Okada Hiraku hanya berdiri di samping anaknya. Wajah cemas belum juga memudar. "Akiane sering melihat foto itu. Kadang dia melamun, bicara sendiri dan tersenyum dengannya. Tapi setelah kejadian kemarin, dia sering menangis dan marah kepada foto itu. Saya takut dia jadi gila," jelas Okada Hiraku.
Matsumoto kembali berdiri berhadapan dengan Okada Hiraku. "Tidak perlu takut. Akiane-chan hanya stress ringan. Dia perlu dipertemukan dengan orang di dalam foto itu," jelas Matsumoto menenangkan Okada.
"Aku tidak mau bertemu dengannya!" pekik Akiane mendengar penjelasan Matsumoto.
"Heh, kenapa?" tanya Okada Hiraku.
"Aku ...." Akiane menghentikan ucapannya.
Melihat air muka Akiane, Matsumoto mengurungkan niatnya lantas pamit kembali ke rumah sakit. "Akiane-chan, jika kau ingin bercerita, ceritakanlah! Aku bersedia mendengarnya." Matsumoto berdiri di depan Akiane.
Akiane tak menjawab. Kepalanya menengadah dan menatap lekat mata Matsumoto. Cekungan mata gadis itu semakin terlihat.
"Banyaklah istirahat!"
Akiane memiringkan kepala lalu menunduk.
"Saya pamit dulu, Okada-san." Matsumoto melangkah keluar rumah keluarga Okada. Dia membungkukan tubuhnya sedikit lantas masuk ke dalam mobil.
Di pertengahan jalan, ponsel Matsumoto berdering. Dia mendapat telepon dari Mia. Lelaki itu meminggirkan mobilnya dan mengangkat panggilan itu. "Iya, Mia. Baiklah saya akan segera ke rumah sakit," jawab Matsumoto. Dia langsung menancapkan gas kendaraan.
Sementara itu sebelum Mia menelepon Matsumoto, dia masih mencari keberadaan Kyoko yang tak juga terlihat. Tidak mungkin dia pergi begitu cepat. Mia menyusuri lorong rumah sakit hingga lobby. Di depan sebuah bangsal, suster itu menghentikan langkahnya dan membulatkan mata. "Lagi apa kau di sini?" lirihnya melihat lorong bangsal. Mia melihat gelagat aneh dari orang itu, menatap lurus ke sebuah bangsal dengan mulutnya yang terus meracau. Tak lama, orang itu membuka pintu dan masuk ke dalam bangsal. Mia yang masih berdiri, semakin penasaran dengan apa yang dilihat. Dia langsung meraih ponsel dan menelepon Matsumoto, melaporkan apa yang baru saja dilihat. "Sensei, bisa ke rumah sakit? Ada keganjalan yang baru saya temukan. Mungkin ada sangkut pautnya dengan kejadian dua hari belakangan ini," pinta Mia, "baik, Sensei," lanjutnya setelah mendapat jawaban dari Matsumoto dan mengakhiri teleponnya. "Ada apa ini?" lirihnya.
Sekitar sepuluh menit, Mia memantau bangsal itu. Tak lama seseorang keluar dari bangsal dan pergi dengan wajah puas. Rasanya ingin menghampiri orang itu dan mengakhiri rasa penasarannya. Namun tak dilakukan. Mia tahu dengan siapa dia akan berhadapan. Dia tidak ingin menambah masalah baru. Biarlah Matsumoto yang akan mencari penyelesaiannya. Mia kembali ke ruangan. Suster itu terus mondar-mandir di ruang kecil sebelah ruang konsultasi.
Tak lama, Matsumoto tiba di rumah sakit. Dia segera ke ruangannya. Di ruang kecil, Matsumoto mendapati Mia tengah mondar-mandir. "Ada apa, Mia?" tanya Matsumoto penasaran.
Mia menghentikan kakinya. "Sensei, saya melihat Kyoko-san."
"Lalu mana dia sekarang?" tanya Matsumoto balik.
"Saya tidak memanggilnya." Mia meremas jemarinya.
"Kenapa?" Matsumoto semakin tidak mengerti dengan perkataan Mia.
"Sensei, apa Kyoko-san kenal dengan Ikeda-sensei?"
"Saya rasa tidak. Kenapa?"
"Tadi saya melihat Kyoko-san masuk ke dalam bangsal Ikeda-sensei."
Matsumoto mengerutkan kening. "Untuk apa?"
Mia menggeleng. "Saya juga tidak tahu."
Matsumoto keluar dari ruangan lalu melangkah cepat ke bangsal Ikeda Aoi. Di depan bangsal, dia mendapati Ikeda Eri tengah menangis di bangku tunggu. "Ada apa?" tanyanya.
Ikeda Eri tidak menjawab. Dia terus saja menangis.
Matsumoto memasukkan langkahnya ke dalam bangsal. Di dalam seorang rekan sesama dokter tengah memancing denyut jantung Ikeda Aoi yang mulai melemas. Matsumoto diam mematung melihat sejawatnya kritis. Dia kembali menemui Ikeda Eri untuk menanyakan apa yang terjadi. "Kenapa bisa seperti ini? Bagaimana ceritanya?"
Ikeda Eri menghentikan tangisnya sebentar. "Tadi saya meninggalkannya sebentar untuk membeli makan di kantin. Ketika kembali, saya mendapati denyut jantung Aoi mulai melemas dan ...." Ikeda Eri menghentikan ucapannya. Dia tak mampu menahan tangis.
Matsumoto diam cukup lama mendengar penjelasan istri sejawatnya. Meskipun dia tahu betul siapa Ikeda Aoi sebenarnya, seberapa lincah lidahnya untuk merayu wanita, dia tetap menganggap sejawatnya itu kawan terdekat. Banyak waktu yang dihabiskan bersama lelaki playboy itu. Pun, dia bersyukur sejawatnya mendapatkan istri yang begitu sabar.
"Saya tidak mau kehilangannya," isak Ikeda Eri seraya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
"Dia akan baik-baik saja. Tenang saja!" hibur Matsumoto.
Pikiran Matsumoto mulai memasangkan pecahan kejadian dua hari belakangan ini. Dia yakin ada hubungannya antara satu sama lain. Dia mencari benang merah permasalahan ini. Rentetan kejadian menjadi kepingan puzzle yang harus disusun hingga menjadi penyelesaian yang jelas.
Dokter yang menangani Ikeda Aoi keluar dari bangsal.
Ikeda Eri langsung menanyakan. "Bagaimana keadaan suami saya, Sensei?"
"Denyut jantungnya berhasil dipancing kembali. Dia baik-baik saja," jelas dokter itu.
"Terimakasih, Sensei." Ikeda Eri membungkukan tubuhnya.
Dokter itu tersenyum dan mengangguk sebelum meninggalkan Ikeda Eri dan Matsumoto.
"Aoi akan baik-baik saja. Jangan pernah tinggalkan dia sendiri untuk beberapa hari ini!" pinta Matsumoto, "dia akan baik-baik saja," ucapnya lagi menenangkan.
"Arigatou, Sensei!"
Matsumoto meninggalkan Ikeda Eri lantas kembali ke ruangannya.
------------------
Jangan lupa Vomen-nya, Kakak! ^_^
Salam sayang untuk pembaca setia
Musik : A melody of tears - Beethoven
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Me
Mystery / ThrillerTAMAT Rank #1 of hashtag geisha: 1-18 Mar 2019 Rank #1 of hashtag dua kepribadian: 19-26 Mar 19 9-12 Apr 19 9-13 Jun 31 Jul-5 Aug 2020 Yang sedang bebicara dengan kamu bukanlah orang yang kamu kenal Bukan pula dengan karakter yang kamu ketahui Dia s...