Spending Time

17.5K 802 105
                                    

Aku mengajak istriku, tiffany hwang yang telah berubah menjadi tiffany kim sejak 2 tahun yang lalu.  Aku memang tidak memaksanya mengubah namanya menjadi nama margaku. Tapi ia begitu menginginkan kim di belakang namanya. Bukan berarti ia tak ingin hwang, nama belakang ayahnya lagi. Tapi ia beralasan bahwa menjadi tiffany kim telah menjadikan aku dan dia satu.

" Aku menikah denganmu. Hidup bersamamu. Dekat dengan keluargamu disini. Aku dan kamu telah menjadi seikat jiwa dan terpisah dua raga. " Bukankah dia sangat manis? Aku tak bisa melupakannya saat ia mengatakan hal itu padaku. Istriku. Aku sungguh mencintaimu. Terima kasih telah memilihku diantara banyaknya lelaki dan perempuan yang telah kau temui di bumi ini.

" Taetae-ah.. Bisakah kau lebih cepat.. Aku sudah sangat lapar.. " Tiffany menarik-narik lengan bajuku sembari cemberut lucu. Aku mengajaknya pergi makan di luar. Mencari pedagang yang menjual makanan di pinggir jalan. Aku bilang kalau aku rindu makanan yang di jual di pinggir jalan. Mengingatkanku akan masa sekolah dulu. Dan tiffany dengan semangatnya mencetuskan ide jika kita makan di luar dan berburu mencari makanan yang di jual di pinggir jalan.

Meski dia yang mencetuskan idenya. Tapi pada akhirnya akulah yang mengajaknya keluar karena tahu betul dimana letak makanan pinggiran jalan yang enak.

" Sabar sayang. Mobil kita bukan kereta. "

" Baiklah. "

Sekejap aku melirik ke arahnya yang sudah menjadi tenang. Tak tahan dengan tingkahnya aku segera meraih tangannya untuk ku kecup sebentar.

" I love you. " Aku mengusap tangannya lembut.

" Awww.. why so sweet. I love you too baby. " Tiffany mencium pipiku kemudian di akhiri dengan cubitan gemasnya.

" You are so cute. "


Kita mampir ke tempat penjual odeng. Awalnya aku pikir kita lebih baik mampir ke pedagang yang menyediakan soju. Tapi tiffany tiba-tiba saja menginginkan odeng. Ia bahkan menarik-narik lengan bajuku agar aku cepat menghentikan laju mobilku. Dan disinilah kita. Melahap odeng, lebih tepatnya hanya tiffany yang makan. Aku hanya sibuk memperhatikannya makan dengan riang.

" Hehm.. mashita.. " Tiffany menyodorkan tusukan odengnya ke mulutku, aku pun dengan senang hati memakannya.

" Aku ingin soju. " Ungkapku setelah menelan habis.

" Nanti kita mampir tae.. Lagipula kau tak bisa terlalu banyak minum soju. Setengah botol saja sudah membuat wajahmu begitu Merah.Dan malam masih panjang, jadi jangan khawatir. "

Tiffany kembali menyumpalkan odengnya ke dalam mulutku agar diam. Ia tahu betul jika aku akan merajuk.

" Apakah gelang ini bisa di tukar dengan beberapa odeng?? " Tiba-tiba aku mendengar suara di sisi kiriku. Dengan reflek aku segera menengok ke samping. Aku melihat seorang nenek tua. Dengan pakaian lusuh dan wajah kelelahan. Ia menyodorkan sebuah gelang yang aku lihat berwarna biru.

" Maaf nek. Tapi gelang ini sudah rusak. Pengaitnya juga tidak ada. Ini juga sepertinya tidak ada harganya. " Sang pedagang mengembalikan gelangnya setelah untuk sesaat ia melihatnya.

" Ah. Sayang sekali. Gelang ini satu-satunya yang nenek punya. Dompet nenek jatuh entah kemana. Jika begini entah harus bagaimana lagi. Maafkan nenek sudah merepotkan. " Ia menampakkan wajah sedih lalu berbalik hendak pergi.

Melihat kejadian ini tak mungkin bisa aku membiarkannya begitu saja.

" Tunggu, nek! " Aku segera mencegahnya pergi.

"Makanlah dulu. Aku yang akan membayarnya. "

" Apa tidak apa-apa? "

" Tentu saja. " Aku tersenyum sembari menyodorkan tusukan odeng untuk dia makan.

" Anak muda. Terima kasih banyak. " Ia menerimanya dengan mata yang berkaca-kaca. Oh. Dia membuatku sedih. Tapi aku membalasnya dengan senyuman.

Aku terus saja memperhatikan diantara tiffany dan sang nenek yang sedang makan. Sebelum aku lihat makanannya habis, aku kembali menyodorkannya yang baru kepada sang nenek hingga seterusnya.

" Nenek sungguh kenyang. Terima kasih anak muda. Simpanlah gelang ini sebagai balasannya. " Ia meraih tangan kananku untuk kemudian ia letakkan gelangnya ke dalam telapak tanganku.

" Tapi jika gelang ini begitu berarti untuk nenek tidak  perlu diberikan kepadaku. "

" Tidak apa-apa. Kamu pantas menerimanya. " Ujarnya meyakinkan.

Karena tak ingin menyakiti hatinya, aku pun menerimanya. Menyimpannya di saku celanaku.

" Dimana nenek tinggal? Biar sekalian kita antarkan."

" Nenek jadi semakin tidak enak jika begini. "

" Tidak masalah. " Aku meraih tangan tiffany untuk ku genggam sedang tangan lainnnya memapah sang nenek. Berjalan menuju dimana mobilku di parkirkan.

" Kau memilki hidup yang indah ya. " Sang nenek tiba-tiba saja menggenggam tanganku dengan kedua tangannya. Sembari menepuk-nepuknya pelan.

" Ya begitulah.. " Aku hanya bisa tertawa canggung.

" Istrimu juga begitu cantik. "

Aku sontak saja langsung melirik ke arah sang nenek dengan kaget dan heran. Bagaimana dia tahu? Karena hanya sahabat dan keluarga saja yang tahu tentang pernikahan kita. Aku juga sempat melirik ke arah istriku, ia hanya menggeleng bingung.

" Aku memperhatikan cincin yang kalian pakai. "

" Ahhh.. " Aku menganggukkan kepalaku paham meski aku berpikir, apa kita semencolok ini?

" Sayang sekali kau memilih takdir ini. Kau tak bisa menghamili istrimu dengan tubuh seperti ini. "

" Apa??! " Apa orang tua ini sedang bercanda? Kenapa dia jadi berbicara aneh. Aku melihat tiffany yang tertawa sembari menepuk-nepuk kedua tangannya. Dia pasti menemukan hal ini begitu lucu huh, istriku. Melihatnya begitu membuatku menatapnya tajam.

" Nanti pakailah gelangnya. " Aku mendengar suara sang nenek hingga membuatku mengalihkan perhatian pada sumber suara,  tapi setelah aku melirik ke arah dia yang aku yakin sejak tadi sedang berjalan di sampingku. Aku tidak menemukannya lagi.

The Chosen One [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang