Apa yang harus Alwan pilih? 1)menemui Vano di parkiran sekolah, 2)berlatih olimpiade bersama Agatha, atau 3)menenangkan Andira di rumahnya?
Jika Alwan melaksanakan opsi pertama, tidak akan berpengaruh apa-apa baginya. Jika Alwan melaksanakan opsi kedua, dia mendapat keuntungan karena dengan begitu dia menjadi lebih siap untuk menghadapi olimpiade dua bulan lagi, dan Alwan bisa berduaan dengan Aga—hei, Alwan mikir apa, sih? Sudah abaikan saja. Dan jika Alwan memilih opsi ketiga, Alwan bisa menenangkan Andira yang sedang sakit hati dan secara perlahan-lahan membujuk cewek itu untuk bercita padanya.
Huh, Alwan pusing.
"Dih? Ngapain lo jambak-jambak rambut kayak gitu?"
Alwan menolehkan kepalanya kepada Abby yang sedang menatapnya dengan tatapan aneh, seakan-akan Alwan ini adalah makhluk langka bernama alien yang baru saja datang ke bumi.
"Pertanyaan ada untuk di jawab kali, Al," gerutu Abby, kesal sendiri karena Alwan bukannya menjawab pertanyaannya, sahabatnya itu malah memandanginya sama anehnya.
"Kayak pernah dengar kalimat itu," ucap Alwan.
Abby mendengus kesal. "Iye, emang itu kalimat yang sering diucapin Saphora," Abby melirik Alwan dengan sinis, membuat Alwan terkekeh.
"Eh, Al."
Alwan hanya berdehem demi menjawab panggilan Abby.
"Gue udah tau siapa yang ngirim surat kaleng itu."
Gue juga udah tau, Ab, batin Alwan berkata.
"Lo mau tau nggak?" tanya Abby. Alwan mengangguk. "Vano, Al!"
Benar apa kata Alwan, pasti Abby menyangka kalau orang itu adalah Vano.
"Lo tau darimana?"
"Akhir-akhir ini gue sering banget lihat Agatha jalan bareng Vano," ujar Abby. "Bukan jalan bareng, sih, lebih tepatnya kayak Vano yang ngejar-ngejar Agatha, sedangkan Agatha kayak yang menghindar gitu, deh."
Alwan terdiam, tidak tahu harus merespon ucapan Abby seperti apa.
"Nggak kayak kalau Agatha jalan bareng lo," sambung Abby, membuat Alwan menoleh ke arah sahabatnya itu dengan kedua alis yang tertaut, sedangkan Abby sudah bermain dengan kedua alisnya yang dinaik-turunkan dan tak lupa dengan senyum andalannya—senyuman yang ia tampilkan jika sedang menggoda Alwan. "Kan kalau sama lo tuh, Agatha kayaknya dekeeeeet banget, kayak nggak mau jauh-jauh dari lo, Al."
"Lebay."
"Serius deh," Abby menaikkan sebelah tangannya dan kedua jari tengah dan telunjuknya membentuk huruf V besar.
"Ab," kali ini Abby yang menoleh ke arah Alwan begitu mendengar namanya dipanggil. "Sebenarnya gue juga udah tau"
"Tuh, kan!"
Teriakan Abby sukses membuat Alwan sedikit terlonjak, ia tidak menyangka kalau respon Abby akan seheboh itu.
"Kebiasaan lo, Al," Abby melipat kedua tangannya di depan dada. "Nggak pernah mau cerita kalau ada apa-apa."
"Sori," Alwan meringis, sedikit merasa bersalah.
Abby menyengir lebar. Sebenarnya dia tidak marah beneran sama Alwan, hanya saja dia kesal karena Alwan seakan-akan tidak menganggapnya sebagai sahabat dengan tidak menceritakan apa yang terjadi dengan cowok itu.
"Btw, lo tau darimana, Al kalau yang ngirim lo surat itu si Vano?"
"Gue lihat Agatha jalan bareng Vano di dekat lapangan basket indoor dua hari lalu," ujar Alwan, sebelah tangannya merogoh saku seragamnya dan memberikan selembar kertas yang sudah dilipat-lipat menjadi persegi panjang kecil pada Abby. "Gue nemuin ini di loker tadi pagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
STS[1] - Too Late
Teen FictionSeperti pelajar pada umumnya, hari-hari gue diisi dengan belajar, belajar, dan belajar. Bukannya apa-apa, saat ini gue sudah kelas duabelas yang artinya tinggal menghitung bulan hingga akhirnya gue akan menghadapi Ujian Nasional. Mungkin karena terl...