Bab 6

262 9 0
                                    

Ozy memperhatikan Bulan yang duduk di depannya. Gadis itu hanya menatap kosong kearah depan, dan seperti tak memiliki semangat hidup.

"Lan, lo kenapa?" Sherin menyenggol lengan Bulan membuat Bulan tersentak dan menatap Sherin nanar.

Semenjak kemarin Bulan berperilaku aneh. Padahal tim cheers sekolahnya berhasil menyabet gelar cheers terpopuler tahun ini dan mendapat juara 1 umum.

Sherin menaikkan kedua alisnya seolah minta jawaban terhadap pertanyaannya tadi. "Gue hanya capek aja!" alibi Bulan.

Ozy yang duduk di belakang dan memperhatikan setiap gerak Bulan langsung saja menyambar lengan gadis itu dan membawanya pergi keluar dari kelas.

"Gue perlu bicara!" tegas Ozy tanpa mengalihkan pandangannya dari arah depan.

Bulan mendengus namun tetap mengikuti langkah Ozy yang cukap besar. "Ada apa sih? Gue capek! Lo nggak liat perjuangan gue kemarin saat final cheers?"

"Ada alasan lain yang ingin gue tahu dari lo! Gue yakin kalau lo sepenuhnya nggak capek tapi cuma kepikiran sesuatu?!"

"Apa-apaan sih lo! Gue beneran capek njir!" umpat Bulan dan menyentakkan tangannya hingga terlepas dari genggaman Ozy. "Gue balik," pamitnya seraya berbalik menuju kelasnya.

Di dalam sudah terlihat Sherin yang menatap Bulan dengan penuh pertanyaan. "Lo pacaran dengan Ozy?" selidik Sherin saat Bulan mendudukkan bokongnya di bangku kelas.

"Kenapa?"

"Gue ngerasa kalau kalian itu lebih dari sekedar teman. Perilaku Ozy barusan membuktikan kalau lo memang punya hubungan khusus dengan dia kan?" cecarnya.

Bulan terkikik melihat mata Sherin yang penuh dengan selidik. "Gue baru tahu kalau sahabat gue ini punya aura wartawan," canda Bulan. Ia tak suka jika tatapan Sherin seperti ia seorang tersangka.

"Jangan ngalihin pembicaraan kita deh! Lo hanya perlu jawab pertanyaan gue yang tadi. Lo bener punya hubungan dengan Ozy?"

"Rin! Gue sama sekali nggak punya hubungan apapun dengan dia! So, berhenti tatap gue dengan tatapan mengintimidasi dari lo!"

"Tapi tadi, Ozy langsung megang dan narik lo. Apalagi ekspresinya tadi seolah khawatir banget ama lo!" jelas Sherin. Bulan menggeleng untuk menghilangkan kegugupannya. Ia tak tahu kenapa ia tiba-tiba gugup saat Sherin membicarakan Ozy dan hubungannya.

"Nggak! Ozy bukan siapa-siapa gue, palingan tadi dia natap gue karena ada hal lain! Mungkin, tentang ulangan matematika itu," bantah Bulan. Mungkin memang benar kalau Ozy hanya peduli agar ia tak dapat hukuman dari tantangannya saat ulangan matematika itu.

"Lo dari mana aja?" Bulan mendonggakkan kepalanya menatap seseorang yang berdiri tepat di samping bangkunya. "Kenapa baru balik? Lo nggak papakan?"

"Lo Rafto kan? Eh maksudnya lo nggak kesambet setan sekolahkan To!?" Pria yang berdiri di samping bangku Bulan mengangguk mantap sambil tersenyum

Melihat Rafto tersenyum membuat Bulan merasakan sesuatu hangat yang menjalar di dadanya.

Pipi Rafto membentuk lesung pipit yang sangat dalam saat pria itu tersenyum. Rambutnya yang rapi dan kulit hitam manisnya membuat ia terlihat seperti model majalah remaja yang biasa Bulan liat jika ke toko buku.

"Gue tahu kalau gue ganteng! Tapi natapnya nggak usah sampai ileran juga kali!" goda Rafto. Bulan tersadar dan menatap Sherin yang juga tengah menatap kearahnya.

"Kali ini, lo harus jujur! Kalau bukan Ozy, lo pacaran dengan temannya?" bisik Sherin. Bulan menggeleng dan menatap Rafto yang masih tersenyum kepadanya.

