18:00 KST

1.8K 388 72
                                        


18:00 KST

"24 jam yang mengubah segalanya"

.

.

.

Mobil hitam itu berhenti di tengah jalan, matanya memandang keluar jendela, "Sepertinya ada rumah di sana!" lelaki yang menyetir memicingkan matanya ke sana.

"Sepertinya begitu! Kita turun!" ujar lelaki di kursi penumpang. Kedua lelaki itu turun dan mulai memasuki hutan, tak begitu jauh hingga mereka menemukan sebuah rumah sederhana.

"Permisi! Apa ada orang di sini?" dan tepat saat itu seorang wanita tua keluar dari rumah itu.

"Siapa kalian?" tanya wanita itu.

"Kami sedang mencari teman kami, mungkin Anda melihat seorang lelaki berambut pirang dan gadis berambut coklat. Mere- "

"Jiyeon dan Jimin?" tanya Youngja memotong pembicaraan lelaki itu.

"Anda melihatnya?"

Youngja tersenyum tipis, "Mereka sempat istirahat di tempat ini beberapa jam yang lalu, mereka bilang tersesat dan butuh tumpangan ke Seoul."

"Lalu di mana mereka sekarang?"

"Mereka menumpang truk pengangkut barang yang menuju Seoul."

"Jam berapa?"

"Sekitar jam satu tadi siang."

Kedua orang itu mengangguk mengerti, "Terima kasih!" mereka membungkuk hormat. Lalu berjalan kembali ke luar hutan.

Dddrrttt Ddrrrttt

Salah satu dari mereka tampak mengangkat ponsel, "Ya, PD-nim! Kami mendapatkan jejak mereka, mereka sempat beristirahat di sebuah rumah kecih masih di daerah Songjeong. Tapi katanya mereka menumpang truk pengangkut ke Seoul..."

"HYUNG-NIM!"

Lelaki yang menelpon itu menoleh menatap temannya yang kini berjongkok, "Kenapa?"

"Lihat ini!" lelaki itu mendekat dan ikut berjongkok.

"Bukankah itu anting Jimin?"

"Dan ada darah di sini."

"Apa yang terjadi?" desak seseorang di seberang telpon.

"PD-nim, sepertinya sudah terjadi sesuatu pada Jimin. Kami akan bergerak cepat mencarinya!"

.

.

.

Kedua insan itu masih terduduk di balik batu besar pinggir sungai. Mereka hanya terdiam memandang aliran sungai yang tak begitu deras namun menenangkan dengan posisi tangan Jimin merangkul gadis itu agar tak kedinginan, terlebih hari mulai menggelap.

"Ekkhhhmm," Jimin berdehem pelan, "Kau tadi mengatakan kabur dari rumah. Memangnya apa yang terjadi?"

Jiyeon memainkan jemarinya lalu menghela napas pelan, "Ayahku akan menikah lagi. Ibuku baru meninggal setahun yang lalu, rasanya sangat cepat kalau ayah menikah lagi. Aku juga tidak suka calon istri ayahku."

Jimin menoleh menatap gadis yang kini memasang wajah murungnya, "Kenapa tidak menyukainya?"

"Umurnya hanya beda dua tahun dari kakakku, bukannya seperti ibu tapi dia seperti saudara perempuan kami. Dia terlalu muda untuk menjadi ibu kami. Lagipula, dia hanya mengejar harta ayahku saja, dari perawakannya saja aku tahu kalau dia wanita yang jahat."

"Belum tentu dia jahat."

"Aku tahu dengan jelas kalau dia jahat."

Jimin hanya mengangguk, "Lagipula aku tak mengenalnya, jadi aku tak punya sesuatu untuk dikatakan tentangnya. Aku tak akan membenci seseorang jika aku tak tahu bagaimana sebenarnya orang itu."

"Kau menyinggungku?"

Jimin menaikkan alisnya terkekeh pelan, "Kau tersinggung?"

Jiyeon mendongakkan kepalanya menatap Jimin yang jaraknya amat sangat dekat darinya dan hal itu membuatnya menjadi gugup entah untuk alasan apa. Gadis itu mengerjapkan matanya sebelum akhirnya membuang pandangannya ke depan.

"Kau sendiri bukannya kabur dari dorm?"

"Lebih tepatnya aku pergi menenangkan diri, tapi bukannya menenangkan diri aku malah terjebak di sini."

Jiyeon menunduk mendengarnya, "Maaf!"

"Bukan salahmu!" Jimin menarik napas dalam, "Dunia idol itu tak mudah, terkadang aku merasa lelah dan perlu untuk menyendiri."

"Kenapa? Bukankah kau punya member yang menemanimu dan fans yang melimpahkan kasih sayang padamu?"

Jimin menatap ke depan, ia menganggukkan kepalanya, "Memang benar, aku memiliki mereka semua. Tapi hal seperti ini sedikit sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Aku merasa sangat bahagia bersama mereka semua, tapi kadang aku sulit mengatakan hal yang membebankan. Aku merasa lelah, tapi aku tak enak hati untuk mengeluh. Aku tak ingin mereka ikut terbebani."

Jiyeon kembali menatap Jimin, "Aku tiba-tiba merasa ada yang salah."

"Apa yang salah?"

"Aku fikir aku salah membencimu," mendengar ucapan itu Jimin sontak menoleh membuat wajah mereka kembali berhadapan lekat, "Kau itu orang baik. Kenapa aku membencimu?"

"Karena kau menganggap kami plagiat, tak punya bakat, tak tampan. Bukankah seperti itu?"

"Kalian itu berbakat dan tampan. Tapi untuk plagiat...."

"Kami tak pernah berniat melakukan hal seperti itu. Kalaupun ada sesuatu yang mirip, itu pun tak sengaja. Terserah kau mau percaya atau tidak, kami juga tak mau memaksakan untuk mengatakan hal yang tak akan pernah diterima oleh haters."

Jiyeon masih memandang Jimin, "Kenapa kau sebaik ini? Aku ini hatermu."

"Aku fikir kau bukan lagi haterku. Kau tadi mengatakan kau salah membenciku," Jimin tersenyum tipis.

Jiyeon terkekeh pelan, "Baiklah! Aku bukan hater BTS lagi. Tapi aku bukan fans kalian!"

"Terserah kau saja!"

"KAU CARI DI SANA! AKU DI SANA!"

Kedua pasang mata itu membulat mendengar suara teriakan yang cukup familiar, Jimin menarik tubuh Jiyeon mendekap gadis itu erat sembari meletakkan jari telunjuknya di bibir gadis itu.

Tubuh mereka semakin menempel, berharap batu besar itu akan menghalangi mereka dari pandangan orang-orang itu. Jiyeon pun mengeratkan cengkramannya pada Jimin, ia ketakutan dan tak ingin orang-orang itu menemukannya kembali.

"Menikmati waktu bersama anak muda?"

To Be Continue

24 Hours ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang