Kedua
"Hidup itu sederhana. Ketika sudah membuat keputusan, tidak perlu menoleh ke belakang."
—Tokyo Drift—
Rhea menatap seksama cowok yang kini sedang berdiri di hadapannya dengan luka lecet di beberapa bagian tubuhnya akibat menolong dirinya sampai terjatuh cukup keras. Tidak ada ekspresi kesal atau marah di wajahnya ketika Rhea memarahinya habis-habisan, yang ada cowok itu malah nyengir lebar, seolah dia senang Rhea memarahinya.
"Lo denger gue nggak sih?"
"Aku denger kok, suara kamu terlalu sayang buat dilewatin," sahutnya, lagi-lagi sambil nyengir lebar.
Rhea melongo, kok rasanya agak aneh ya mendengar kata-kata andalannya sendiri diucapkan sama orang lain. "Kenapa lo nyelamatin gue? Harusnya lo biarin aja gue mati tadi." Bukannya berterima kasih, Rhea malah membentak-bentak.
"Bakal ribet jadinya kalau aku nggak nyelamatin kamu tadi. Aku harus pergi ke kantor polisi buat ceritain keterangan gimana proses kematian kamu, udah gitu aku harus ngikutin sidang atau apalah karena di sini cuma aku saksi mata atas kematian kamu."
Untuk kesekian kalinya Rhea melongo lagi, bisa-bisanya cowok itu membicarakan kematian dengan mudah.
"Harusnya kamu bersyukur Tuhan memberimu waktu lebih. Ada banyak orang diluaran sana yang pengen punya waktu banyak buat hidup di dunia. Lahh, ini kamu malah pengen mati."
"Siapa juga yang mau mati?" bentaknya kesal.
Cowok itu terkekeh, wajahnya terlihat manis sekali, pikir Rhea ngawur. "Kalau nggak mau mati kenapa kamu malah jalan di tengah rel kereta api? Udah gitu ada kereta lagi di depan, apa namanya dong kalau bukan bunuh diri."
"Itu ..." Rhea tidak bisa berkata-kata, semua yang dikatakan cowok itu benar adanya. "Gue nggak niat buat bunuh diri, gue cuma nggak sadar aja kalau gue lagi jalan di tengah rel."
Cowok itu mengangguk-anggukan kepalanya. "Tapi apa lo tau kalau sebenernya alam bawah sadar lo—atau sebut aja hati kecil lo pengen lo mati aja daripada hidup?"
Lama-lama deket sama cowok aneh satu ini membuat darah Rhea naik saja. Dia mengembuskan napas panjang, matanya tajam menatap cowok aneh bin gaje satu ini. "Terserah deh lo mau ngomong apa, gue nggak peduli." Setelah itu Rhea berjalan pergi dengan muka masam.
"Tunggu!" cegah cowok itu menarik tangan Rhea.
Sontak saja Rhea melotot kaget, dia menepis tangan cowok itu dengan kesal. "Singkirin tangan lo dari gue!"
Namun cowok itu sama sekali tidak terpengaruh dengan ancaman Rhea, dia malah mempererat genggamannya. "Kita belum kenalan." Tangan cowok itu turun menggenggam tangan Rhea, sambil tersenyum lebar dia memperkenalkan dirinya. "Sagara Fabian. Kamu yang namanya Rheana 'kan, yang tadi aku liat di kelas 3-2 IPS."
Rhea mengerutkan keningnya bingung, tunggu dia ingat cowok ini. Cowok yang menginterupsi omongan ketua osis, cowok yang jadi buah bibir cewek-cewek di kelasnya, yang katanya jarang keluar kelas tapi pinter banget walau Rhea meragukannya.
"Nggak ada yang nyuruh lo buat kenalan. Udah lepasin, gue mau pergi."
"Kamu emang nggak nyuruh tapi aku mau." Sagar nyengir. "Aku nggak bakal lepasin kamu sebelum kamu bales rasa terima kasih kamu karena aku udah nolong kamu tadi."
Rhea mendelik, dasar cowok pamrih. Di mana-mana cowok itu tidak ada yang benar apalagi baik. "Nggak ada yang nyuruh lo buat nolong gue."
Sagar cemberut. "Terus kamu kamu mati gitu?"

KAMU SEDANG MEMBACA
His Half
Teen FictionSagar putus asa ketika dokter menyatakan bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Tetapi Tuhan memberi kesempatan pada Sagar. Dia akan sembuh jika Sagar berhasil merubah seseorang menjadi lebih baik. Dan pilihannya jatuh pada Rhea-cewek nakal yang suka...