Prolog

6.9K 183 7
                                    

Hujan diluar memang sudah berhenti, namun hujan di dalam hati semakin deras. Tak ada payung yang cukup untuk menampung semua air hujan yang sudah terlanjur turun, dan mungkin hujannya sudah mereda lalu mulai terjun perlahan di dalam kelopak mata.

Sebuah peristiwa bodoh ketika seorang penulis bergelar bestseller  duduk bungkam menghabiskan waktu hanya untuk menatap layar laptop yang kini mulai mengantuk. Bertanda bahwa alat elektronik tersebut butuh asupan energi. Tak ada kalimat, bahkah satu kata pun yang berhasil ia hasilkan disana.

Seduhan kopi hitam bercampur gula pasir halus yang menghangat lalu menjelma menjadi cold coffee, yang diharapkan dapat menemani malam itu. Alunan music Cafè Koffe ini seolah menyapu sedikit pikirannya yang menghinggap dalam gelap.

Seperti kapal tanpa awak, semakin kesini hidup Reena semakin tak ter arah. Semenjak pria itu pergi dengan meninggalkan bekas jejaknya, serta semua luka yang ia berikan, Reena jauh tak bisa mengkontrol emosinya. Rasa dicampakkan selalu hadir dalam benaknya, ketika mengingat bagaimana pria itu berani mengambil sebuah keputusan yang sama sekali tidak Reena setujui.

"Udah, sih. Gausah dipikirin lagi. Ngapain lo capek-capek nguras otak buat cowok yang pergi gitu aja?" Tepuk Rosse seraya menggeser kursi untuk duduk berhadapan dengan Reena.

Lo gak akan paham, Ros. Lo gak akan ngerti apa yang gue rasain selama dia pergi. Lo gak akan tahu apa yang telah gue dan dia lakukan sampai membuat gue jatuh seperti ini. Lo gak akan paham, Ros. Gak akan. Ucap Reena lirih dalam hati.

"Apasih, Rosse. Gue lagi gak mikirin dia kok. Lagi bingung aja nyari kalimat utama buat novel gue yang baru." Sahut Reena sekenanya.

"Reena Sayang, gak usah ngelak! Mata lo aja sudah berkaca-kaca daritadi. Airnya sudah mau terjun, tuh."

Rosse benar, Reena tidak bisa lagi menutupi rasa kesedihannya, bahkan di depan sahabatnya sendiri. Rosse Geraldine memang paling paham disetiap ekspresi dan mimik wajah seorang Reena. Tak heran kenapa ia selalu kuat menampung semua cerita-cerita cengeng yang setiap kali Reena buat.

"Sudah ah, lo ngaco nih. Lo mau kesini buat menghibur gue atau mau ledekin gue gini?"

"Anyway, gue mau ngajak lo keliling Jakarta, sih. Seharian aja biar lo gak sedih terus, gimana?"

"Bosen, woi! Gue bolak-balik sekolah aja sudah explore Jakarta."

"Ini beda. Gue mau ngajak lo keliling Museum. Ya, please?"

Semua cerita tentang Reena dan Cakra, sudah Reena rangkum baik-baik. Tak semua peristiwa yang sudah mereka lewati, ia ceritakan lepas kepada Rosse. Reena tahu, Rosse memang pandai menyimpan semua rahasia. Namun, semua orang berhak mempunyai cerita yang tidak harus selalu di umbar, kan?

Hari ini, sudah tepat hari ke 360 ia tidak bisa menulis lagi. Reena merasa bodoh, tidak berguna, kacau melihat lembar kosong yang tak terlukis kalimat sedikitpun. Otaknya terus berotasi mencari kalimat-kalimat terbaik yang selalu ia isi untuk setiap novelnya, tapi tidak untuk hari ini. Kenyataannya sungguh berputar balik pada kebiasaannya. Semua kalimat seakan-akan membisu, tidak terlintas kalimat apapun dalam pikirannya.

Reena frustasi apa yang sedang terjadi kepadanya sekarang. Reena tidak bisa merelakan Cakra yang sudah pergi jauh, dengan siapa ia sekarang berada, bagaimana keadaanya, semua pertanyaan itu selalu menghantui pikirannya.

Apa Reena dapat melupakan Cakra secepat itu yang dengan bangga meninggalkan nya dengan semua luka?

Seperti Senja [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang