Bab 28

141 5 0
                                    

Memang benar, buku tabungan itu tak pernah digunakan ayahnya. Tadi pagi, ia pergi ke tiga bank tempat ayahnya menyimpan uang-uang itu. Dan meninggalkan janji dengan Pak Kurso yang menyuruhnya datang ke sekolah.

Saat ini, ia tengah memarkirkan mobilnya di salah satu super market sekitar rumahnya.

Bulan dan ayahnya memiliki sifat yang sama dalam keuangan, yaitu suka menabung. Bahkan Bulan sudah memiliki tabungan sendiri sejak dia masih berusia 3 tahun. Karena kakeknya sangat senang memberikan Bulan uang lebih untuk beli permen. Dari situ Bulan mulai menabung uangnya dan tak pernah jajan permen sedikit pun. Dan bahkan, baru dua kali Bulan memakai uang itu.

Nada getar hpnya membuat Bulan yang ingin membuka pintu mobil tertahan dan kembali ke posisi duduk semulanya.

Sherin, nama itu tertera jelas di layar ponsel Bulan, membuat si empunya sedikit tersentak.

Dari dalam hatinya, ia sudah benar-benar memaafkan Sherin. Karena, gadis itu memang tak salah dan malah Sherin yang sebagai korban dari putusnya Bulan dan Rafto.

"Bulan," sambut Sherin dengan nada yang sedikit gemetar.

"Iya Rin?"

"Gue minta maaf ya?"

"Lo nggak salah kok, gue udah maafin juga kan?" ucap Bulan berusaha mencairkan kecanggungan Sherin dalam berbicara telepon dengannya.

"Gue kira lo nggak bakal maafin gue. Coba lo nggak maafin gue? Udah gue pindah ke rumah eyang kakung gue,"

"Di bogor?! Hahaha, coba aja gue nggak maafin lo ya?! Eh, tapi lo pindah aja ke Bogor. Kuliah di IPB aja,"

"Ku tak mauuuu....," rengek Sherin dengan nada yang terdengar seperti anak-anak.

Bulan tertawa mendengar rengekan sahabatnya itu. Sherin memang paling tidak suka kalau ia di suruh belajar tentang pertanian. Di suruh belajar aja ogah, gimana kalau disuruh kuliah di sana?

"Lan, kalau lo mau kuliah dimana? Jadi di Bandungkan walau ayah lo udah nggak ada?"

"Jadi dong, gue cinta tanah air sendiri. Bandung masih enak, emang lo mau ngerantau ke Jakarta?"

"Enggak lah! Gue mah anak Bandung asli,"

"Bandung asli? Yakin?"

"Iya-iya enggak! Gue bukan Bandung asli!!" kesal Sherin. Gadis itu memang bukan keturunan Bandung asli. Ada banyak keturunan dia. Bandung, Bogor, dan Thailand. Ia tinggal di Bandung karena ayahnya orang Bandung. Sedangkan ia mendapat keturunan Bogor dan Thailand itu dari keluarga ibunya.

"Eh udah dulu ya? Gue di super market mau belanja dulu," tanpa mendengar jawaban Sherin Bulan langsung saja menutup teleponnya.

Dengan cepat Bulan keluar dari mobilnya. Baru di depan super market beberapa orang berlarian kesana kemari dan saling berbisik-bisik.

Bulan hanya tersenyum. Ia sangat yakin orang berlari kesana kemari itu karena mengejar satu hal. DISKON. Bulan sudah hapal betul bangaimana tingkah laku orang Indonesia saat dengar kata diskon, pasti mereka semua saling rebutan dan mengejar barang yang ia inginkan.

"Buk, emang diskonnya ada dimana?" tanya Bulan saat menghadang salah satu ibu yang sedang mendorong trolinya. Di depannya sudah berdiri gadis yang Bulan perkirakan sama dengan umurnya.

"Diskon? Emang ada? Dimana atuh? Ibu juga mau," antusias ibu itu. Bulan mengerutkan keningnya tak mengerti. Kenapa ibu itu malah berbalik bertanya padanya?

"Eh, ibu nggak lagi kejar diskon? Terus kenapa lari-larian?" heran Bulan.

"Oh, iya neng. Ibu juga di tarik sama Intan, katanya ada yang seru di tempat cemilan," ujarnya. Intan, pasti nama anak gadis yang sedang berada di depan ibu itu. Terlihat dari tatapan gadis itu seolah menilai Bulan dari atas sampai bawah.

"Ibu ayo! Entar udah selesai," tarik gadis itu. Ia mengambil alih troli yang di bawah ibu tadi dan berjalan mendahuluinya.

"Emang acara apaan bu? Sampai heboh begitu?" tanya Bulan lagi. Ibu itu hanya mengangguk dan berjalan mengikuti gadis itu yang Bulan sangat yakini kalau dia adalah anaknya.

Dengan rasa penasaran yang besar Bulan mengikuti arah kemana para orang berlarian. Acara yang dimaksud ibu dan gadis tadi benar-benar membuat ia bingung sekaligus penasaran.

Dan benar kata ibu tadi, tempat orang berkumpul ada di bagian cemilan lebih tepatnya di bagian yang menampilkan manakan snack ringan.

"Ih sosweet banget yang laki-lakinya ya,"

"Aduh, ku juga mau di gituin,"

"Eh yang jadi ceweknya beruntung ya?"

Dan ada beberapa bisikan-bisikan halus lagi yang Bulan dengar.

Badan Bulan yang terbilang kecil dengan sangat mudah menyelip ke celah-celah orang yang tengah berkumpul itu.

"Mbak, kenapa ramai ya?" seorang wanita itu sedikit terkejut saat Bulan tiba-tiba saja berada dari arah belakang dan bertanya padanya.

"Oh ini dek, ada cowok yang nembak cewek," jawabnya dengan tersenyum.

"Hah?!" Bulan kembali menyelip diantara orang-orang.

Cowok nembak cewek? Sungguh orang itu tidak romantis. Bisa-bisanya dia hanya menyatakan cintanya di tempat seperti ini. Jika saja cowok itu lebih romantis lagi, menembak cewek yang ia idamkan di taman atau di sebuah tempat bersejarah yang lebih romantis.

"Permisi, saya ingin lewat," ucap Bulan. Beberapa umpatan dan helaan nafas dari setiap mulut setiap yang keluar untuk dirinya saat ia dengan gampang menyelip ke beberapa orang.

Matanya melotot saat melihat dua sejoli saling bergenggaman tangan. Si wanita nampak tersenyum tersipu sedangkan si pria dengan senang hati berlutut di hadapan sang wanita.

Benar-benar romantis. Sungguh, hanya itu yang ada di pikiran Bulan. Ia meralat kalimatnya yang mengatakan kalau taman dan bangunan bersejarah yang romantis itu tepat untuk menyatakan cinta. Bahkan super market juga bisa jadi tempat yang romantis.

"Nadi ini berdenyut dengan hebat karenamu. Jantung ini memompa lebih kuat akibat ulahmu. Dan mata ini seakan tak mampu berpaling saat denganmu. Aku ulang, aku memang bisa hidup tanpamu. Tapi, aku akan merasa hambar dalam hidup tanpamu. Kamu mau tidak menjadi perasa dalam malam dan siangku?" jelas si pria dengan penuh percaya diri.

Bulan meremas ujung bajunya dengan kuat-kuat. Ia merasa kalau dadanya kini dihantam lebih dari seribu panah. Bahkan rasa sakit ini belum pernah ia rasakan bahkan saat putus dari Rafto sekali pun.

"Mila, kamu mau nggak jadi pacar aku?" tanya lelaki itu seraya bangkit dari duduknya dan berdiri menatap gadis itu yang merupakan sahabat Bulan sedari SMP, Kamila Grace Jordano.

"Aku mau Ozy. Sangat mau," riang gadis itu dan langsung memeluk pria itu.

Ozy? Yap, Fauzi Dirgantara. Lelaki itu menyatakan perasaannya pada Kamila atau Mila.

Tanpa sadar Bulan terisak kecil. Entah kenapa ia seperti seorang kekasih yang dikhianati oleh pacarnya. Ozy benar-benar menghancurkan hatinya.

Sekarang ia sudah mengerti ucapan Rafto. Pria berlesung itu memang benar kalau Bulan mencintai Ozy, bahkan sangat mencintainya. Tapi Rafto salah mengatakan kalau Ozy juga menyukainya. Faktanya, sekarang Ozy telah menjadi milik sahabatnya.

Bulan maju satu langkah dan menjadi yang paling terdepan diantara kerumunan orang.

"Gue benci lo bukan karena sesuatu perasaan yang tak suka. Melainkan, perasaan sayang gue menggebu-gebu dan membuat gue selalu ingin mencari perhatian lo dengan cara benci dengan lo," ujar Bulan. Ozy dan Mila menatap Bulan dengan tatapan terkejut.

"Sekarang gue tak pernah ragu lagi untuk pergi. Selama ini gue tak pergi karena seperti ada yang menganggu. Sekarang hal itu hilang. Selamat tinggal," ucap Bulan dan berlari membelah kerumunan itu.

Air matanya tak dapat ia bendung. Dengan kekuatan yang ia punya Bulan menginjak pedal gas mobilnya dengan kuat.

'Selamat tinggal Ozy. Maaf sudah punya perasaan padamu,'

Cinta dan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang