Keduapuluh Enam
" Aku nggak mau mereka sakit gara-gara aku. Lebih baik aku yang sakit daripada mereka harus merasakan sakit."
—Sagara—
Sagar membungkuk di wastafel, biasanya dia tidak seperti ini. Muntah saking sakitnya, tapi sekarang dadanya terasa begitu sangat sakit lebih dari biasanya. Apa karena selama ini Sagar tidak meminum obatnya, maka dari itu dia seperti ini? Atau jangan-jangan Rhea yang terus memikirkannya?
Sagar memejamkan matanya sesaat, dunia sekitarnya terasa berputar, namun dia berusaha untuk tetap berdiri.
Ketika Sagar keluar, dia langsung disambut oleh Putri yang menatapnya cemas. Cowok itu hilang setelah ujian berakhir, dan saat Putri menemukannya, dia malah melihat wajah Sagar yang sangat pucat.
"Gue tau, kenapa Papa nyuruh gue buat ngawasin lo," kata Putri saat sang ayah menyuruhnya untuk selalu mengawasi Sagar, karena kondisi cowok itu yang semakin parah. "Kenapa juga lo maksain diri? Keadaan lo parah banget, lo bisa izin ke pihak sekolah buat—"
Sagar menatap nyalang Putri. "Gue musti lulus, biar gue jadi arsitek," sahutnya. "Lo kembali aja, gue baik-baik aja, kok."
"Wajah kayak mayat gitu lo bilang baik-baik. Sagar!"
"Jangan khawatirin gue, Putri!" Untuk pertama kalinya Sagar memanggil nama Putri. "Gue nggak mau ngancurin hidup lo. Jadi, jangan khawatirin gue. Gue baik-baik aja."
Putri hanya bisa mendesah ketika Sagar pergi meninggalkannya. Apa Sagar masih merasa bersalah? Entah kepada siapa Putri merasa kesal. Mungkin pada Nizam yang menghinati mereka karena kesalah pahaman. Atau mungkin hidup Sagar yang terlalu rumit.
Sagar menatap Rhea dari kejauhan, jelas dia sangat sadar kalau sikap Rhea berubah. Bukan hanya pada dirinya, namun pada orang lain juga. Senyum Rhea hilang karena dirinya, tawa Rhea lenyap karena dirinya, kebahagiaan Rhea sirna karena dirinya.
Semua karena dirinya.
Andaikan Sagar punya mesin waktu, maka dia akan memutar ulang waktu dan mendekati Rhea dengan cara yang benar. Bukan dengan cara bajingan sepertinya. Dan sekarang yang bisa Sagar lakukan hanya memerhatikan Rhea dari jauh. Jika dia mendekati Rhea, Sagar takut cewek itu tersakiti olehnya. Dan meski selama ini dia selalu merasa kesakitan, tetapi Sagar senang setidaknya Rhea selalu memikirkannya setiap waktu.
"Lo ada di sini rupanya. Gue cari-cari lo," kata Feri, menatap Sagar dengan kening berkerut. "Wajah lo pucet banget. Kenapa?"
Sagar tidak menjawab pertanyaan Feri. "Ada apa lo nemuin gue? Satria udah mulai keluar?"
Tepat sasaran, pikir Feri. Ada apa dengan Sagar? Cowok itu terlihat berbeda dari terakhir kali dia melihat. Lebih dingin dan ... murung. "Dan kabar baiknya, dia lagi nyari lo."
Sagar menoleh ke arah Feri. "Siapa aja anak buah lo yang kena?"
Feri mengedikan bahunya. "Cuma tiga orang. Nggak ada luka parah karena dia cuma ngincer lo. Bagaimana pun juga lo satu-satunya orang berhasil nginjak harga dirinya."
"Udah ditentuin hari H nya?" Feri mengerutkan keningnya. "Biarin gue maju sendirian. Gue bakal nangkep Satria dan masukin dia ke penjara, beserta bukti kejahatan yang dilakuinnya selama ini."
"Apa? Lo bercanda? Lo nggak bisa ngadepin mereka sendirian."
"Akan repot jadinya kalau kalian terlibat, kalian akan masuk penjara dan masa depan kalian akan hancur. Ada baiknya kalau gue pergi sendirian."

KAMU SEDANG MEMBACA
His Half
Teen FictionSagar putus asa ketika dokter menyatakan bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Tetapi Tuhan memberi kesempatan pada Sagar. Dia akan sembuh jika Sagar berhasil merubah seseorang menjadi lebih baik. Dan pilihannya jatuh pada Rhea-cewek nakal yang suka...