Satu hal yang Alwan rasakan ketika kembali ke alam sadar adalah rasa sakit di kepala. Tidak, bukan sakit kepala seperti pusing atau habis dipukul. Rasa sakitnya hanya terasa di beberapa bagian, seperti ada seseorang yang menarik-narik rambut Alwan. Siapapun dia yang menarik-narik rambut Alwan, Alwan bersumpah akan... Akan, akan, Alwan sebenarnya juga tidak tahu akan melakukan apa.
Dengan mata yang masih sedikit mengantuk, Alwan mendongakkan kepalanya. Samar-samar dia melihat sebuah tangan yang baru saja di tarik dari arah kepalanya. Kali ini Alwan menyipitkan matanya untuk memperjelas penglihatannya, dan mengambil kacamatanya yang sejak tadi dia simpan di kolong meja lalu memakainya.
Satu detik,
Dua detik,
Tiga de...
"Selamat pagi, Alwan!"
Mendengar itu, Alwan mendesis pelan dan menatap seorang cewek yang berada di hadapannya sesinis mungkin. Bagaimana Alwan mau tidak sinis kalau cewek itu baru saja menganggu tidur paginya?
"Sejak kapan lo disini?" Tanya Alwan to the point.
Cewek itu terlihat seperti berpikir sebelum menjawab, "setengah jam yang lalu? Gue nggak tau pasti," jawabnya seraya mengedikkan kedua bahunya.
Setengah jam yang lalu? Seingat Alwan, dia sampai disini sejak sepuluh menit yang lalu. Coba kita renungkan bersama-sama, bagaimana bisa cewek yang ada di hadapan Alwan ini memperhatikan Alwan tidur sejak setengah jam yang lalu, sedangkan Alwan saja baru datang sepuluh menit yang lalu. Jadi, siapa yang cewek itu perhatikan pada duapuluh menit pertama? Atau jangan-jangan—
"Bercanda, gue disini sejak lima menit yang lalu, kok," ucap cewek itu sekaligus berhasil menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang berkocol di kepala Alwan. "Lo lucu kalau lagi mikir kayak gitu."
Kedua alis Alwan spontan naik ke atas setelah mendengar pernyataan dari cewek itu. Sungguh, Alwan merasa agak geli ketika cewek itu mengatakan bahwa dirinya 'lucu'. Apakah tatapan sinis dari Alwan tidak cukup untuk membuat cewek itu takut?
"Lo ngapain di kelas gue?" Tanya Alwan sinis.
Cewek itu terdiam, seperti sedang memikirkan jawaban dari pertanyaan yang Alwan berikan padanya. Apakah pertanyaan yang Alwan lontarkan begitu sulit sehingga cewek itu harus berpikir dulu sebelum menjawab?
"Agatha," panggil Alwan penuh penekanan. "Jawab gue."
Cewek itu—Agatha sedikit terperanjat dari lamunannya, "kelas lo?" Tanyanya, membuat Alwan sedikit bingung.
Eh, ini kelas gue, kan?
Demi membayar rasa penasarannya, Alwan mengedarkan pandangan ke sekitar, dan yang Alwan dapatkan adalah pemandangan yang menurutnya sedikit asing. Seingat Alwan, dekorasi kelasnya tidak seperti ini. Pintu kelas Alwan tidak terletak di sebelah kiri, melainkan di sebelah kanan. Meja guru berada dekat dengan lemari, bukannya berjauhan. Barisan mejanya terdapat empat baris, bukan tiga baris. Loker di kelas Alwan juga berwarna hijau tua, bukan—oh, Alwan tahu, ini memang bukan kelasnya, melainkan kelas duabelas IPA D. Alwan lupa kalau hari ini dia akan menghadapi try out yang pertama, dan itu artinya, selama empat hari ke depan dia akan melaksanakan try out di kelas ini, bersama dengan siswa lain yang namanya berawalkan huruf A. Dan itu artinya, selama empat hari ke depan Alwan akan bertemu dengan Agatha.
Sungguh tidak menyenangkan.
"Alwan," panggil Agatha, membuat Alwan kembali memfokuskan pandangannya ke wajah cewek itu, Alwan hanya menatap Agatha dengan datar. "Jangan melamun, nanti kesurupan."
Agatha berdecak pelan karna Alwan yang tak kunjung merespon ucapannya. Sungguh, Alwan sangat malas harus berhadapan dengan Agatha. Karena sekalinya berbicara, cewek pasti akan sulit berhenti. Dan Alwan tidak suka dengan orang yang banyak bicara, kecuali mereka adalah orang yang dekat dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
STS[1] - Too Late
Ficção AdolescenteSeperti pelajar pada umumnya, hari-hari gue diisi dengan belajar, belajar, dan belajar. Bukannya apa-apa, saat ini gue sudah kelas duabelas yang artinya tinggal menghitung bulan hingga akhirnya gue akan menghadapi Ujian Nasional. Mungkin karena terl...