"Ada apa?" tanya Bulan heran melihat Rafto yang tak hentinya tersenyum membuat Bulan berdigik ngeri.

"Kemana aja? Jujur, gue kangen sama lo, Bul!" ujar Rafto dan memelankan suaranya dibagian akhir.

Bulan melotot tak percaya. Walaupun suara Rafto kecil, ia tetap masih bisa mendengarnya. "Lo salah orang kali, mungkin maksud lo Sherin!" Bulan tertawa sumbang. Dia tak ingin kegeeran. Rafto merupakan salah satu famous sekolahnya. Jadi, sangat tidak mungkin Rafto rindu padanya. Sangat lucu jika mereka berdua bersatu. Pangeran berkuda putih dengan itik si buruk rupa. Itu hal yang mustahil. Biarpun Rafto terkenal dengan gombalannya tapi ia tak pernah menggombal dengan sembarang orang. Jadi, untuk itu Bulan harus memastikannya agar ia tak kegeeran dan salah sambung.

"Bukan Sherin tapi lo! Gue beneran rindu," mata Bulan berkedip tak percaya. Mungkin yang didepannya ini hanyalah hologram Rafto. "Kantin yuk gue yang traktir!" ajak Rafto. Bulan mengangguk-angguk seperti anjing. Rafto tersenyum sumringah dan menarik Bulan kekantin.

Bulan masih tak percaya. Kini ia jalan bersisian dengan Rafto.

Beberapa pasang mata memandang mereka dengan tatapan yang sangat susah Bulan artikan untuk saat ini.

Walaupun para fans Rafto tak sebanyak fans si Ozy, tapi beberapa cibiran masih di tangkap oleh Bulan saat melewati koridor di mana para gadis centil duduk sambil bergosip ria.

"Gue nggak nyaman begini," Bulan melepaskan tangannya yang tadi di genggam Rafto.

Pria itu mengangguk mengerti dan membiarkan Bulan berjalan sambil menunduk. "Kayaknya gue nggak ingin kekantin deh!" seru Bulan. Rafto menghentikan langkahnya dan menatap punggung Bulan yang sempoyong. "Gue ingin ketempat sepi! Tempat dimana hanya ada gue dan angin yang tahu rahasia yang ada dikepala gue!" jelas Bulan.

"Keruang musik?" saran Rafto. Bulan menggeleng.

"Pasti disana ada Farid dan Leonard! Dan kalau lagi bad mood mungkin, Ozy juga di sana!" Rafto mengangguk lemah. "Dan di ruang musikkan nggak ada angin, ac doang kan?" Rafto kembali mengangguk. Apa sebegitu tak ingin Bulan bersamanya membuat gadis itu harus mencari alasan untuk tak menyakiti hatinya?

"Tenang, gue nggak merasa risih karena ada lo kok!" jawab Bulan seolah bisa membaca pikiran Rafto. "Nanti aja kita kekantin bareng, atau makan bareng! Gue pergi dulu!"

Bulan berjalan menuju tangga sekolah. Ia berjalan dengan langkah terdorong seolah ia tak bisa menanggung semua beban yang ada.

Ia memijakkan kakinya di anak tangga belakang sekolah yang menuju ke arah rooftop sekolah. Belum pernah ia merasa selemah ini.

Saat membuka pintu rooftop, semilir angin sepoi menyambutnya seolah senang melihat kehadiran Bulan.

Rambut Bulan yang terlepas dari kunciran melambai-lambai seolah menari.

Matanya mulai memanas menahan isak yang sedari kemarin ingin ia tumpahkan. Bulir air matanya terjatuh seiring dengan ia tersungkur kelantai. Sendi dilututnya serasa lemah dan tak mampu menopang berat badannya.

"Gue nggak tahu mesti gimana?" isak Bulan. Ia membiarkan air matanya membasahi seluruh pipinya.

Tak seharusnya ia menangis seperti ini. Ia harus selalu terlihat kuat agar ayahnya akan tersenyum. Tapi ia juga manusia biasa, ia bisa lemah dan menangis kapan pun ia mau.

"Ibu, aku rindu!" raung Bulan dan menangis kencang. Ia membiarkan angin mengetahui keluhnya karena ia tahu. Bahwa angin akan mengerti perasaan gadis remaja sepertinya.

Ia berbeda dari gadis lain. Dan tak ingin seorang pun mengetahui kisahnya selain sang ayah, ibu, dan angin yang berhembus dengan sepoi. 

Cinta dan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang