Keduapuluh Tujuh
"Di dunia ini, hanya ada satu hal yang pasti. Semua yang hidup, pasti akan mati."
—Ovan, Roots—
Sagar tidak merasa heran lagi saat mengetahui di mana dirinya berada. Di tempat yang selama ini tidak pernah absen didatangi Sagar. Namun jika biasanya dia langsung beranjak bangun, kali ini Sagar hanya terdiam menatap langit-langit ruangan IGD dengan pandangan hampa.
"Rhea sudah sampai di rumah." Tiba-tiba Naraka bersuara, dia berdiri di samping Sagar.
"Kenapa lo ada di sini? Kenapa juga lo nolong gue?"
"Lo lupa? Gue ini sahabat lo. Tadi gue nggak sengaja nemuin lo hampir jatuh di jalan, yaudah bawa ke sini."
Sagar tersenyum kecil, hatinya sedikit bahagia, setidaknya ada seseorang yang mau benar-benar menjadi sahabatnya. "Makasih."
Naraka mengangkat bahunya. Dia memberitahu kalau Samudera juga dirawat di ruangan ini. Dia ada di samping Sagar, hanya terhalang oleh gorden pemisah. Sagar sedikit penasaran, kemudian dia membuka gorden tersebut. Benar saja, Samudera di sana, tampak tidak sadarkan diri. Beberapa orang tampak sedang menunggunya dan memberi semangat.
Sesaat nyali Sagar menciut, meski Samudera terlihat sakit namun ada banyak orang yang mendoakannya. Sedangkan dirinya, hanya ditemani oleh Naraka.
"Jangan anggep kalau lo sendirian. Ada banyak orang yang peduli sama lo, cuma mereka nggak bisa mengekspresikannya."
Sagar hanya tersenyum kecil. "Gue tau. Tapi rasanya menyakitkan."
Lama mereka terdiam, Naraka memutuskan untuk keluar sebentar. Sagar yang saat itu selesai diperiksa oleh dokter, tidak langsung memejamkan mata. Mendengarkan Samudera berbicara dengan seseorang yang dikenal Sagar sebagai Karang, saudara kembar Samudera.
Sagar iri mendengarnya, mereka saudara yang terpisah jauh tapi terlihat sangat dekat. Andaikan saja dia bisa seperti itu dengan Nizam dan Ilma. Pasti sangat menyenangkan.
"Jadi, lo yang bakal mati duluan," kata Sagar setelah mendengar Karang pergi.
"Lo juga masuk rumah sakit, Sagar? Kayaknya lo yang bakal mati duluan deh."
Sagar terkekeh. "Kayaknya gitu. Gue nggak punya harepan lagi, Sam."
Samudera ikut terkekeh pelan. "Kenapa nasib kita sama, ya?"
"Seenggaknya hidup lo, lebih beruntung dari gue."
Kedua terdiam cukup lama. "Hidup gue emang lebih beruntung dibanding elo."
Sagar menatap hampa langit-langit. "Gue kangen sama Mama, rasanya gue pengen berhenti dari semuanya. Tapi, gue juga pengen hidup. Meski gue nggak punya apa-apa, tapi gue nggak pernah tega kalau harus ninggalin Rhea. Dia satu-satunya alasan gue hidup, dia yang buat hidup gue utuh, tapi dia juga yang ngancurin hati gue."
"Lo nggak punya siapa-siapa, makanya lo jadiin Rhea orang paling penting dalam hidup. Rhea pasti beruntung banget."
"Kayak Ayya, kan. Cowok mana coba yang rela ngasih nyawanya ke orang yang dicintai."
Samudera dan Sagar tersenyum. "Gue cuma pengen bahagia, meski hidup gue nggak lama."
Sagar tidak lagi mendengar Samudera, pasti cowok itu tidak bisa menahan kantuknya. Keadaan hening lagi, sesaat Sagar melihat ponselnya yang berkedip. Ketika dia melihat, ada pesan masuk dari Feri yang mengabarkan kalau malam ini Satria akan keluar mencari Sagar, jadi sebaiknya Sagar jangan keluar dulu sebelum Feri dan yang lainnya menhalau Satria dan anak buahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
His Half
Teen FictionSagar putus asa ketika dokter menyatakan bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Tetapi Tuhan memberi kesempatan pada Sagar. Dia akan sembuh jika Sagar berhasil merubah seseorang menjadi lebih baik. Dan pilihannya jatuh pada Rhea-cewek nakal yang suka...