Satu minggu berlalu namun Agatha masih belum menunjukkan batang hidungnya di penjuru SGJIS. Hal itu cukup membuat Alwan khawatir, namun enggan untuk memulai pertemuan lebih dulu. Jujur, dia masih sangat kecewa dengan cewek itu. Alwan tahu tidak seharusnya dia seperti ini, terlebih dirinya sama sekali belum mengetahui cerita tersebut dari mulut Agatha.
Alwan menggaruk kepalanya gusar. Semua ini membuatnya pusing. Pertanyaan tentang penyakit apa yang Agatha idap kini muncul di kepalanya. Sebenarnya sakit apa cewek itu? Kenapa sering sekali dia jatuh pingsan hingga membuatnya selalu berakhir di rumah sakit?
Sebelah tangan Alwan meraih ponselnya yang berada di saku jeans yang kini dia kenakan. Alwan menoleh ke sekelilingnya, mencari tahu apakah ada kursi kosong yang dapat dia duduki. Seketika matanya berhenti berputar ketika mendapati sebuah kursi kosong yang terletak tidak jauh darinya.
Matanya kembali tertuju pada Saphora yang kini tengah melihat-lihat baju di salah satu segmen pakaian wanita. "Saph, Bang Al duduk di situ, ya."
Dahi Alwan mengernyit begitu melihat sederet tulisan yang tertera di layar ponselnya. Di situ tertulis gejala yang selama ini Agatha alami menunjukkan bahwa cewek itu mengidap penyakit gagal ginjal. Hal itu cukup meyakinkan Alwan karena beberapa kali dia mendapati Agatha meringis sambil memegangi perut bagian kanannya.
Ternyata penyakit Agatha seserius itu.
"Bang, bagusan yang ini atau ini?"
Alwan sedikit tersentak begitu mendengar Saphora beberapa kali memanggil namanya. Alis Saphora naik sebelah, sedikit heran dengan sikap Alwan yang akhir-akhir ini sedikit berbeda. Tidak biasanya Alwan terlihat murung seperti itu, apalagi Alwan juga tidak cerita apapun padanya.
"Bang, ada apa, sih?" tanya Saphora seraya duduk di samping Alwan. "cerita, dong sama Phora. Nggak biasanya loh Bang Al kayak gini."
Alwan mengembuskan napas panjang seraya menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Kedua matanya terpejam untuk beberapa saat.
"Bang?"
"Bang Al laper, makan yuk?" Alwan bangkit dari duduknya sambil mengulurkan tangannya pada Saphora, melihat tak ada respon apapun, "Phora beli dua-duanya aja, nanti Bang Al yang bayar."
Sebuah senyuman lantas terbit di wajah manis Saphora. Dengan semangat cewek itu bangkit dari duduknya dan berjalan dengan cepat ke arah kasir terdekat. Untuk saat ini dia mengenyampingkan rasa penasarannya terhadap Alwan, karena, hey! Siapa yang sanggup menolak untuk ditraktir pakaian?
Usai membayar pakaian yang Saphora beli, Alwan dan adik bungsunya itu pergi ke salah satu restoran keluarga yang berada di mal yang sama dengan toko baju yang tadi mereka datangi. Tanpa pikir panjang kedua kakak-beradik itu memesan makanan yang mereka inginkan.
Untuk yang kesekian kalinya alis Saphora naik sebelah. Bagaimana tidak? Alwan hanya memesan segelas jus melon alih-alih memesan makanan yang banyak mengingat saat ini cowok itu sedang lapar.
"Bang," panggil Saphora. "Katanya tadi laper?"
Alwan mengangguk.
"Tapi, kok cuma pesan jus melon?"
Alwan tidak menjawab, membuat Saphora hanya bisa mengedikkan bahunya.
Kedua mata Saphora berhenti berkeliling ketika mendapati Abby tengah duduk di sebuah meja yang tak begitu jauh dengannya. Matanya menyipit begitu melihat Abby tidak hanya bersama Raina, melainkan ada satu orang perempuan lainnya yang duduk di meja yang sama dengan mereka.
Dengan kedua mata yang terus menyipit Saphora terus menatap ketiga orang tersebut. Mencoba membaca gerak bibir orang yang sedang berbicara di sana.
"Andira ..., Van ..., Van ..., ish! Misi kenapa," keluh Saphora begitu ada seseorang yang berjalan melewatinya, "duh, tadi itu ngomong apa, ya?"
Alwan berhenti menyesap jus melonnya, menatap Saphora yang kini tengah melihat sesuatu sambil menyipitkan matanya. "Saph?"
"Ha?" gumam Saphora tanpa menoleh ke arah Alwan. Matanya kini sibuk membaca gerak bibir Abby yang tengah berbicara dengan wajah yang sangat serius.
"Saph, lihat apa, sih?" dengan begitu Alwan mengikuti arah pandang Saphora. Berbeda dengan Saphora yang langsung penasaran ketika melihat mereka bertiga, Alwan justru sebaliknya. Dia sama sekali tidak peduli tentang perbincangan apa yang tengah mengalir di antara ketiganya.
Tapi, tunggu,
Kenapa ada Rana di sana?
–––•••–––
Keheningan seakan menyelimuti ruang keluarga dengan nuansa abu-abu muda itu. Tidak ada satupun di antara keenam orang itu yang mau angkat suara terlebih dahulu. Membuat Rana—satu di antara keenam orang itu, jengah dan dengan kasar mengembuskan napas panjang.
"Mau sampai kapan kalian diem kayak gini?" kini matanya beralih ke arah Andira yang tengah menunduk. "Dir, gue tau kita nggak terlalu deket. Tapi, gue juga tau lo bukan pengecut."
Mendengar itu lantas membuat semua orang yang berada di sana menatap Rana dengan tatapan yang berbeda. Namun hanya satu ekspresi yang Rana tangkap; ekspresi terkejut dari wajah Andira.
"Ma—maksud lo?"
Kontan kedua bola mata Rana berputar. "Kita semua udah tau sifat buruk lo."
"Rana."
Rana sama sekali tak mengindahkan peringatan yang Alwan berikan padanya. Kedua matanya terus menatap tajam ke kedua mata Andira, seakan-akan kedua mata itu mampu menusuk kedua bola mata cokelat Andira.
Andira terkekeh, "lo ngomong apa, sih?"
"Andira," kini Abby yang angkat suara. "Bener apa kata Rana, kita emang nggak deket, tapi kita tau semuanya."
"Semuanya apa?"
Rana hendak bangkit dari duduknya, namun Saphora yang tepat berada di sampingnya dengan cepat menahan cewek itu sambil membisikkan kata "sabar" di telinga Rana.
Melihat Andira yang kelihatannya sama sekali tidak ingin bicara, akhirnya Alwan meminta semua orang untuk meninggalkan rumah Andira. Alwan juga meminta Abby untuk mengantar pulang Saphora, yang sudah jelas cewek itu tolak mentah-mentah. Tidak ada yang bisa Alwan lakukan selain membiarkan Saphora agar tetap tinggal.
"Dir," panggil Alwan setelah Abby, Raina, dan Rana pergi. "Sekarang lo boleh cerita. Gue dan Saphora akan dengerin semuanya."
Saphora mengangguk mengiyakan.
"Ini sebenernya ada apa, sih?" masih, Andira berlagak tidak tahu apa-apa. "Sumpah, gue sama sekali nggak ngerti kenapa tiba-tiba kalian dateng ke rumah gue, dan mengintimidasi gue kayak gini."
Alwan menarik napas dalam dan mengembuskannya dengan perlahan. "Lo suka gue, itu nggak bener, kan, Dir?"
Dapat Andira rasakan jantungnya berhenti berdetak. Pasokan udara di sekitarnya seakan menipis hingga membuatnya sesak napas. Lidahnya kelu sampai-sampai dia tidak tau harus merespon ucapan Alwan seperti apa.
"Dir, tolong bilang sama gue kalau semua itu nggak bener."
Dengan suara yang mulai bergetar Andira bertanya, "lo denger dari siapa?"
"Lo cukup bilang kalau itu nggak bener, Dir."
"Lo denger dari siapa, Alwan?"
"Dir, gue mohon—"
"Lo tahu dari siapa, Alwan?!"
Alwan sedikit tersentak begitu mendengar Andira menjerit. Dapat dia lihat air mata mulai membasahi pipi cewek itu. Wajah Andira memerah, membuatnya cepat-cepat menutupinya dengan kedua tangannya. Suara isakan Andira memenuhi ruang keluarga rumahnya yang saat ini cukup lengang.
"Dir," lirih Alwan. "Gue tau dari Abby dan Rana. Mereka denger pembicaraan lo dan Vano di lapangan indoor tempo hari."
Dan tidak ada hal yang lebih buruk bagi Andira selain mendengar pengakuan dari Alwan.
——— Too Late ———
Sabtu, 13 Februari 2021
09.50 WIB
KAMU SEDANG MEMBACA
STS[1] - Too Late
Teen FictionSeperti pelajar pada umumnya, hari-hari gue diisi dengan belajar, belajar, dan belajar. Bukannya apa-apa, saat ini gue sudah kelas duabelas yang artinya tinggal menghitung bulan hingga akhirnya gue akan menghadapi Ujian Nasional. Mungkin karena terl...