Keduapuluh Tiga

1.4K 170 40
                                    

Keduapuluh Tiga

"Mereka yang tidak bisa menerima diri mereka sendiri, pada akhirnya selalu gagal."

—Uchiha Itachi—

Sagar masih di tempat yang sama, duduk menyandar ke dinding dengan pandangan kosong setelah lelah memukuli dinding tersebut hingga retak sedikit. Rasanya kepalanya ingin meledak saja.

Tiba-tiba saja seseorang datang menghampiri Sagar, duduk di hadapan Sagar dan menatapnya lama. Cowok itu hanya meliriknya sekilas dan menundukan kepalanya, untuk saat ini dia sedang tidak ingin bicara dengan siapa pun.

"Kamu sahabatnya Sam, kan?" Om Henry bertanya.

"Anda benar-benar mengawasi Sam rupanya," kata Sagar sama sekali tidak nyambung. Namun Om Henry malah terkekeh. "Anda melihatnya?" tanya Sagar pelan.

Om Henry terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. "Maaf, tadi saya nggak sengaja lewat dan lihat kalian bertengkar."

Sagar hanya tersenyum kecil. "Nggak papa."

Lelaki paruh baya tersebut menatap Sagar lama, setahunya selama ini Om Vano hanya memiliki dua anak saja, Nizam dan Ilma namun dia tidak tahu kalau cowok yang kadang selalu bertemu dengan Samudera ini juga anak Om Vano. Dan Om Henry benar-benar terkejut atas apa yang sudah dilihatnya tadi.

Om Vano tidak sebaik yang terlihat.
"Kamu ..."

"Meski sulit mengakuinya, Pak Vano memang ayah kandung saya. Nggak ada orang yang tau hal ini kecuali orang tua angkat saya."

"Sulit dipercaya!" Om Henry menghela napas panjang. "Padahal, Vano terlihat sangat baik dan harmonis saat bersama anak-anaknya. Tetapi, dia malah menginginkan ginjalmu untuk Ilma. Ayah macam apa dia?"

Sagar diam sesaat, tatapannya lurus ke bawah. "Terkadang saya berpikir; lebih baik memiliki ayah yang cuek, namun, dari dasar hatinya dia tulus menyayangi saya. Bukannya peduli tapi pada kenyataannya dia membenci saya."

"Berbohong demi kebaikan? Vano pasti memiliki alasan lain, dia hanya sedang putus asa."

"Putus asa melihat anak perempuannya sekarat, padahal saya juga sedang sekarat, tapi Pak Vano nggak pernah sekali pun peduli pada saya. Bukankah itu keterlaluan?" Sagar tersenyum miring. "Sangat susah bagi saya memaafkannya."

"Sagara ..."

Sagar bangkit dan menatap Om Henry lama, sambil tersenyum dia berkata, "Makasih untuk semuanya, senang bisa bertemu dengan Anda." Sagar menundukan kepala kemudian teringat kata-kata Naraka tentang Samudera. "Maaf sebelumnya jika saya ikut campur, tetapi sebaiknya Anda menunjukan sikap kepedulian Anda pada Sam sebelum terlambat."

Om Henry terkejut dengan kata-kata Sagar, dia imgin bertanya lebih lanjut namun Sagar sudah hilang dari pandangannya. Lelaki paruh baya itu mendesah panjang. Apa maksud Sagar sebenarnya? Pikir Om Henry.

Sagar tidak punya tujuan, jika dia pulang ke rumah Om Kemal pasti mereka akan memarahinya karena kabur dari rumah sakit, ke rusun, Putri sedang menunggunya. Yang dilakukannya sekarang hanya berjalan menuju rumah masa kecilnya yang membuat Sagar bahagia sekaligus menyakitkan.

Setiap kali Sagar datang ke sana, maka dia akan teringat perlakuan kejam Om Vano pada Mamanya.

Tiba-tiba saja langkah Sagar terhenti saat melihat sosok cowok yang kini sedang berdiri di depannya, lengkap dengan wajah datarnya. Mendadak amarah merasuki tubuh Sagar, setengah kesal dia menghampiri cowok itu dan memukulnya hingga mengeluarkan darah dari hidung dan mulutnya.

"Sialan!" Sagar mengcengkram baju Naraka dan menatapnya tajam. "Harusnya lo nggak ikut campur sama urusan gue!" teriaknya.

Naraka diam, hanya menatap Sagar datar. Meski wajahnya penuh luka namun dia tidak terlihat kesakitan atau meringis, sampai membuat Sagar keheranan.

"Kenapa lo ngasih tau gue yang sebenernya? Biar gue tau dan bisa ngadepinnya, gitu? Biar gue kayak Sam?"

Naraka tetap diam, meski Sagar kembali memukulnya.

"Lo yang ngasih tau Vano sama dokter itu kalau ginjal gue sama kayak Ilma? Cuma lo yang bisa baca pikiran orang sama tau segala tentang penyakit gue."

"Semenjak ada lo hidup gue jadi kacau! Harusnya lo nggak ngasih tau gue apa-apa! Mestinya lo diem aja meski lo tau hidup gue bakal kayak apa."

"Dan bikin lo lebih sakit hati?" Naraka balik bertanya. "Kalau gue nggak ngasih tau lo, apa lo bisa ngadepin semuanya setegar ini? Apa lo yakin bisa ngatasin amarah lo kayak sekarang?"

Sagar mundur beberapa langkah, dia tahu dia bersalah dalam hal ini. Tidak seharusnya Sagar memukuli Naraka yang tidak punya salah apa-apa padanya. Cowok itu murni membantunya. Naraka tahu jalan hidupnya akan seperti apa, Naraka hanya melakukan yang terbaik untuk dirinya.

"Harusnya lo nggak pergi gitu aja dari sana. Lo harus—"

"Berhenti omongin Vano sama keluarganya. Gue nggak mau lagi denger tentang mereka."

Naraka menatap Sagar lama. "Harusnya lo beruntung, Gar. Meski pura-pura tapi seenggaknya Vano peduli sama lo, meski mereka bukan orang tua kandung lo tapi mereka sayang banget sama lo. Dan lo harus bersyukur, Tuhan ngasih lo kesempatan buat hidup. Nggak semua orang bisa ngedapetinnya. Seenggaknya lo nggak dijadiin alat percobaan kayak gue."

Sagar menunduk, menyadari kesalahannya. "Gue cuma lagi marah, sori. Tapi ..." Sagar menatap Naraka. "Kenapa tiba-tiba lo dateng nemuin gue? Bukannya lo sibuk."

Naraka mengangguk. "Gue emang sibuk, gue cuma mau pamitan sama lo."

"Apa?"

"Gue mau balik ke Jepang, masa tugas gue udah habis di sini. Nggak pantes kalau gue pergi gitu aja tanpa pamitan sama lo."

Meski Sagar tidak terlalu dekat dengan Naraka namun dia merasa sedih saat mendengar Naraka pergi. Hanya Naraka satu-satunya orang yang bisa Sagar mintai pendapat sekarang.

"Lo ngedeketin gue karena ada sesuatu yang lo ingingkan dari gue, kan?" Tiba-tiba Sagar bertanya. "Gue bakal ngasih apa yang lo mau tapi dengan satu syarat."

Naraka menaikan sebelah alisnya, tertarik.

"Gue bakal ngasih barangnya asalkan lo tetep tinggal. Jadi sahabat gue sampai akhir tanpa ada penghianatan."

Naraka tidak langsung menjawab, hanya menatap Sagar datar. Sementara itu Sagar sudah putus asa, harapannya untuk hidup sangat tipis saat tahu kalau Rhea benar-benar menyukainya, apalagi sekarang Om Vano yang menginginkan ginjalnya.

"Jadi sahabat lo? Tanpa ada penghiatan?"

Sagar mengangguk. "Setuju?"

Naraka hanya menghela napas lelah.

***

Nizam duduk di kursi meja belajar, menatap foto masa kecilnya saat bersama ayahnya. Dia merenung, teringat pada kejadian tadi siang saat ayahnya mengakui Sagar sebagai anaknya dan memintanya untuk menolong Ilma, namun ditolak mentah-mentah oleh Sagar.

Dia baru mengetahui fakta ini, fakta bahwa orang yang dahulu sempat mengganggu ayah dan ibunya adalah sahabatnya sendiri. Sagar adalah saudara tiri yang tidak pernah Nizam inginkan kehadirannya. Sagar hanya membawa penderitaan bagi mereka, bahkan cowok itu membentak ayahnya dan tidak mau menolong Ilma.

Nizam mengepalkan tangannya, Sagar adalah orang yang selama ini dia cari. Orang yang berani menghancurkan keluarganya harus menanggung risiko. Kehadiran Sagar membuat ibunya memderita dan membuat sang ayah jauh darinya. Maka dari itu dia juga harus menghancurkan hidup Sagar seperti yang pernah dilakukan Sagar dahulu padanya.

***

His HalfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang