan tendangan.

Sungguh tiada tara kecepatan Biau-koh melepaskan tendangan berantai itu sehingga tokoh sakti seperti kedua rahib dari Po-to-san itu tak sempat berbalik tubuh lagi.

Bluk, bluk . . . . tendangan Biau-koh tepat mengenai pinggang lawan dan kedua rahib itu pun terlempar ke udara. Jika lain orang tentulah sudah remuk tulangnya menerima tendangan Biau-koh seperti itu. Tetapi berkat tenaga-dalam Hok-mo-cin-gi yang digunakan untuk melindungi diri, waktu melayang di udara kedua rahib itu berjumpalitan dua kali untuk menghapus tenaga tendangan Biau-koh, setelah itu baru melayang turun ke tanah.

Seumur hidup rasanya baru pertama kali itu dia menderita hinaan yang sedemikian hebat.

Setelah berdiri tegak, wajah mereka berubah membesi, sebelah lengannya masih melentuk tak dapat digerakkan. Walaupun tak sampai cacat tetapi karena kena ditutuk beberapa kali oleh Biau-koh maka lengan itupun tak dapat berfungsi.

Dalam pada itu setelah menendang kedua lawan, Biau-koh cepat menghampiri puterinya. kesepuluh jari Tian toa-siocia remuk, wajah pucat lesi, menandakan kalau dia menderita kesakitan hebat.

Biau-koh menarik puterinya supaya berada dibelakangnya dan dia sendirilah yang akan menghadapi keempat lawan yang tangguh itu.

"Ma," kata Tian toa-siocia dengan napas terengah2, "apakah engkau mampu menghadapi mereka berempat?"

Biau-koh tertawa nyaring, "Tolol! Apakah mamamu pernah gentar menghadapi siapa saja? Apakah engkau tak menyaksikan bagaimana tadi mama telah menghajar kedua rahib busuk itu dengan tendangan? Biar mereka sedikit tahu rasa. Nanti setelah kukeluarkan Hiat-hun-jiau, mereka pasti akan kelabakan setengah mati karena tak punya empat kaki untuk melarikan diri!"

Kuda BesiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang