04:00 KST

2K 402 46
                                    


04:00 KST

"24 jam yang mengubah segalanya"

.

.


Jimin menarik napas dalam lalu perlahan membuka pintu mobil. Ia menatap dua lelaki bertubuh besar yang berjalan mendekatinya. Pertanyaannya sekarang, apa Jimin bisa berkelahi? Tentu saja ia bisa, tapi melawan orang profesional seperti mereka mana mungkin seorang Park Jimin bisa menang.

Ia menunjukkan wajah datarnya dan sesuai dengan perhitungan kedua lelaki tadi mulai menyerangnya, Jimin berusaha menghindar sebisa mungkin. Ia berpikir bahwa pukulannya tak akan berarti besar bagi kedua orang ini dan saat lelaki tadi mulai kembali menyerangnya, ia mengarahkan tangan yang menyembunyikan sebuah benda tadi ke perut lelaki itu dan setelahnya ia mengarahkan ke lelaki yang satu pula. Hingga kedua lelaki tadi terjatuh tak sadarkan diri.

"Alat kejut yang sangat berguna," gumamnya. Ia kembali menatap mobil di depannya, ia tahu masih ada satu lelaki lagi di sana. Dengan segera Jimin berjalan mendekat, ia membuka pintu mobil tempat lelaki itu berada dan dengan cepat ia mengarahkan alat kejut itu hingga membuat lelaki tadi tak sadarkan diri.

Jimin mengalihkan pandangannya kepada gadis yang telah terikat tangannya dan mulutnya tertutup lakban. Jimin berjalan memutari mobil, ia membuka pintu di sebelah lalu menarik gadis itu. Untung saja kaki Jiyeon tak diikat apapun.

Jimin membuka kursi penumpang di depan, namun gadis tadi tampaknya tak ingin masuk ke sana.

"Masuk!"

Gadis itu masih bersikeras tak ingin masuk, namun dengan terpaksa Jimin mendorongnya hingga gadis itu berhasil masuk. Ia menarik seatbelt dan melingkarinya pada gadis itu.

"Kenapa kau masih saja keras kepala?" gerutunya lalu menutup pintu.

Ia memutari mobil dan mengambil tempat di depan kemudi, segera pergi dari sana sebelum ketiga orang itu tersadar.

.

.

.

Jimin melirik gadis di sampingnya, ia belum melepas ikatan dan lakban dari gadis itu. Ia hanya tak ingin membuang banyak waktu untuk melepas ikatannya dan membuat ketiga orang tadi tersadar. Namun Jimin merasa aneh karena gadis tadi terus saja menutup matanya dan mulai terisak. Apa gadis itu masih merasa takut atas kejadian yang menimpanya tadi?

Jimin mendesah gusar, ia menghentikan laju mobilnya. Ia menarik tangan gadis itu dan perlahan membuka ikatannya, tali yang membelit pergelangan gadis ini benar-benar sangat kasar, pasti meninggalkan bekas luka. Dan saat ikatan tali itu terlepas sempurna, benar saja kulit gadis itu memerah bahkan berdarah, sangat kontras dengan kulit putihnya.

Lelaki itu kembali mengalihkan pandangannya dan perlahan melepas lakban yang menutup mulut gadis itu.

"Akkhhh!" pekik gadis itu saat lakban itu sudah terlepas.

Gadis itu menarik napas sedalam-dalamnya dan menghembuskannya tergesa-gesa.

"Kau baik-baik saja?" Jimin melembutkan suaranya menatap gadis itu khawatir.

Namun bukannya bersikap baik, gadis itu malah mendelik tajam pada Jimin, "Melihat keadaanku seperti ini kau masih bertanya seperti itu."

Jimin berdecak pelan, "Dasar gadis tak tahu terima kasih!"

Jiyeon tampak menggembungkan kedua pipinya kesal, "Aku mau duduk di belakang!"

Jimin menaikkan alisnya, "Mworago?"

"Aku bilang aku mau duduk di belakang!"

"Kau pikir aku supirmu? Kalau kau mau duduk di belakang, lebih baik kau duduk dengan tiga lelaki yang menculikmu tadi!"

Jiyeon semakin kesal, ia berusaha membuka pintu mobil namun pintu itu terkunci. Ia kembali menatap Jimin sinis, "Buka pintunya!"

"Aku tidak mau!"

"Kalau kau tidak membukanya aku akan..."

"Akan apa?" Jimin mendekatkan wajahnya menantang, "Akan apa?"

"Aku akan..."

Jimin mendesah pelan, "Aku tahu kau tidak menyukaiku, lagipula aku tidak peduli tentang itu. Namun aku masih punya hati dan aku tidak akan membiarkan seseorang dalam bahaya, tapi kau malah masih saja keras kepala. Terserah kau berterima kasih atau tidak, tapi tolong cukup diam saja dan biarkan kita kembali dengan selamat. Kau mengerti?"

Jiyeon terdiam tak membalas.

Jimin kembali menatap ke depan dan perlahan menjalankan mobilnya, "Sebenarnya kita ini dimana?" gerutunya.

"Apa mobil ini tak punya GPS?" cicit Jiyeon. Jimin melirik gadis itu dari ekor matanya. Terlihat bahwa gadis di sampingnya ini memegang erat seatbeltnya sembari menunduk ketakutan, sebenarnya gadis ini kenapa? Tadi marah-marah tidak jelas dan sekarang seperti gadis yang sangat lemah.

"Ini mobil lama, jadi tak punya peralatan semacam itu. Biasanya kami menggunakan GPS di ponsel, tapi aku tak membawa ponselku," gumamnya, ia kembali melirik Jiyeon, "Kau membawa ponsel?"

Gadis itu menggeleng pelan, "Aku sedang kabur dari rumah, untuk apa aku membawa ponsel?" ujarnya masih dengan suara kecil.

"Apa bedanya kita berdua? Sama-sama orang yang mencoba kabur," gumamnya teramat kecil.

Jimin menatap sekitar jalan yang mereka lalui, hanya hutan dan tak ada apapun bahkan bangunan. Mereka sudah pergi terlalu jauh, keluar dari kota Seoul dan sungguh ia tak pernah ke tempat ini sebelumnya.

Namun tiba-tiba saja mobil yang ia kemudikan berhenti, Jimin melirik speedymeter dan akhirnya ia tahu penyebab mobil ini berhenti.

"Kenapa?" tanya Jiyeon.

"Bensinnya habis, padahal aku yakin tadi penuh," Jimin menarik napas gusar, ia tak menyangka akan mendapat kesialan seperti ini.

"Apa yang harus kita lakukan?"

"Aku hanya berharap member atau managerku sadar kalau aku tidak ada di dorm sesegera mungkin," gumamnya.

"Bagaimana kalau orang-orang itu sadar dan mencoba mencariku lagi?"

Jimin berdehem, "Sepertinya aku harus menyerahkanmu."

"KAU JAHAT!"

"Aku cuma bercanda dan bisakah kau bersikap baik padaku? Aku baru saja menolongmu!"

Jiyeon hanya mencebik kesal dan menyandarkan kepalanya pasrah, ia berharap ayahnya menyadari bahwa anak bungsunya telah hilang dan mengerahkan orang-orangnya untuk mencarinya. Lupakan tentang pemberontakannya, ia masih ingin hidup.

To Be Continue

24 Hours ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang