Part 29

111 11 0
                                    

Matsumoto memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Sejenak dia berpikir bagaimana cara menggali informasi tentang masa lalu pasiennya. Seketika dia mendapatkan cara. Saat membuka mulutnya, Kyoko kembali bersuara.

"Untuk apa Sensei tahu?" tanya Kyoko.

"Kyoko-san, perubahan karakter seseorang akan berubah jika diketahui akar penyebabnya. Tidak mungkin ...." Belum sempat Matsumoto menyelesaikan ucapannya, Kyoko mendekat. Dia mendekatkan wajahnya. Kini hanya beberapa senti saja. Situasi ini membuat Matsumoto salah tingkah.

"Saya tahu semua masa lalunya."

"Arina," tebak Matsumoto.

Arina menjauhi wajahnya lantas dia mendekati jendela. "Saya tidak mengerti, ada manusia selemah dia."

Matsumoto memutarkan tubuhnya. "Maksudnya?" Kening Matsumoto berkerut.

"Hampir sebagian besar kehidupannya, diambil alih oleh saya." Arina beranjak dari jendela lantas duduk di kursi Matsumoto. Di sana dia menyilangkan kaki dan bersandar seolah tak merasa sudah duduk di kursi yang salah, "tanpa saya, dia tidak akan pernah jadi seperti sekarang ini." Senyuman sinis di wajah gadis itu mengembang.

Matsumoto duduk di sofa. Kini mereka duduk di tempat yang berbeda. Mia yang sedari tadi mendengar percakapan mereka dibuat bingung. "Bisa Anda ceritakan?" pinta Matsumoto sangat hati-hati.

"Sensei, Kyoko bukan pribadi yang mengesankan. Dia lemah, tidak bisa mengambil keputusan, sukanya menangis dan menyalahkan diri sendiri. Dia sempat mencoba bunuh diri ketika tahu ibunya pulang membawa kekasih baru dalam keadaan mabuk. Dasar gadis lemah!"

Matsumoto berpikir sejenak, mencerna informasi yang diberikan Arina. "Tapi di tubuh gadis lemah itu Anda berada dan Anda merasa bangga, bukan?"

"Saya hanya kasihan," sanggah Arina.

"Kasihan dan rasa sayang, beda tipis. Anda tidak akan kasihan jika tidak mempunyai rasa sayang, meskipun sedikit."

Arina merasa tidak terima dengan ucapan Matsumoto. Dia bangkit dari duduknya lantas kembali mendekatkan wajahnya ke Matsumoto. "Sensei, dengar! Meskipun saya mengatakan masa lalunya untuk kebutuhan Sensei, bukan berarti saya ingin dia hidup normal," Arina menjauhkan wajahnya, "Sensei tahu kenapa dia tidak jadi bunuh diri?"

Matsumoto mengembangkan senyuman terpaksanya. "Karena Anda takut mati," tebak Matsumoto, berharap dia benar.

"Bingo!" teriak Arina lantang dengan mengangkat tangannya dengan posisi jari seolah akan menembak.

Matsumoto mengangkat alis mendengar kelantangan suara Arina. "Lalu awal mula Kyoko menjadi geisha, bagaimana?" Matsumoto mengulang pertanyaan yang sedari tadi inti pertanyaannya.

"Shoko memaksanya."

"Shoko?"

"Ya, Fujihara Shoko. Wanita yang sudah tega menelantarkannya." Wajah Arina mulai geram, "saya tidak mengerti manusia seperti itu bisa hidup di dunia ini."

Matsumoto bangkit dan berdiri di samping Arina.

"Ibu seperti apa yang berani menyiksa anaknya dari kecil? Bahkan rasa sayang yang Anda ucapkan tadi, nyaris tidak saya lihat dari wanita monster itu," Arina menghadap Matsumoto, "setiap hari dia memukulinya dengan kejam. Membentak tanpa rasa bersalah. Anda tahu? Dia hampir menjual anaknya kepada lelaki tua hidung belang demi uang recehan yang kelak akan dia pakai untuk berjudi dan foya-foya," Arina bicara lantang dengan emosi meletup-letup. Kemarahan tergambar jelas di wajahnya. "Dia monster berwujud manusia yang bersembunyi dari sosok yang bernama ibu. Rasanya saya ingin membuat dia mati saja!"

"Arina!" Matsumoto berusaha menenangkan gadis itu.

"Bahkan dia tanpa rasa bersalah mengikat tangan dan kakinya seperti binatang yang sudah mengacak-ngacak kebun. Seandainya saya punya waktu untuk membunuhnya!" Kemarahan Arina memuncak. Arina menunduk. Sekian menit emosinya mereda.

Matsumoto mendekati gadis itu. "Arina, Anda baik-baik saja?"

Terdengar isak tangis dari gadis itu. "Maafkan saya," lirihnya.

Matsumoto memiringkan kepala mencoba kembali menebak. "Kyoko-san."

"Maafkan saya, Sensei. Saya sudah bicara apa?"

"Duduk dulu!" Matsumoto mengajak Kyoko duduk di sofa lantas mengambil segelas air putih untuk meredakan emosinya. "Silakan diminum dulu!" Matsumoto duduk di samping pasiennya setelah memberikan air minum.

Kyoko meneguk air putih dari Matsumoto. Isaknya sedikit mereda. Wajahnya kini berantakan. Dia merasakan hancur di dalam hatinya. Kesal, sedih, putus asa, marah, emosi bercampur aduk di dalam benaknya. Sedangkan dia tidak tahu kenapa. "Maafkan saya, Sensei," ucapnya lagi.

"Maaf untuk apa?"

"Meskipun saya tidak tahu, apa yang sudah saya ucap dan perbuat terhadap Sensei, saya tetap minta maaf." Kyoko menundukkan tubuhnya.

"Iie, iie! Tidak ada yang salah. Tidak ada yang perlu dimaafkan," Matsumoto mengibaskan sebelah tangannya, "saya antar pulang, ya." Matsumoto mencoba menawarkan bantuan meskipun pasti akan ditolak lagi.

Kyoko mengangguk pelan.

Matsumoto tersenyum. "Ternyata Kyoko-san tidak menolak. Baiklah, mari!" Matsumoto menanggalkan jas dokter dan meletakkannya di sandaran kursi.

Kyoko berdiri setelah meletakkan gelas di atas sofa. Ketika mereka berdua keluar ruangan, Mia pun keluar dari ruangan kecil. Dengan tatapan isyarat dari Matsumoto, Mia mengangguk mengerti.

Another MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang