"Lo mungkin membutuhkannya,"
Seseorang lalu menyodorkan sapu tangan miliknya. Ciri khas suara berat, bentuk badan berbidang dan tubuh yang terlihat lebih berproporsi serta wangi parfum James Bond sangat jelas ketika ia berdiri didepan kursi kereta Reena dan Rosse.
"Gue gak perlu, terimakasih." Dengan nada terisak, Reena menjawab pertanyaan pria tersebut dengan umur kira-kira 19 tahun.
"Lo yakin? Pakai aja, perempuan selalu terlihat jelek ketika menangis," Sahut pria tersebut dengan wajah datar.
Reena mengambil sapu tangan miliknya. Warna biru laut, apakah semua laki-laki selalu membawa sapu tangan disakunya? Ah, Pertanyaan itu seperti mengalir di otak Reena.
"Akan gue kembalikan nanti." Sahutnya, untuk meyakinkan ia untuk mengembalikannya lain waktu.
"Gaperlu lo balikin, gue banyak sapu tangan dirumah." Balas Pria tersebut.
"ini bakal gue balikin." cetus Reena maksa.
"Nih, lo pegang kartu nama gue. Gue tunggu janji lo mau balikin itu sapu tangan."
Lalu, pria tersebut berlari keluar kereta ketika Stasiun tujuannya telah sampai. Reena berfikir sejenak, sejak kapan novel-novel yang pernah ia baca berubah menjadi kenyataan? Seperti novel yang pernah ia baca tentang kejadian seorang wanita yang bertemu dengan stranger laki-laki di transportasi umum, lalu akan bertemu kembali diwaktu selanjutnya. "Tidak, ini tidak akan terjadi dalam hidup gue".
Cuma Cakra yang tetap ada di hati Reena. Tidak ada orang lain, apalagi stranger.
Reena mengusap wajahnya pelan, menghela nafas. Kenapa tiba-tiba Reena berfikir demikian? Hanya seseorang yang memberikan bantuan untuk membersihkan air mata, tidak lebih. Kenapa Reena berfikir sedemikian jauh? Sebentar lagi Reena akan dinobatkan sebagai wanita pengkhayal number one.
"Museum mana dulu nih, Ros?" Tanya Reena saat mereka sampai di kompleks museum.
"Makan dulu aja, gue gak sempat makan tadi." Jawabnya.
Hari ini, Reena makan siang disebuah Cafe yang popular dikalangan remaja. Ramai, namun Reena masih merasa sendiri. Reena membuka laptopnya, siapa tahu bisa mendapatkan ide dari perjalanan hari ini. Screensever laptop Reena mulai terbit, pertanda kalau ia sudah lama dicuekin. Sudah lama dibiarkan. Sudah lama dianggurkan. Sama seperti pemiliknya.
"Heh, dimakan tuh steaknya. Jangan di diemin terus! Nanti gak enak. Jangan kebanyakan ngelamun, Reen." Tegur Rosse saat melihat Reena dengan tatapan kosong sambil memutar-mutar sedotan air minumnya.
Semenjak kejadian dikereta tadi, Reena tidak merasakan perjalanan hari ini. Sejujurnya, Reena sangat berharap dengan melakukan trip seharian penuh dengan Rosse, dapat membuat dirinya sedikit lupa dengan Cakra. Meskipun hanya sedikit, kalau dibiasakan pasti akan lupa dengan sendirinya. Hati dan pikiran Reena tidak sinkron. Pikirannya ingin melupakan, namun hati berkata lain.
Apa kamu memberikanku sumpah serapah, Cak? Sehingga aku sulit melupakanmu?
"Iya, iya. Ini gue makan Ros." Reena memotong daging Steak yang telah ia pesan tadi, rasanya sudah hambar. Karna ketiup hembusan angin, mungkin. Sama, perasaan Reena semakin hambar bahkan tidak berasa seperti punya perasaan setiap kali teringat Cakra waktu meninggalkannya. Hanya sekejap rasa itu menghilang, namun menetap kembali dengan waktu yang lama ketika wajahnya berubah tersenyum dipikiran Reena.
"Kamu hebat, Cak." Ucap Reena yang
terdengar keras oleh Rosse."Haduh, capek, deh. Lagi makan woi! Cakra lagi, Cakra terus, Cakra mulu. Gabosen bosen lo ya. Heran gue."
"Andai saja gue punya yang baru, Ros. Mencintai dia gak harus melupakan masa lalu nya, kan?"
"Lo tuh cuma butuh ruang sendiri, Reen."
Sebelum Cakra hadir dua tahun lalu, Reena sempat tidak berminat untuk membuka hati untuk siapapun. Diantara jejeran pria yang mendekatinya, tak satu pun dari mereka yang bisa mendapatkan hati Reena. Reena lelah dengan patah hati, Reena tak sanggup menerima hasil akhir dari sebuah hubungan. Namun dengan Cakra, Reena mau melakukan hal itu. Reena sanggup membuka hati untuknya. Reena mau menerima Cakra sebagai pelengkap hidupnya. Reena menaruh semua harapan miliknya pada Cakra. Tapi apa hasil yang ia dapat? Sebuah hati yang sudah disusun dengan baik, dapat dihancurkan dengan nya dalam sekejap.
"Yuk, Reen. Ke Museum itu dulu ya." Ajak Rosse yang tengah menunjuk gedung putih dengan hiasan bendera Negara-negara asing di halamannya.
"Kenapa nggak yang daerah sini dulu, Ros?" Reena mencoba menawarkan beberapa Museum, karna hanya ada satu alasan mengapa Reena menahan Rosse untuk pergi ke Museum tersebut. Karna posisi Museum tersebut yang berada di sebrang jalan dan Reena 'takut menyebrang jalan.'
Terlalu klise.
***
"Aku takut, Cak. Kamu yang kesana aja aku tunggu disini." Reena menahan tangan Cakra sambil sesekali membenamkan kepalanya dibelakang bahu bidang Cakra.
"Apa yang harus ditakutkan, Tuan Putri? Hanya menyebrang sekali lalu kita akan dapat Pancake yang kamu mau."
"Aku takut nyebrang, Cak. Aku sudah beribu-ribu kali ngomong ke kamu." Reena memasang wajah melas.
"Cemen, lo." Sambil terkekeh pelan seraya melihat wajah Reena yang cemberut minta dicubit, katanya.
Tuan Putri, kata panggilan untuk Reena dari Cakra. Cakra selalu memanggil Reena seperti itu kalau Reena mulai menunjukan tatapan manja dan berharap mendapat respon balik dari Cakra. Cakra paham betul kalau Reena sangat takut untuk menyebrang jalan. Dan pada titik puncak lelah Cakra membujuk Reena untuk menyebrang, dengan senang hati Cakra menawarkan punggungnya untuk sekedar Reena tumpangi sampai sebrang jalan.
Ternyata, membuatku bahagia cukup mudah ya, Cak?
Reena kembali memfokuskan pandangannya, dan mulai sedikit menghindari Cakra dalam pikirannya.
***
"Yaudah deh, cuzz ke Museum selanjutnya." Rosse menarik tangan Reena dengan bersemangat.
Tiga jam sudah Reena dan Rosse menelusuri setiap sisi bagian dari Kompleks Museum. Semua Museum mereka jumpai hingga puncak lelahpun dapat mereka raih. Berbekal payung untuk mempersiapkan diri ketika hujan datang, mereka keluar dari pintu Museum.
Terlihat langit mulai menangis. Gerimis rintik-rintik beserta angin menyapu debu jalanan. Tercium aroma khas air hujan disana. Reena berlari bersama Rosse sambil sesekali tertawa lepas. Tertawa seperti tidak memiliki beban. Inilah rasa hidup sebenarnya yang ingin Reena punya.
Saat itu Reena paham, tertawa itu indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seperti Senja [COMPLETED]
Teen Fiction#38 in patahhati [ 17 Juni 2018 ] #7 in makinglove [ 23 Desember 2018 ] Aku pernah belajar mencintaimu. Aku pernah belajar menerima perasaanmu. Aku pernah belajar memiliki hatimu. Hingga akhirnya, aku belajar merelakanmu. Sangat sulit, asal kau tah...