19

2 0 0
                                    

Bagian 18

Jam dinding yang diam ditempatnya baru menunjukkan pukul 9.00 pagi, namun Nathan telah lama duduk dibangku minimarket sambil beberapa bungkus makanan ringan telah habis dari tempatnya. 

Seorang gadis dengan wajah cerah masuk kedalam dan pelayan minimarket telah lebih dulu menyapanya. Mara tersenyum dan langsung menuju bangku dimana Nathan telah menunggunya sedari tadi pagi.

"Lama banget sih!" celetuk Nathan menyapa Mara.

"Aku tepat waktu kok, ini juga baru jam 9 pagi, sesuai janji kita kemarin kan?" jawab Mara sambil melihat jam yang melekat serasi ditangannya.

"Oh."

"Kamu dateng dari jam berapa?" tanya Mara pada Nathan.

"Dari jam 8 pagi."

"Dasar, jelas-jelas Kamu duluan yang dateng terlalu pagi, dari jam janjiannya. Kita langsung kemana sekarang?"

"Iya-iya, terserah Kamu aja."

"Gimana kalau ke toko buku pusat, Kamu tahu jalannya kan?"

"Langsung ke toko buku? Kamu udah sarapan belum?"

"Udah kok, ayuk!" ajak Mara dan mereka mulai menunggu bus umum untuk membawa mereka ke halte toko buku. Seharian itu, jauh dari rasa canggung tidak seperti apa yang Mara pikirkan sebelum mereka bertemu. Nathan, cukup banyak tahu wawasan, sehingga mereka saling bertukar ilmu satu sama lain. Nathan menceritakan semua hal yang Mara tanyakan, begitu juga Mara menceritakan pengalamannya sebelum Ia menetap di kota ini sekarang.

"Aku jadi pingin pergi ke banyak tempat, biar tahu banyak tempat kayak yang barusan Kamu ceritain." Simpul Nathan pada Mara.

"Mmh, bagus itu! Berarti kali ini Kamu udah tahu kan mau lanjut sekolah dimana?" tanya Mara, sembari menghabiskan minuman susu yang yang Ia beli tadi.

"Belum, tapi yang pasti, kali ini Aku mau merantau."

"Kamu udah cerita tentang keputusanmu dengan orang tuamu?" tanya Mara mempertimbangkan usulan Nathan.

Terlihat Nathan juga mempertimbangkan perkataan Mara barusan. Ia jarang berbagi cerita dengan Mamanya terlebih karena masalah dikeluarganya. Ia berpikir tentang respon kedua orangtuanya jika Ia menceritakan keputusannya yang terbilang mendadak seperti ini.

Mereka melanjutkan perjalanan Mereka dan memutuskan untuk makan siang disuatu tempat yang cukup sering dikunjungi Nathan dengan keluarganya dulu. Tempatnya berada dipersimpangan jalan besar, dan banyak orang yang mengunjunginya. 

Mara sangat senang dengan suasana rumah makan disana, tempatnya sangat asri dan terlihat tradisional, sangat tidak sinkron dengan suasana diluar rumah makan yang berada disimpang jalan yang justru penuh padat dengan kendaraan bermotor dan penyumbang sebagian besar polusi udara di kota metropolitan ini.

Pelayan memberikan buku menu pada Mara dan Nathan dan bersiap mencatat pesanan yang akan pelanggannya tersebut pesan. Setelah melihat-lihat daftar menu makanan, Mara akhirnya memutuskan bertanya pada Nathan.

"Kamu biasanya pesan apa?"

"Rawon nguling enak, sup buntutnya juga." Saran Nathan.

"Aku pesan yang sama aja deh." Nathan menyebutkan pesanan mereka berdua dan menunggu sampai makanan datang. Selesai dari makan siang itu, mereka memutuskan untuk pulang dan Nathan menawarkan untuk mengantar Mara sampai dirumahnya.

"Nggak usah deh, lagian nanti kamu perlu bayar dobel untuk bisnya." Jawab Mara.

"Ya udah, bagus deh." Dan akhirnya Nathan tidak memaksa untuk mengantarnya. Hari itu telah berakhir. Mara turun lebih dulu dari pada Nathan. Setelah turun dihalte, Ia bergegas berjalan kaki untuk pulang kerumah.

---

Sesampainya dirumah, Nathan melihat keadaan rumah yang kembali kacau dengan banyak barang jatuh dan tidak pada tempatnya semula. Ia berlari menuju kamar, demi memeriksa keadaan mamanya. Nampak mamanya tengah terduduk dengan tatapan kosong, dan wajah yang berantakan menandakan dirinya sehabis menangis. Nathan menghampiri mamanya dan menyentuh lembuh tangannya.

"Ma?" tanya Nathan.

Mamanya tersebut tidak menjawab melainkan hanya melihatnya dengan tatapan kosong pula. Nathan kemudian menuju dapur dan mengambilkan Mamanya tersebut segelas air. Ia tidak melihat sosok Ayahnya yang kemarin duduk baik-baik saja diruang tengah. Nathan memberikan air tersebut pada Mamanya, yang dibalas dengan tatapan sayu Mamanya, dan meraih gelas yang diberikan Anaknya tersebut dengan tidak bertenaga.

Setelah sedikit menenangkan Mamanya dikamar, Ia lantas kelur kamar untuk membereskan kembali rumahnya. 

Tidak berapa lama kemudian, Ayahnya kembali untuk mengambil beberapa barang miliknya yang dirasa tertinggal.

"Pa!" teriak Nathan.

"Bisa tidak Kita hentikan ini?" ujar Nathan dengan semua emosinya yang selama ini terpendam ketika melihat kedua orang tuanya tersebut bertengkar.

"Nathan, dengar nak..."

"Pa, Aku udah capek! Menghadapi Mama yang terus menangis seperti itu, Papa sempat nggak mikirin perasaanku yang setiap pulang kerumah selalu lihat rumah berantakan, suasana rumah yang dingin, canggung, dan sangat nggak nyaman kayak gini?"

"Papa nggak mau memulai kakacauan ini nak," bela Ayahnya.

"Pa, apa kita nggak bisa kembali lagi seperti dulu? Nggak ada lagi salah paham satu sama lain?"

Papanya tersebut hanya terduduk lemas dikursinya sekarang. Urung niatnya untuk kembali minggat dan kabur dari masalah lagi seperti ini. bagaimanapun juga kata-kata anaknya memang benar. Keegoisannya menutupi nuraninya untuk memikirkan perasaan anak semata wayangnya itu. 

Lama Ayah dan Anak itu diam diruang depan sampai pintu kamar Mamanya Nathan terbuka. Ibunya tersebut menuju anaknya dan memeluk anaknya dengan isak tangis. Sedang Nathan hanya tertunduk melihat raut wajah ayahnya yang penuh dengan pikiran yang mengganggunya.

Malam itu setelah keributan tadi sore, keluarga tersebut makan malam bersama untuk pertama kalinya dalam tiga tahun terakhir. Mereka makan malam dengan diam, dan perasaan canggung ssatu sama lain. Bingung untuk memulai percakapan dan hanya suara sendok garpu yang beradu dengan piring kaca yang ada diatas meja. 

Ketika seperti ini, Nathan teringat dengan Mara. Entah mengapa, Ia terpikirkan bagaimana Mara berusaha untuk tidak canggung berbicara dengan orang lain, meski mereka belum terlalu mengenalnya. Mara ahlinya membuat orang asing yang baru bertemu dengan dirinya merasa nyaman, itu yang terpikir oleh Nathan selama Ia makan malam. Selama makan malam itu juga, Ia berusaha membuat suasana rumah menjadi hangat seperti ketika kedua orang tuanya rukun.

---

Sementara itu, Mara telah selesai mandi dan berencana untuk belajar dengan ditemani cokelat panas dimejanya. Selang beberapa menit kemudian, Ia menerima panggilan dari bibinya yang memberi kabar buruk baginya. Neneknya kembali kambuh dari penyakitnya dan berusaha untuk kabur dari rumah yang alhasil membuat neneknya tersebut hampir tertabrak oleh mobil yang melintas didepannya. 

Mara shock mendengar berita tersebut, dan bergegas pulang menuju rumah neneknya malam itu juga.

Eureka! Aku Menemukannya!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang