17:00 KST

1.9K 399 156
                                        

17:00 KST

"24 jam yang mengubah segalanya"

.

.

.


"Mobil Yoongi ditemukan di daerah Songjeong, masih dalam wilayah Gwangju. Tepatnya di daerah kawasan hutan perusahaan asing. Sangat jauh dari kota, sepertinya mobil ini kehabisan bensin, tapi ada sesuatu yang aneh tuan..."

"Apa itu?"

"Ada sebuah tali dan bekas lakban di dalam mobil. Tali yang cukup kasar dan sedikit noda darah di salah satu bagiannya."

Ucapan bawahannya itu membuat Ryuwon memejamkan mata kasar, "Cari mereka secepat mungkin!"

Lelaki itu mematikan panggilannya lalu memijit pelipisnya, "Mobilnya sudah ditemukan di daerah Songjeong tapi baik Jimin ataupun Jiyeon, mereka tak ada di sana," ujar Ryuwon.

Bang Sihyuk benar-benar merasa gusar saat ini, Ryuwon pun tampak beranjak, "Saya tak bisa tenang jika terus menerus seperti ini. Saya akan mencari mereka langsung,"

"Tapi terlalu banyak media di luar."

"Saya sudah tak bisa bersabar. Saya harus pergi, jika ada kabar mengenal Jimin dan Jiyeon, saya akan mengabarkan Anda secepat mungkin. Terima kasih atas kerja samanya Bang PD-nim!" lelaki itu mengulurkan tangan bersalaman lalu segera keluar dari tempat itu. Ia sudah sangat khawatir dengan kondisi anaknya.

Bang Sihyuk menarik ponselnya, jemarinya bermain sebentar sebelum akhirnya menelpon seseorang.

"Mobil Yoongi berada di Songjeong. Cari di sekitar sana!"

.

.

.

Kedua manusia itu tampak terengah-engah, mereka sudah berjalan cukup jauh namun tak tahu saat ini berada dimana. Tak menemukan jalan keluar apapun hingga membuat keduanya hampir merasa putus asa. Jiyeon mengeratkan cengkramannya di lengan Jimin, "Aku takut!" ujarnya kemudian mulai terisak.

Jimin menghela napas pelan menoleh menatap Jiyeon, "Aku juga takut. Tapi kita tak bisa menyerah begitu saja!"

"Tapi kakiku sudah merasa lemas!" keluh Jiyeon.

Jimin mendesah pelan, wajah gadis itu memang cukup pucat namun ia yakin wajahnya sama seperti gadis itu bahkan mungkin lebih parah mengingat tangannya sampai sekarang masih mengeluarkan darah.

"Kalau begitu kita cari tempat istirahat," Jimin mengedarkan pandangannya di sekitar hutan.

"Jimin-ssi!" Jiyeon menggoyangkan lengan Jimin.

"Kenapa?"

"Kau dengar suara air? Sepertinya ada sungai dekat sini!"

Jimin berusaha menajamkan pendengarannya dan benar saja, ia memang mendengar suara gemericik air.

"Suaranya di sebelah sana!" Jiyeon menunjuk sebelah kiri dan mereka perlahan berjalan ke arah sana. Sedikit jauh namun tak sia-sia, mereka menemukan sungai kecil di tengah hutan ini.

Mereka saling bertatapan dan tersenyum bahagia.

"Airnya jernih, aku fikir ini cukup bersih dan bisa dikonsumsi, kau haus 'kan?" Jimin menganggukkan kepalanya, "Ayo kita duduk dibalik batu besar itu!"

Mereka berjalan ke sana dan mendudukkan diri. Jiyeon langsung membilas tangannya dan setelah itu menampung air ke tangannya untuk segera ia minum, ia meneguknya rakus.

"Aku fikir aku masih bisa hidup!" desah Jiyeon, ia kembali menampung air sungai lalu mendekatkannya pada Jimin, "Minumlah! Kau tak bisa melakukan ini dengan tanganmu yang terluka!"

Jimin menundukkan kepalanya dan segera menghisap air yang berada di tangan Jiyeon hingga bibirnya menyentuh telapak itu.

"Lagi?" Jimin mengangguk dan akhirnya Jiyeon harus melakukan itu sebanyak tiga kali.

"Aku benar-benar haus sedari tadi, aku akhirnya merasa hidup," ujar lelaki itu lalu menyandarkan kepalanya pada batu besar di belakangnya.

"Lukamu harus segera diobati!" Jiyeon menarik tangan Jimin yang terluka parah lalu membawanya ke aliran sungai untuk membersihkannya, "Bagaimana ini? Tak ada perban ataupun obat untuk mengobatinya!"

"Aku baik-baik saja!"

"Baik bagaimana? Wajahmu bahkan sangat pucat!" omelnya membuat Jimin tersenyum tipis.

"Ternyata kau itu imut juga kalau khawatir begini!"

Jiyeon terdiam tak menjawab.

"Kau juga pucat! Apa kau merasa sakit?"

Jiyeon menggeleng pelan, "Aku tak terluka sama sekali, hanya kelelahan saja. Berhentilah mengkhawatirkan orang lain, jika kau sendiri terluka seperti ini! Kau ini manusia bukan malaikat, jangan terlalu baik!" suara gadis itu sangat kecil, namun masih terdengar jelas.

Jiyeon menarik napas dalam.

"Aku akan mengobati lukamu. Tapi sepertinya ini sedikit menjijikkan... Ibuku mengatakan kalau air liur bisa mengobati luka."

"Ah... aku juga pernah mendeng-"

Ucapan Jimin terhenti saat gadis itu menyentuhkan bibir miliknya dengan telapak tangan Jimin. Gadis itu sedikit menjilat dan mengisap darahnya agar keluar dari sana. Jimin yang sempat terkejut kini menghela napas pelan, matanya mengarah pada Jiyeon. Ia menatap gadis itu dengan hangat.

Tak lama kemudian Jiyeon menjauhkan wajahnya dan tampak menunduk malu dengan apa yang baru saja ia lakukan.

"Terima kasih!"

Jiyeon mengangguk lalu mendongak menatap Jimin, "Wajahmu juga terluka, aku akan mengobatinya. Apa ada bagian lain yang terluka?"

"Wajahku sepertinya hanya memar, tak apa."

"Tetap aja, wajah adalah hal yang terpenting bagi idol."

"Sejak kapan kau sekhawatir ini?"

Jiyeon menggigit bibirnya, "Aku tak khawatir!"

Jimin terkekeh pelan, "Tetap saja, terima kasih."

"Aku harusnya yang berterima kasih. Kalau bukan kau, aku mungkin sudah mati!" Jimin mengangguk mengerti.

Jiyeon menarik napas dalam, tubuhnya sedikit menggigil karena udara yang mulai dingin. Jimin melihat reaksi tubuh gadis itu dan kemudian mencoba melepas jaketnya namun ditahan oleh Jiyeon.

"Aku baik-baik saja! Tak usah melakukan itu!"

"Kau jelas-jelas kedinginan!"

"Aku bisa menahannya, lagipula kau terluka!"

Jimin kembali mendesah, "Baiklah kalau begitu," dan tanpa Jiyeon sangka lelaki itu menariknya mendekap lalu memeluknya erat membuat Jiyeon membulatkan matanya terkejut.

"Jimin!"

"Tetaplah seperti ini! Kita akan merasa hangat jika seperti ini!"

.

.

.

"BAGAIMANA BISA KALIAN CEROBOH MENINGGALKAN MEREKA HANYA UNTUK MAKAN?" suara wanita menggelegar membuat ketiga orang itu menunduk takut, "Aku tak mau tahu kalian harus menemukan mereka secepatnya! SEKARANG!"

"Ya bos!"

"Dasar calon anak tiri menyebalkan!"

To Be Continue

24 Hours ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang