Saat jam istirahat pertama tadi Rana mengirimkan pesan singkat pada Alwan yang mengatakan bahwa cewek itu baru saja mendapatkan nilai di bawah kkm dalam mata pelajaran Fisika. Maka dari itu, Rana meminta Alwan untuk mengajarinya sore ini sepulang sekolah. Dan, disinilah Alwan sekarang, di kelas 12 IPA A—kelas Alwan—bersama dengan Rana yang kini tengah berkutat dengan soal Fisika yang tadi Alwan berikan pada cewek itu sejak duapuluh menit yang lalu.
Kedua mata Alwan melirik Rana yang baru saja mengembuskan napas gusar dengan lumayan keras, membuat Alwan tersenyum tipis.
"Masih belum bisa?" tanya Alwan pada akhirnya.
Rana mendongakkan kepalanya dan menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi yang ia duduki sambil mendesah panjang. "Nyerah gue, kak."
"Bagian mana yang lo nggak bisa?"
"Semuanya."
Jawaban yang keluar dengan lancar dari mulut Rana itu membuat Alwan terkekeh.
Tangan kanan Alwan menjulur untuk mengambil pensil yang sejak tadi masih Rana genggam dan mulai menuliskan beberapa rumus untuk menjawab soal yang sedang Rana kerjakan tadi—atau lebih tepatnya Rana pandangi tadi.
"Ini lo cuma perlu pakai rumus Hukum Dua Newton dan tinggal dijabarin aja, terus masukin data-data yang udah tersedia di soal," jelas Alwan sambil menuliskan jawabannya di buku Rana.
Melihat itu kontan kedua mata Rana melebar, terkejut karena ternyata semudah itu. Rana tercengang karena bagaimana bisa Alwan mengerjakan soal itu hanya dalam hitungan detik di saat dirinya sudah berusaha mengerjakan soal itu dalam duapuluh menit, dan tentu saja diakhiri dengan kegagalan.
"Ya tuhan!" pekik Rana tertahan. "Ternyata kayak gitu doang?" tanya Rana heboh, sedangkan Alwan hanya mengangguk sambil terkekeh pelan.
"Eh, Kak," panggil Rana. "Gue denger-denger, olimpiade tahun ini lo ditemenin Kak Agatha, ya?"
Mendengar nama Agatha disebut membuat Alwan terdiam sesaat, membuat Rana menoleh ke arah Alwan karena tidak kunjung menjawab pertanyaan darinya. Dan tanpa Alwan sadari, kedua ujung bibir Rana tertarik membentuk senyuman yang sangat tipis, sampai-sampai senyum itu bisa saja tidak dapat dikategorikan sebagai senyuman karena saking tipisnya.
"Iya," jawab Alwan setelah beberapa lama terdiam. Alwan sendiri juga tidak tahu mengapa dirinya bisa seperti ini, hanya saja saat dirinya mendengar nama Agatha disebut, dia tidak bisa tidak mengingat percakapan yang mengalir di antara dirinya dan Abby dua hari yang lalu.
"Gue mikirnya kalau dia itu," jeda, "Agatha."
Kedua alis Alwan tertaut begitu mendengar ucapan Abby. Bagaimana bisa Abby menyimpulkan bahwa yang dimaksud 'her' dan 'dia' dalam surat kaleng itu adalah Agatha? Alwan tidak habis pikir.
"Kenapa lo bisa menyimpulkan kalau dia itu Agatha?"
Abby berdecak. "Kenapa lo jadi telmi gini, Al?" gerutu Abby. "Gini deh, sejak awal Agatha masuk, siapa cowok yang pertama kali jalan keliling sekolah sama dia? Jawabannya, Lo. Siapa yang pertama kali cowok yang makan di kantin bareng Agatha? Jawabannya, Lo. Siapa cowok pertama yang nganterin Agatha pulang? Jawabannya, Lo. Dan nggak jarang gue lihat lo jalan bareng Agatha. Emang sih jalannya di sekolah, tapi, sama aja, Al.
"Jadi, kesimpulannya, cewek yang dimaksud di surat itu adalah, Agatha," ujar Abby menutup penjelasannya.
"Tapi gue nggak dekat sama dia," elak Alwan.
Abby mendesah panjang. "Ayolah, Al. Lo bisa aja ngelak kalau lo nggak dekat sama dia, tapi secara nggak langsung, dengan Agatha yang sering berada di samping lo, membuat orang-orang—maksud gue, membuat si pengirim surat kaleng berasumsi bahwa lo dekat sama Agatha."
KAMU SEDANG MEMBACA
STS[1] - Too Late
Teen FictionSeperti pelajar pada umumnya, hari-hari gue diisi dengan belajar, belajar, dan belajar. Bukannya apa-apa, saat ini gue sudah kelas duabelas yang artinya tinggal menghitung bulan hingga akhirnya gue akan menghadapi Ujian Nasional. Mungkin karena terl...