09.00 KST

1.9K 397 128
                                        

09 :00 KST

"24 jam yang mengubah segalanya"

.

.

.

Suara isakan terdengar samar, Jimin perlahan membuka matanya ia lalu membalikkan badan. Tatapannya terpaku pada gadis yang kini berhadapan dengannya, gadis itu masih tertidur namun dahinya mengernyit dan airmatanya terus menerus keluar. Jimin bangkit dari tidurnya mengambil posisi duduk, ia menepuk pelan gadis yang berada di sampingnya.

"Hey, Kim Jiyeon! Bangunlah!"

Gadis itu semakin terisak, entah apa yang gadis itu mimpikan. Namun yang jelas gadis itu sedang bermimpi buruk.

Jimin menepuk lebih keras sedikit menggoyangkan tubuh gadis itu, "Bangunlah!"

"E-eomma... Hajimaa!" bisik Jiyeon membuat hati Jimin mencelos. Apa gadis ini telah kehilangan ibunya?

Jimin kembali menepuk dan tiba-tiba saja gadis itu tersentak bangun, nafasnya memburu dengan keadaan wajah penuh airmata.

"Kau tak apa?"

Mata Jiyeon mengarah pada Jimin yang kini menatapnya khawatir, perlahan gadis itu bangkit dari tempat tidurnya. Ia terduduk tepat di hadapan lelaki itu, wajahnya tertunduk dan lagi-lagi gadis itu terisak menangis.

Jimin menghela napas, "Apa yang terjadi? Kau mimpi buruk?"

Jiyeon mengangguk, "Aku rindu ibu," dan Jiyeon menangis semakin keras membuat lelaki itu tak tahu harus berbuat apa.

Jimin menepuk-nepuk bahu gadis itu pelan menenangkan.

"Bisakah kau memelukku?"

Jimin membulatkan matanya mendengar ucapan gadis itu, "Apa?"

"Biasanya kalau aku bermimpi buruk, ayah atau kakakku akan memelukku. Aku merasa nyaman saat mereka melakukan itu, tapi sekarang mereka tak ada di sini. Jadi bisakah kau memelukku?"

Jimin menatapnya sendu, perlahan ia menarik gadis itu membiarkan kepala Jiyeon bersandar pada dada bidangnya. Tangan kirinya berada di punggung Jiyeon sedang tangan kanannya mengusap kepala gadis itu. Ia membiarkan Jiyeon menangis, entah menangisi apa. Yang ia tahu gadis ini pasti memiliki beban berat dalam hidupnya.

.

.

.

Entah berapa lama mereka berada dalam posisi itu hingga Jiyeon perlahan-lahan mendorong tubuh Jimin agar pelukan mereka terlepas. Gadis itu mengusap wajahnya yang penuh air mata, ia juga merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

"Maaf!"

Jimin tersenyum tulus, senyum pertama yang ia tujukan pada Jiyeon dan membuat gadis itu tiba-tiba saja merasa kaku. Lelaki itu mengangguk seakan mengerti dengan keadaan gadis di hadapannya.

Jiyeon berdehem pelan, "Aku meminta itu karena aku terbiasa merasakannya. Jangan berpikir yang tidak-tidak, aku masih hatermu."

Bukannya merasa kesal, Jimin malah terkekeh pelan, "Terserah kau saja! Benci atau tidak, terserah padamu. Lebih baik kau istirahat lagi! Semalaman kau tidak tidur!"

Jiyeon menggeleng, "Tidak perlu!"

Jimin mengangguk mengerti, ia lalu menarik napas dalam dan tiba-tiba saja pandangannya terarah pada pergelangan gadis itu, "Tanganmu masih merah, sepertinya perlu diobati."

Jiyeon menundukkan kepalanya melihat luka akibat tali kasar yang membelit pergelangannya tadi, bahkan goresan-goresan kecil yang mengeluarkan sedikit darah sudah mengering, "Tidak per-"

Jimin beranjak dari ranjang membuat ucapan Jiyeon terputus, "Aku akan bertanya apa mereka memiliki obat untuk lukamu itu."

"Sudah kubilang ti-"

"Dasar gadis keras kepala!" gumam Jimin berlalu begitu saja.

"Padahal dia tahu aku haternya, kenapa dia masih baik? Dasar aneh!" Jiyeon lalu mendesah gelisah, "Kenapa tadi aku memintanya memelukku? Memalukan! Kau memalukan Kim Jiyeon!"

.

.

.

Jiyeon meringis pelan saat lap air hangat itu menyentuh pergelangan tangannya, "Halmeoni tak memiliki obat, cukup air hangat saja, setidaknya ini harus dibersihkan dan dibalut."

Jimin tampak serius membersihkan luka gadis itu, sedang Jiyeon kini memandang lelaki itu lamat. Hidung lelaki itu mancung, bibirnya yang penuh serta dagunya yang lancip, terlihat seperti karakter manga yang menakutkan jika lelaki itu berekspresi datar seperti sekarang, "Kau melakukan operasi plastik 'kan?"

Jimin menghentikan gerakannya, ia menatap Jiyeon dan tatapan pemilik mata sipit itu seakan menusuknya, "Aku dan anggota grupku tak pernah melakukan itu!"

"Wajah kalian berbeda! Dulu sangat jelek, gemuk tapi sekarang sangat tam-"

Jiyeon menggigit bibirnya merutuki ucapannya, ia membuang wajah namun itu membuat Jimin terkekeh, "Sangat tampan maksudmu?"

"Bukan itu maksudku!" sungutnya.

Jimin berdecak pelan lalu mulai membalut luka Jiyeon dengan kain putih yang diberikan wanita tua tadi, "Dulu kami tak punya uang untuk melakukan itu, agensi kami kecil bahkan mencari dana untuk membuat MV agak sulit! Dan sekarang walaupun kami sudah punya uang, kami tak punya waktu untuk melakukan itu! Jadi apa ini sudah menjawab pertanyaanmu nona hater?"

Jiyeon tak menjawab.

"Kami melakukan diet ketat dan perawatan kulit. Itu sudah cukup membuat kami berubah," Jimin mengikat kain itu, "Sudah selesai."

Ia membereskan lap basah dan baskom kecil itu lalu meletakkannya di meja.

"Aku masih mengantuk, aku tidur!"

Jiyeon hanya menatap Jimin yang membaringkan diri dan perlahan-lahan menutup matanya kembali ke alam mimpi.

"Terima kasih!" cicitnya amat sangat pelan.

To Be Continue

"

24 Hours ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang