Part 12

150 15 2
                                    

Matsumoto termenung di ruangannya. Tangannya menyangga dagu dan tatapan lepas ke jendela. Sejak beberapa hari, ada yang mengganggu pikirannya. Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka.

"Ohaiyo gozaimasu, Matsumoto-sensei," sapa lelaki lebih tua darinya. Lelaki itu mengenakan jas dokter.

"Ah, Yamato-sensei. Ohaiyo," sapa balik Matsumoto.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Yamato.

"Seperti biasa. Hanya saja ada yang mengganjal di pikiran saya."

Yamato Irashi termasuk dokter senior di rumah sakit tersebut. Matsumoto banyak belajar dengannya. Sebelumnya Yamato merupakan psikiater layaknya Matsumoto. Kini Yamato sudah menjadi penasehat rumah sakit di bagian manajemen. Empat tahun lagi Yamato sudah pensiun dari pekerjaannya. Banyak pengalaman yang ia dapatkan selama menjadi psikiater. Berbagai kasus sudah ia hadapi.

"Masalah apa?" Yamato menarik kursi lantas duduk di depan juniornya.

"DID. Sensei pernah mendapatkan pasien yang mengalami DID?" Kini mata Matsumoto menghujam tajam ke seniornya. Biasanya mereka sering melakukan canda, namun kali ini Matsumoto sungguh serius.

"DID? Dissociative Identity Disorder?" Yamato mengulang pertanyaan juniornya.

"Hai." Matsumoto mengangguk tegas.

Yamato menyilangkan kakinya lantas mengelus dagunya yang tidak berjanggut. "Saya tidak pernah tetapi senior saya pernah cerita soal penderita DID. Tidak banyak yang menderita DID. Awal mula kasus DID dicetuskan oleh psikiater wanita bernama Dr. Cornelia B. Wilbur. Saat itu dia tengah menangani pasien bernama Shirley Ardell Mason yang mempunyai enam belas alter ego." Yamato menghentikan penjelasannya ketika melihat tatapan mata Matsumoto kosong. "Sensei pasti sudah pernah mendengar soal itu, kan?" tanyanya memecahkan lamunan Matsumoto.

Matsumoto mengangguk. "Tapi Dr. Wilbur tidak ada membuat jurnal ilmiah soal kasus itu. Apa itu valid?"

"Sensei, kelainan kejiwaan berbeda dengan penyakit yang disebabkan oleh virus dan bakteri. Kejiwaan hanya butuh terapi apapun itu teorinya. Kedekatan, kesabaran dan kemauan penderita sangat berpengaruh. Kejiwaan tidak ada obatnya, yang dibutuhkan adalah perhatian dan kasih sayang." Yamato menepuk bahu Matsumoto yang masih bingung.

"Baik, Sensei."

"Sensei gali masa lalu penderita dan alter egonya. Dari situ, saya yakin Sensei bisa menyelesaikannya. Sensei adalah salah satu dokter berbakat di rumah sakit ini." Yamato berdiri dari kursinya.

"Mau ke mana, Sensei?" Matsumoto menengadahkan kepala.

"Kembali ke ruangan. Tadinya saya mau ajak Sensei minum sake selepas jaga. Sepertinya ada yang lebih penting yang harus dilakukan Sensei, dari sekedar minum sake." Yamato kembali menepuk bahu Matsumoto.

Matsumoto ikut berdiri dan membungkukkan tubuhnya. "Arigatou gozamashita, Sensei."

Yamato tersenyum lantas ke luar ruangan. Tinggalah Matsumoto dengan praduga dan kebingungannya.

"Sensei!" panggil Mia dari balik pintu.

Matsumoto menoleh ke arah pintu. "Hai."

"Ada Kyoko-san. Sensei sudah janji bertemu dengannya?" tanya Mia heran, merasa tak ada janji konsultasi gadis itu.

"Kyoko-san? Tidak ada tapi biarkan dia masuk!" pinta Matsumoto.

Mia hanya mengangguk lantas membuka pintu lebar-lebar, terlihat sosok Kyoko dengan wajah menunduk, seperti biasa.

Another MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang