Entah apa yang salah dengan Alwan, sehingga membuat dia menjadi sedikit lebih baik pada Agatha. Seakan es yang selama ini menyelimuti Alwan mencair secara perlahan terhadap Agatha. Seakan sifat Alwan yang selalu kaku jika bertemu dengan orang baru tidak berlaku untuk Agatha.
Dan Alwan tidak mengerti kenapa itu bisa terjadi.
Alwan tidak pernah menyangka bahwa dirinya yang selalu menutup diri terhadap orang-orang yang tidak dekat dengannya, justru sekarang malah dengan mudahnya mengajak Agatha pulang bersama. Memang tidak ada yang salah dengan mengajak Agatha pulang bersama, toh, mereka juga pernah pulang bersama waktu Agatha tidak memperbolehkan Alwan untuk keluar dari perpustakaan jika cowok itu tidak ingin mengantarnya pulang.
Tapi, ini beda.
Dia, seorang Alwan Andino Pradipto, seorang cowok remaja yang sangat dingin dan tidak tersentuh, mengajak seorang Agatha Fernanda, seorang cewek remaja yang diam-diam menyukai Alwan untuk pulang bersama. Sekali lagi, Alwan mengajak Agatha untuk pulang bersama.
Berlebihan memang, tapi ini sungguh tidak biasa bagi Alwan. Terlebih dirinya yang memang sangat dingin dan cuek, Alwan juga tidak pernah dekat dengan cewek—selain Lena, Saphora, dan Andira, tentunya. Lagipula Alwan mengajak Agatha pulang bersama karena cuaca pada waktu itu sangat tidak bersahabat dengan jutaan tetesan air yang berjatuhan ke tanah dengan sangat deras, dan saat itu Agatha juga tidak membawa mobil. Jadi tidak ada salahnya jika Alwan mengajak Agatha pulang bersama.
Huh, terlalu banyak kata-kata 'Alwan mengajak Agatha pulang bersama'.
"Alwan?"
Suara seseorang yang sangat familiar di telinga Alwan membuat dia tersadar dari lamunannya. Kedua mata Alwan bergerak menuju asal suara, dan ternyata orang yang tadi memanggilnya adalah Lena. Kedua alis Alwan menyatu ketika melihat Lena yang sudah berada di dalam kamarnya. Alwan tidak tahu sejak kapan mamanya itu sudah berada disana karena sejak tadi dia sibuk melamun.
"Melamun aja," ucap Lena sambil terkekeh. Wanita setengah baya itu berjalan ke arah kasur putra sulungnya dan duduk disana, tepat di samping Alwan. "Melamunin apa, sih, Al?"
Senyuman tipis tercetak di wajah Alwan. "Nggak, Ma."
Kedua mata Lena menyipit seraya dengan senyum miringnya yang mengembang, membuat Alwan mulai curiga kalau mamanya itu pasti sedang memikirkan yang aneh-aneh tentang dirinya yang baru saja melamun.
"Mikirin cewek, ya?" tebak Lena, dan kontan membuat Alwan mati kutu. Sekejap tawa Lena berderai begitu melihat putra sulungnya menampakkan ekspresi terkejut ketika mendengar pertanyannya.
"Apasih, Ma," gerutu Alwan.
"Ya ampun, Al," ucap Lena dengan sisa tawanya. "Kenapa mesti panik begitu, sih? Ngaku aja kali," dan dengan itu Lena kembali tergelak.
"Nggak, Ma," elak Alwan. "Aku lagi mikirin olimpiade Matematika yang nanti bakal aku ikutin dua bulan lagi, Ma."
"Loh, kamu ikut olimpiade lagi?" tanya Lena sedikit terkejut, karena Alwan ini sudah kelas duabelas dan tidak seharusnya dia masih mengikuti olimpiade semacam ini.
Alwan mengangguk. "Pak Kasim nggak jelasin apa-apa, tapi katanya ini olimpiade terakhir untuk aku," ucap Alwan seakan tahu apa yang sedang mamanya pikirkan. Lena hanya manggut-manggut mendengar ucapan Alwan.
"Kamu maju sama siapa, Al?"
"Agatha," jawab Alwan singkat. "Anak baru di angkatan aku."
"Wih, cewek?"
"Iyalah, Ma," ucap Alwan sambil terkekeh.
Lena ikut terkekeh. "Siapa nama lengkapnya, Al?"
"Agatha Fernanda."
KAMU SEDANG MEMBACA
STS[1] - Too Late
Roman pour AdolescentsSeperti pelajar pada umumnya, hari-hari gue diisi dengan belajar, belajar, dan belajar. Bukannya apa-apa, saat ini gue sudah kelas duabelas yang artinya tinggal menghitung bulan hingga akhirnya gue akan menghadapi Ujian Nasional. Mungkin karena terl...