Hari hari berlalu, dan tak terasa minggu depan adalah hari dimana Olimpiade Matematika dan tournament basket akan diselenggarakan.
Dengan kedua telinga yang tersumpal dengan headset, Alwan berjalan menelusuri koridor SGJIS yang pagi ini masih belum diramaikan dengan siswa-siswi, berhubung waktu masih menunjukkan pukul enam pagi. Alwan tidak tahu kenapa dirinya harus datang ke sekolah sepagi ini. Tapi, satu hal yang Alwan tahu, saat ini dia sedang kacau.
Alwan tidak tahu harus memilih Olimpiade Matematika atau tournament basket, dia bimbang. Keduanya sama-sama penting. Alwan tidak enak jika harus mundur dari olimpiade, tapi di sisi lain, Alwan juga tidak bisa meninggalkan anak-anak basket. Mereka membutuhkan Alwan.
Entah untuk yang keberapa kalinya Alwan mengembuskan napas berat. Alwan tidak tahu harus berbuat apa. Karena Olimpiade Matematika dan tournament basket sudah ditetapkan pada tanggal sebelas bulan ini. Dan sekali lagi dikatakan, keduanya sama-sama penting.
"Lepasin gue!"
Kepala Alwan lantas menoleh ke arah asal suara, dan seketika matanya terbelalak begitu melihat Andira yang tengah ditarik-tarik oleh Vano. Entah apa yang Vano inginkan dari Andira, tapi dapat Alwan lihat bahwa Andira sangat menolak ditarik seperti itu.
Dengan cepat Alwan berlari ke arah Andira dan Vano, dan langsung melepaskan genggaman Vano pada tangan Andira. Vano sempat terbelalak dengan kehadiran Alwan, namun dengan cepat cowok itu menghapus keterkejutan di wajahnya dan menampilkan senyuman miringnya.
"Ada pahlawan kesiangan rupanya," Vano tertawa mengejek.
Dapat Alwan rasakan rahangnya mengeras. Alwan tidak pernah merasa semarah ini sebelumnya. Emosi di dalam diri Alwan kini sudah sulit untuk dikendalikan, namun dengan sekuat tenaga Alwan masih berusaha menahannya.
"Dia ngapain, Dir?" Tanya Alwan pada Andira yang kini tengah berdiri di belakangnya. Andira menggeleng, namun Alwan tak percaya begitu saja.
"Lo ngapain dia?" Tanya Alwan tegas pada Vano.
Inilah yang Vano tunggu-tunggu, "gue nggak ngapa-ngapain dia, gue cuma mau ajak dia bicara."
Alwan menatap Vano dengan tajam. Masih tidak percaya dengan ucapan Vano. Karena tidak mungkin Andira menjerit seperti tadi jika Vano tidak melakukan sesuatu pada cewek itu.
Alwan memang tidak suka bertengkar, apalagi di lingkungan sekolah seperti ini. Tapi, lain halnya jika sudah ada orang yang mengganggu dirinya, juga orang-orang yang disayanginya.
Dan Andira adalah salah satu orang yang dia sayangi.
"Sumpah," ucap Vano sambil mengangkat sebelah tangannya dengan jari tengah dan telunjuknya yang terangkat membentuk huruf V besar. "Gue berani bersumpah gue nggak ngapa-ngapain dia, dianya aja yang lebay jerit-jerit macem tikus," Vano tertawa mengejek.
"Bacot! Gue bukan tikus!" Teriak Andira, kini dia mulai maju dan menatap Vano dengan tajam. "Lo emang nggak pernah berubah ya, Van! Selalu ngeselin!"
Lagi, Vano tertawa mengejek, dan cowok itu menatap Andira dengan tatapan meremehkan, "ngeselin-ngeselin gini, lo dulu mau juga sama gue."
Kedua tangan Andira mengepal, dia sudah tidak bisa menahan emosinya. Dengan cepat Andira mengangkat sebelah tangannya dan meluncurkan tamparan ke pipi Vano.
"Gue nyesel pernah pacaran sama lo, Vano!"
"Sok nyesel-nyesel, dulu siapa sih yang ngejer-ngejer gue?" Tanya Vano dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada. "Siapa sih yang dulu cerita ke sahabatnya kalau dia tergila-gila sama gue? Pengen banget pacaran sama gue? Rela ngelakuin apa aja buat gue?"
KAMU SEDANG MEMBACA
STS[1] - Too Late
Teen FictionSeperti pelajar pada umumnya, hari-hari gue diisi dengan belajar, belajar, dan belajar. Bukannya apa-apa, saat ini gue sudah kelas duabelas yang artinya tinggal menghitung bulan hingga akhirnya gue akan menghadapi Ujian Nasional. Mungkin karena terl...