Pertama
(Sehari Setelah Bertemu Dia)
"Bolos lagi, Rhea?" Wanita dewasa dengan make up tebal bertanya dengan nada galak.
Rhea yang menjadi obyek kemarahannya hanya bisa mendecak dalam hati. Gesture tubuhnya benar-benar sangat tenang—seolah tidak memedulikan peraturan sekolah yang sudah dilanggarnya.
"Kamu dengar saya, Rhea?" bentak bu Dinar kesal.
Rhea mengangkat kepalanya, nyengir. "Tentu saja, bu. Suara ibu terlalu lembut buat dilewatin." Rhea menyahut asal, namun malah menimbulkan kemarahan bu Dinar.
Ditahannya amarah yang dirasakannya, menatap muridnya yang hampir setiap waktu selalu melanggar peraturan sekolah. "Saya akan memanggil orangtuamu untuk datang ke sekolah agar mereka tahu kelakuanmu seperti apa juga berharap agar mereka bisa membimbingmu secara intensif."
"Memangnya ibu pikir mereka akan datang?" Rhea terkekeh pelan, menghela napas panjang, punggungnya menyandar santai ke kursi sedangkan matanya menatap bu Dinar jenaka. "Meski ibu kirim seratus surat ke orangtua saya pun, percuma saja mereka nggak akan nanggapi apalagi itu tentang saya."
Bu Dinar diam sesaat, ucapan Rhea terlampau santai didengar untuk suatu hal yang seharusnya membuat orang-orang sedih atau setidaknya merasa kesal. "Setidaknya ibu sudah mencoba daripada tidak sama sekali. Ibu akan tetap menyuruh orangtuamu datang, dan kamu boleh pergi."
Rhea mengangguk-anggukan kepalanya, sama sekali tidak peduli jika orangtuanya mau datang atau tidak. Itu bukan urusannya, salahkan saja guru konselingnya ini yang memaksa untuk menyuruh mereka datang.
"Ya sudah, saya permisi."
Tatapan bu Dinar menajam. "Langsung masuk ke kelas! Jangan coba-coba untuk bolos."
Rhea nyengir lebar. "Yahh, ketahuan duluan! Iya deh, sehari ini saya janji nggak bakalan bolos. Permisi, bu."
Bu Dinar hampir saja melempar pulpennya andaikan saja Rhea tidak keburu menghilang dari ruangannya. Dasar anak satu itu, bandelnya minta ampun. Telat tiap hari, bolos mata pelajaran, rambut dicat warna-warni, benar-benar mencerminkan anak muda zaman sekarang yang semaunya sendiri.
Rhea menepati janjinya untuk tidak bolos sekolah, sepanjang hari dia mendekam di dalam kelas. Tentu saja bukan untuk belajar—akan jadi keajaiban jika Rhea mau belajar—melainkan tidur karena kemarin malam dia begadang demi main game di warnet dekat rumahnya. Guru-guru juga mengabaikannya—bukan karena acuh namun terlampau kesal juga bosan dengan kelakuan Rhea yang seenaknya. Cewek itu akan kesenangan jika mereka menyuruh Rhea keluar. Bukannya berpikir dan merenungi kesalahannya, Rhea malah nongkrong di kantin bersama anak lainnya.
Namun tidur Rhea harus terusik ketika telinganya menangkap suara cempreng milik sahabatnya yang berteriak heboh sambil menggoyangkan bahunya—menyuruh Rhea untuk bangun.
"Rhe, Rhe, bangun deh, bangun!" pekiknya seperti kesetanan.
Rhea menggeram kesal, dengan mata setengah terpejam dia memandang Sania. "Apaan sih, berisik banget!" katanya setengah menggumam.
Dengan seenaknya Sania kembali mengguncang tubuh Rhea—tadinya dia berniat untuk menyadarkan Rhea sepenuhnya namun malah membuat Rhea semakin pusing hampir saja muntah kalau Sania tidak segera menghentikan aksi gilanya.
"Ya Allah, San. Lo bar-bar banget sih, perut gue sakit," katanya kesal.
Sania hanya nyengir lebar. "Sori, habisnya lo susah dibanguninnya sih."
Rhea mencebik. "Terus kenapa lo bangunin gue? Lagi enak-enak tidur juga." Tadinya Rhea mau tidur lagi tapi Sania malah menampar pipinya cukup keras. Sontak saja dia kesal setengah mati. Ni anak maunya apa sih.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Half
Teen FictionSagar putus asa ketika dokter menyatakan bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Tetapi Tuhan memberi kesempatan pada Sagar. Dia akan sembuh jika Sagar berhasil merubah seseorang menjadi lebih baik. Dan pilihannya jatuh pada Rhea-cewek nakal yang suka...