Bab 31

135 5 0
                                    

Langkah Bulan seketika terhenti dan menatap setiap inci bangunan yang akan ia tinggalkan. Terhitung, ia berada di rumah ini semenjak ia lahir. Bahkan, saat ia masih jadi janin.

Tak ada niat sedikit pun ia untuk menjual peninggalan orang tuanya ini. Hanya saja ia ingin agar selama ia pergi rumah ini tak kosong.

"Mbak Bulan," bayangan Bulan akan masa kecilnya buyar saat teguran dan tepukan kecil ia rasakan di pundak kanannya. Huft, mengejutkan.

"Gimana Bu?"

"Rumahnya bagus, saya suka. Coba mbak siap untuk jual," leguh ibu itu. Bulan tersenyum maklum melihat tingkah ibu itu.

"Saya tidak mau menjualnya Bu. Cuma mau ngontrakinnya selama 4 tahun," jelas Bulan.

"Saya cuma bercanda kok mbak! Emang mbak Bulan mau kemana? Rumahnya kok mau dikontrakin,"

"Ah, ibu Dian mah kepo," kekeh Bulan. Ibu yang di sapa Dian itu hanya terkikik melihat Bulan yang tertawa kecil. "Saya mau kuliah bu,"

"Oalah, kuliah toh ke Jakarta mbak? Nanti kalau mbak liburan kesini saja, ibu janji nggak pakai kamarnya mbak kok," Ibu Dian merupakan ibu rumah tangga yang memiliki satu orang anak yang masih kecil, jadi sangat wajar kalau ia tidak menggunakan seluruh kamar yang berjumlah 6 ruangan itu.

"Nggak kok bu, rencana sih nggak pulang sampai lulus bu. Kan, nggak ada lagi yang saya jenguk," benar. Ia sekarang hanya tinggal sendiri dan tak memiliki siapa-siapa. Ireke dan Dirga bukan siapa-siapanya hanya orang tua Ozy dan  sebagai sahabat orang tuanya. Bulan tak ingin selalu membebani mereka. Terlebih lagi sekarang Ozy sudah memiliki Mila sebagai kekasihnya.

♡♡♡

Dengan hati yang mantap Bulan melangkah memasuki Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Sedikit ragu ia mengedarkan pandangannya keseluruh arah.

Tadi ia juga sudah pamit kemakam kedua orang tuanya. Bahkan ia sudah berpesan kepada penjaga kubur untuk memberikan bunga kekedua orang tuanya setiap tanggal 5 Agustus. Ia sudah siap, bahkan sangat siap.

"Permisi Pak," tegur Bulan sembari mengetuk pintu ruangan Pak Kurso. Baru kali ini ia bisa menepati janjinya dengan guru berkumis itu.

"Masuk," dengan ragu Bulan melangkah memasuki ruangan wakil kepala sekolah itu. "Kamu sudah punya pilihan Bulan?" tanya Pak Kurso saat Bulan baru saja mendudukkan bokongnya di kursi yang berada di hadapan Pak Kurso.

"Sudah Pak," lantang Bulan.

"Bapak harap, kamu memiliki pilihan yang tepat tentang beasiswa ini. Kapan lagi kamu bisa berkuliah gratis di Inggris? Bahkan uang sakumu pun univ yang tanggung," jelasnya. "Lagipula, pihak dari sana yang langsung memanggilmu. Jadi kamu tidak perlu ragu lagi," lanjutnya.

"Saya menerima beasiswa itu Pak!" tegas Bulan. Pak Kurso yang melihat keyakinan dari mata Bulan hanya mengangguk sekilas.

"Kenapa tidak dari dulu? Sekarang, pasti kamu kerepotan karena keberangkatan kamu yang semakin dekat," diam-diam Bulan mendengus pelan. Guru ini, selain hanya bisa marah ternyata tidak konsisten juga, pikirnya.

"Nggak papa Pak, barang saya tidak akan banyak kok," ujar Bulan. "Kalau begitu saya permisi Pak," pamitnya.

Percakapan yang Bulan lakukan dengan Pak Kurso masih terbayang di hadapannya. Sebenarnya, awal Pak Kurso memberikan tawaran itu membuat Bulan ragu untuk menerimanya. Tapi setelah ia melihat Ozy dan Mila di supermarket itu membuatnya yakin dan tanpa enggan untuk pulang kembali nanti.

Jauh dari pria itu merupakan langkah pertama yang akan Bulan lakukan dalam tahap proses ia melupakan perasaannya pada Ozy. Perasaan yang entah sejak kapan hadirnya itu. Yang tak Bulan ketahui tapi orang lain ketahui.

Sekali gelengan membuat Bulan tersadar dan kembali melangkah. Ia memeperlihatkan pasportnya kepada petugas yang berdiri tegak dihadapannya.

Setelah dipersilahkan masuk Bulan kembali membalikkan kepalanya seolah hati kecilnya berkata tidak untuk pergi.

"See you, Indonesian. Wait me 4 years later!" gumamnya. Memang tak ada yang mengantarnya. Bahkan kepergiannya ke Inggris hanya Pak Kurso dan Kepala Sekolah yang mengetahui kalau ia bakal lanjut di negeri Paman Sam itu.

Sherin gadis berpita yang menjadi sahabat Bulan dari sekolah dasar pun tak mengetahui hal ini. Ia bersyukur karena Pak Kurso dengan baik hati mau mengurus semua pasport dan yang lainnya yang menjadi keperluan Bulan sebelum gadis itu lepas landas.

"Orang tua adik mana?" Bulan menatap jengah kearah ibu muda yang sedang menenteng koper dihadapannya. Apa Bulan terlihat seperti anak SMP? Tidak seperti anak kuliah?

"Saya dapat beasiswa ke Inggris. Tidak mungkin saya membawa orang tua saya juga,"

"Tapi dari tadi saya melihat adik sendirian kesini naik taxi," heh! Bakhan orang ini sudah memperhatikan Bulan sedari tadi. "Lupakan! Inggris ya? Udah dapat kontrakan disana?"

"Belum Bu, mungkin saya hanya tinggal di asrama kampus untuk sementara sambil mencari-cari dorm yang bagus tapi murah," kekeh Bulan. Walaupun ia mendapat beasiswa sampai uang saku, tapi tetap saja ia harus berhemat dan menabungkan?

"Nggak usah cari dorm, bahaya! Kehidupan orang barat dan orang timur itu beda," benar ucapan ibu ini. Barat dan timur sangatlah beda. Tapi mau apalagi? Mencari sebuah apartemen yang memiliki kualitas penjagaan yang tinggi? Tapi pasti akan sangat besar biaya yang digunakan.

"Emang adik kuliah dimana?"

"Guru saya bilang di emm, University Of Kent,"

"Woa!! Keren!" takjub ibu muda itu. "Tinggal sama kakak yuk, kira-kira jarak dari rumah kakak ke kampus kamu itu sekitar 1,5 jam deh,"

"Kakak?" ragu Bulan. Ibu muda itu nengangguk yakin.

"Iya, umur kita kayaknya nggak jauh beda. Oh, belum kenalan ya? Nama kakak Caitlyn," kenal ibu muda itu. 'Ah, bukan ibu kakak!' seru Bulan dalam hati.

"Aku Bulan," balas Bulan. "Boleh deh Kak! Eh tapi kakak orang sana? Kok Bahasa Ibu-nya lancar?"

"Hehehe, kakak memang ada darah Inggrisnya. Tapi kakak tinggal di Indonesia kok sejak lahir,"

"Tapi kok punya rumah di Inggris? Rumah kakek dan nenek kakak ya?"

"Bukan, rumah kakak asli kok! Kakak tinggal sendiri. Setahu belakangan ini, kakak tinggal di Amerika karena ada panggilan menjadi asisten desaigner disana," Bulan mengangguk mengerti. Setidaknya, ia menemukan orang yang pintar berbahasa Indonesia memungkin ia untuk tidak lupa dengan bahasanya sendiri selama tinggal di Inggris.

"Tapi kok kakak ada di Indonesia?"

"Bos kakak kasih cuti jadi kakak kesini. Kangen orang tua, walaupun oma dan opa ada disana, tapikan nggak satu rumah," jelasnya. Bulan hanya kembali menganggukkan kepalanya mengerti. "Orang tua kamu mana?"

"Di surga kak!" senyum Bulan terpantri jelas diwajahnya. Walaupun awalnya ia sempat kesal dengan pertanyaan seperti itu dari wanita disampingnya ini. Tapi setelah berkenalan tadi, Bulan sedikit merasa lega karena ternyata Caitlyn ini bukan orang yang kepo seperti yang ia duga. Malahan sedari tadi hanya Bulan yang terus bertanya.

"Aduh, maaf ya," Bulan menggeleng pelan.

Ketika keduanya tersentak saat panggilan untuk penerbangan pesawat menuju Bandara London Heathrow dengan kode penerbangan G-012 nyaring di telinga mereka.

"Kamu berhenti di Bandara itu?" tanya Caitlyn pada Bulan. Bulan mengangguk membuat Caitlyn tersenyum. "Ayo, kakak juga,"

Cinta dan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang