Bab 18

972 22 0
                                    

Tulisan itu digurat dalam sekali. Bukan dengan benda tajam melainkan dengan jari2 Biau-koh yang digambari dengan tenaga-dalam.

Melihat tulisan itu kini Kun Hiap menyadari apa sebab Thian Go dan rombongannya seperti orang yang kehilangan semangat. Memang mereka datang ke situ karena tahu kalau Biau-koh sudah tak memiliki kedua pusaka itu lagi. Selama Biau-koh masih punya kedua pusaka, tak seorang musuh yang betapa saktinya berani datang mencari balas kepadanya.

Thian Go dan rombongannya, merupakan tokoh-tokoh golongan Ceng-pay. Sudah tentu mereka merasa malu atas tindakannya itu. Bahkan tokoh yang setengah Ceng-pay setengah Sia-pay (setengah Putih setengah Hitam) seperti Sam Coat, juga tak luput dari rasa kerupukan.

Kun Hiap memandang ke arah Biau-koh dan Tian toa-siocia. Menilik keadaannya, pada saat pintu besi hampir jebol, keduanya lalu bunuh diri.

Kun Hiap terlongong-longong seperti orang yang kehilangan semangat. Sejak dalam rumah tangganya terjadi perobahan besar maka dia lalu mengembara dalam dunia persilatan. Biau-koh memperlakukan seperti puteranya sendiri. Bahkan waktu dia minta kedua pusaka itu dari Biau-koh, Biau-kohpun mau memberikannya. Pada hal kedua pusaka itu merupakan pelindung utama bagi jiwa Biau-koh. Jika dia tak meminta kedua benda itu tak mungkin Biau-koh akan mati begitu mengenaskan. Teringat akan semua itu, airmatanya turun seperti hujan . . . .

Beberapa saat kemudian tiba2 dia mendengar suara langkah kaki yang ringan Dia terkejut. Adakah Thian Go dan rombongannya kembali hgi? Kalau benar mereka, dia akan memaki mereka habis-habisan.

Untuk menjaga segala kemungkinan. dia melesat dan bersembunyi di belakang aling2 angin.

Beberapa saat kemudian, sesosok tubuh berkelebat masuk. Ketika melihat siapa yang datang itu, Kun Hiap terkejut gembira. Kiranya yang datang itu adalah Hai Giok sendiri.

Menilik keadaannya, Hui Giok tidak menderita luka apa2. Tentulah karena dia belum bertemu dengan Thian Go lojin dan rombongannya.

Waktu Kun Hiap hendak memanggil, Hui Giok sudah lebih dulu membuka suara, "Hm, jangan kira aku tak dapat menemukan, sekalipun harus mengobrak-abrik beberapa ruangan di sini, akupun tetap akan mencari sampai ketemu."

Waktu mengucap begitu, dia menghadap ke arah Biau-koh dan Tian toa-siocia, jelas dia berkata kepada mereka. Biau-koh adalah ibu kandungnya. Melihat mamanya terkapar tak bernyawa di atas ranjang batu, bukan menangis sedih, sebaliknya Hui Giok malah mengoceh tak keruan. Tubuh Kun Hiap menggigil seram.

Tiba2 Hui Giok melihat beberapa huruf di samping Biau-koh. Seketika wajahnya berobah dan tertawa sinis, "Sampai ajalmu tiba, engkau masih menganggap aku ini anak perempu-anmu. Tetapi cobalah engkau bayangkan. Selama belasan tahun ini bagaimana engkau memperlakukan aku? Selain membentak, memaki dan memperbudak, apakah engkau pernah menunjukkan aikap sepetti seorang ibu terhadap anak-nya? Taci dan adik mendapat segala apa, tetapi aku tidak. Sedang kalau aku punya barang, mereka tentu akan memintanya. Jelas engkau tidak menganggap aku sebagai anak perempuanmu, bagaimana engkau mengatakan kalau aku ini anak perempuanmu yang mendurhaka ? Kentut, kentut!"

Brak, brak, brak, tiga kali dia menghantam tepi ranjang batu itu hingga bertebaran. Guratan huruf2 itupun hilang lenyap.

Memang dahulu, Biau-koh lebih menyayangi puteri sulung dan puteri bungsunya. Tetapi sama sekali dia tak menyangka bahwa puteri keduaaya akan mendendam kebencian begitu rupa kepadanya sehingga sampai hati untuk memberitahu kepada musuh2 agar menyerang Biau koh karena Biau-koh sudah tak punya pusaka lagi.

Kun Hiap belum banyak pengalaman dalam dunia persilatan. Selama itu dia terus tinggal di rumah saja. Begitu rumahtangganya dilanda perobahan besar, dia hampir saja kalap karena tak tahu bahwa tiang andalan yang dianggap sebagai ayah kandungnya itu ternyata malah musuh besar yang telah membunuh ayahnya.

Kuda BesiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang