Kedua ujung bibir Andira tertarik membentuk sebuah senyuman ketika dia mendapatkan Alwan sudah duduk di sofa ruang keluara rumahnya. Kedua tangannya terlipat di depan dada, begitu dengan tubuhnya yang bersandar pada dinding yang ada di sampingnya. Terbersit dalam ingatannya kenangan di masa lalu, saat dimana dirinya dan Alwan masih begitu kecil untuk mengetahui yang namanya cinta.
Gue mikir apa, sih?
Dengan senyum yang masih tercetak jelas di wajahnya, Andira berjalan menghampiri Alwan dari belakang. Satu tangannya terangkat, hendak meraih puncak kepala Alwan yang saat ini tengah sibuk membaca buku yang tidak Andira ketahui apa judul dan isinya.
Tinggal sepersekian millimeter tangan Andira hingga mendarat di puncak kepala Alwan, secara tiba-tiba cowok itu menoleh pada Andira, membuat Andira terkejut dan dengan cepat menarik kembali tangannya.
Dalam hati Andira mengutuk dirinya sendiri atas kebodohannya. Hampir saja dirinya tertangkap basah oleh Alwan karena hendak mengelus puncak kepala cowok itu.
"Andira? Sejak kapan lo di sini?"
"Eh?" Andira kelabakan sendiri. "Sejak ... tadi."
Senyuman yang kini terlihat di wajah Andira sukses membuat alis Alwan naik sebelah. Bagaimana tidak? Wajah Andira saat ini terlihat aneh dengan senyuman super-awkward-nya.
Andira mengulumkan bibirnya. Dia akui saat ini dirinya sangat bingung harus melakukan apa. Lagi-lagidirinya mengutuk dirinya sendiri. Mengapa bisa dia terlihat sangat bodoh di hadapan Alwan?
Kedua mata Andira melirik ke arah buku yang masih berada di tangan Alwan, "lo ngapain, Al?" kini alis Alwan yang naik tidak hanya satu, melainkan keduanya. Menandakan dengan jelas dia tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh sahabatnya itu. "Maksud gue, lo ngapain masih belajar di saat lo baru aja selesai TO?"
Sebelah tangan Alwan terangkat, memperlihatkan buku yang tengah dibacanya. Rasa malu kembali menyerang ketika dia menyadari bahwa buku yang sejak tadi Alwan baca bukanlah buku pelajaran, melainkan hanya sebuah novel.
"Ah ...," Andira mengangkat jari telunjuknya, "ya, itu novel. Haha, iya, novel." Bersamaan dengan itu suara tawa yang terdengar begitu hambar keluar dari mulut Andira. Merasa sangat malu, Andira membalikkan badannya dan beberapa kali mengetuk pelan kepalanya, lagi-lagi merutuki atas kebodohannya.
"Dir," panggil Alwan yang lantas membuat Andira kembali menoleh padanya. "Lo keliatan aneh, ada apa?"
"Gue? Aneh?" lagi, Andira tertawa hambar, sembari sesekali tangannya memukul ringan bahu Alwan. Tawanya terhenti begitu melihat Alwan tengah menatapnya dengan tatapan datar. "Gue aneh ya, Al?"
Tanpa mau mendengar lebih lanjut mengenai tanggapan Alwan, Andira langsung memposisikan dirinya tepat di sebelah Alwan. Menghadap lurus ke arah televisi yang sebenarnya tidak dinyalakan. Masa bodoh jika Alwan akan menganggapnya aneh—toh daritadi dirinya juga sudah terlihat aneh di mata Alwan.
Tepat di sampingnya, dengan sebuah novel yang masih terbuka di tangannya, Alwan menatap Andira dengan begitu dalam. Sebenarnya ada begitu banyak pertanyaan yang saat ini akan Alwan ajukan pada Andira. Dengan berbekal keyakinan yang sangat tipis, Alwan bertekad untuk menanyakan hal itu pada Andira hari ini.
"Dir."
"Ya," balas Andira dengan cepat sambil memutar tubuhnya menghadap Alwan.
Tanpa Andira sangka, respon yang ia berikan ternyata begitu mengejutkan Alwan hingga novel yang sejak tadi berada di tangan Alwan jatuh ke lantai. Kedua mata Andira lantas membelalak kaget begitu melihat novel itu tertutup dengan keadaan pembatas bukunya berada tepat di samping novel itu tergeletak.
KAMU SEDANG MEMBACA
STS[1] - Too Late
Teen FictionSeperti pelajar pada umumnya, hari-hari gue diisi dengan belajar, belajar, dan belajar. Bukannya apa-apa, saat ini gue sudah kelas duabelas yang artinya tinggal menghitung bulan hingga akhirnya gue akan menghadapi Ujian Nasional. Mungkin karena terl...