Part 24

111 10 0
                                    

Mia selalu tidak mengerti dengan pasien ini. Baginya dia sulit untuk mendekati Kyoko, bahkan sekedar bicara santai. "Ne, Kyoko-san!" Mia mengejar Kyoko yang melangkah cepat, "Anda kenal Yamato-sensei?" tanya Mia.

Pertanyaan itu membuat langkah Kyoko berhenti dan menoleh ke arah Mia. "Namanya Yamato?"

Mia mengangguk. "Doushite, Kyoko-san?" Mia menjadi penasaran.

Kyoko melanjutkan langkahnya.

Di depan ruangan Matsumoto, Kyoko bertemu dengan psikiater itu. Mia tersengal-sengal mengejar Kyoko.

Matsumoto memiringkan kepala, matanya menyorot ke arah Mia yang kelelahan di belakang Kyoko. "Doushite, Mia?

"Iie," Mia mengibas kedua tangannya, "Kyoko-san sudah datang." Mia mengatur napasnya.

Mata Matsumoto beralih ke Kyoko. Dia menatap lekat wajahnya, tidak seperti tadi malam. Kali ini ekspresi yang dia lihat seperti pertama kali gadis itu datang ke sini. "Ada apa, Kyoko-san?" tanyanya lembut.

"Saya bukan Kyoko," jawabnya lirih.

"Heh?" Matsumoto dan Mia kaget bersamaan.

"Arina?" tanya Matsumoto sangat hati-hati.

"Ada yang mau saya bicarakan."

Matsumoto menyilakan Arina masuk dan menutup pintu. Sedangkan Mia masuk ke dalam ruangan kecil. "Silakan, duduk!" Matsumoto mengambil alat perekam dari laci lalu menekan tombol perekam. "Baik, mau bicara apa?"

"Perempuan di samping rumah Anda ...." Arina menghentikan ucapannya.

"Akiane?" Matsumoto mengira-ngira.

Ariana mengangguk. Dua hari lalu saya melihatnya dengan lelaki yang lagi dirawat di rumah sakit ini. Lelaki itu dicelakai oleh Yamato." Arina menatap tajam.

"Anda kenal Yamato-sensei?

"Tidak penting kenal atau tidak," jawab Arina ketus.

"Tidak mungkin dia melakukan itu," sangkal Matsumoto.

"Anda kira saya mengarang?" nada bicara Arina terdengar kesal.

Matsumoto menyilangkan kaki. "Saya mau tanya, dua hari lalu Anda mengambil alih tubuh Kyoko dengan seenaknya, bukan?" Kini Matsumoto menghantam pertanyaan kepada Arina. Dia sudah lama menunggu momen ini. Banyak yang ingin dia tanyakan kepada wanita ini.

Arina membesarkan matanya. "Jangan mengalihkan pembicaraan."

"Saya tidak lagi mengalihkan pembicaraan. Di luar masalah Yamato-sensei, ada masalah yang paling penting, yaitu soal Kyoko," sanggah Matsumoto tegas.

Arina diam seketika. "Ya, saya tahu. Tapi ...." Ariana dibuat kesal. Dia merasa terpojokan.

Matsumoto menusuk mata Arina dengan tatapannya. Baru kali ini dia menatap setajam itu. Tatapannya membuat Arina salah tingkah.

"Wakatta, wakatta. Saya akan membantu Anda setelah dengarkan dulu cerita," mata Arina menyapu sekeliling ruangan, "saya memang keluar setelah Kyoko tidur. Malam itu saya ingin ke Hiroshima, mengunjungi suatu tempat. Di perjalanan ke stasiun, saya melihat dua orang tengah bertengkar. Salah satunya adalah tetangga Anda." Arina menghentikan sejenak.

Matsumoto mengerutkan kening mendengar cerita Arina. Apalagi membawa Akiane.

"Ketika saya mendekati mereka ... ah, tepatnya melintasi mereka, seseorang memukulkan kayu ke kepala lelaki yang bertengkar itu," Arina menegakkan tubuhnya, "justru karena saya, orang itu tidak mati. Sebab, saya yang menghentikan orang yang memukul itu." Arina membusungkan dadanya bangga.

"Maksud Anda, Yamato-sensei yang memukul Aoi?" Matsumoto memastikan.

"Aoi?" Arina tercengang mendengar nama itu. Dia berpikir sejenak, "ya, Aoi-san. Saya dengar dari perempuan itu ketika menangis di pinggir jalan."

"Tidak mungkin," lirih Matsumoto.

Arina tersenyum sinis. "Tidak menyangka, bukan? Orang yang selama ini kita anggap baik, ternyata melakukan kejahatan," Arina tertawa puas, "Anda terlalu naif jika menganggap semua orang yang dekat dengan Anda adalah baik."

"Tapi apa motifnya?" Matsumoto masih tidak percaya, "kenapa keesokan harinya Anda masuk ke bangsal Aoi?"

Arina menceritakan selepas Kyoko pingsan kemarin. Sebangunnya Kyoko, Arina memang tengah mengambil alih tubuhnya. Tadinya Arina ingin pergi ke Hiroshima sebab malam sebelumnya belum sempat ke sana. Setelah Yamato memukul kepala Aoi dengan kayu berpaku, lelaki itu meninggalkan korban dengan kepala bocor. Arina merasa tidak tega meninggalkan korban kehabisan darah sedangkan di dekatnya ada seorang wanita yang hanya menangis terus. Ya, wanita itu Akiane. Mau tak mau Arina membawa Aoi ke rumah sakit, dibantu Akiane yang masih menangis sampai mereka berpisah. Selepas itu, Arina memilih pulang dan tak jadi ke Hiroshima. Pagi itu, ketika Arina melewati bangsal Ikeda Aoi, dia melihat Yamato berada di dalam bangsal itu. Arina menggagalkan rencana Yamato meskipun Ikeda Aoi sempat dibekap dengan bantal oleh Yamato. Yamato lari keluar saat Arina berteriak. Melihat Aoi kejang-kejang, Arina memilih pergi daripada disalahkan jika dokter melihat dirinya di sana. Usai menceritakan kronologi, Arina berjalan mendekati kaca satu arah. Dia mencurigai sesuatu dari balik kaca itu. Arina mengetuk kaca itu, hanya pantulan wajahnya yang terlihat.

"Anda tidak bisa menuduh. Tidak mungkin Yamato-sensei melakukannya," sanggah Matsumoto.

Arina memutar tubuhnya menghadap Matsumoto. "Kalau tidak percaya, silakan tanya Akiane-san. Dia saksi mata," jawab Arina santai seraya melipat kedua tangannya, "rasanya diapun tidak akan bicara," Arina tersenyum sinis, "wanita patah hati. Malangnya," lanjutnya.

"Maksudnya?"

"Apa namanya jika wanita hanya bisa menangis dan mencari empatik seseorang? Bukankah dia begitu malang?" ketus Arina.

Ponsel Matsumoto tiba-tiba berdering. Telepon itu memecahkan ketegangan antara Matsumoto dan Arina. "Moshi moshi!" jawabnya, "yokatta, saya ke sana," jawabnya lagi. "Arina-san, ikut saya!" ajak Matsumoto.

Dengan malas, Arina membuntuti Matsumoto. "Kita mau ke mana?" tanya kesal Arina.

"Membuktikan ucapanmu." Matsumoto mempercepat langkahnya.

Di belakang Arina, Mia ikut bersama mereka. Dia pun penasaran dengan apa yang terjadi. Meskipun hanya anak magang, banyak yang harus dipelajari untuk menjadi psikiater seperti Matsumoto. Ya, diam-diam dia mengagumi psikiater muda itu dalam menangani pasiennya.

Matsumoto berhenti di depan bangsal Ikeda Aoi. Dia menoleh ke arah Arina yang melangkah dengan malas. "Cepat Arina-san!" pintanya.

"Untuk apa saya ke sini?" tanya kesal.

"Saya sudah bilang, untuk ...." Ucapan Matsumoto dihentikan oleh suara Ikeda Eri.

"Matsumoto-sensei!" sapa Ikeda Eri saat membuka pintu bangsal. Dia menoleh ke arah datangnya Arina dan Mia, "siapa dia?" tanyanya kepada Matsumoto dengan suara pelan.

"Dia yang tahu siapa yang mencelakai Aoi."

Ikeda Eri membulatkan matanya. "Hah? Yang benar?" rasanya wanita itu tidak percaya.

Matsumoto mengangguk.

----------

Yokatta : Syukurlah

Wakatta: Mengerti

Musik : Ieiri Reo - Zutto, Futari de ずっと、ふたりで

(OST aishiteta tte, himitsu wa aru)


Another MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang