Part 19

110 12 0
                                    

Terimakasih sudah bersedia membaca cerita ini. Sesuai janji, jika sampai 1K readers, saya akan update dua bab sekaligus.
Baiklah, Sabtu ini saya akan update dua bab sekaligus. Semua saya lakukan untuk pembaca setia. ^_^. 

Jangan lupa komen, vote dan ajak kawan-kawan untuk membaca cerita ini. Semoga kalian menyukainya. 

Salam penuh cinta

Author

-------------------------------

Kyoko mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi tadi malam. Namun semakin dipaksa untuk mengingat, kepalanya terserang sakit. Melihat keadaan pasiennya, Matsumoto menenangkan.

"Tidak usah dipaksa untuk mengingat, Kyoko-san. Kita bisa pelan-pelan."

"Jika memang saya keluar tadi malam, saya takut telah melakukan yang menyakiti orang lain, sedangkan saya tidak ingat sama sekali," rintih Kyoko.

"Saya mengerti ketakutan Anda."

"Saya pamit pulang dulu, Sensei. Kepala saya semakin berat." Kyoko tertunduk hingga rambut panjangnya menutup seluruh wajahnya. Jemarinya semakin diremas kencang.

"Baiklah saya antarkan." Matsumoto bangkit dari kursi.

"Tidak usah, Sensei. Saya bisa pulang sendiri," sanggah Kyoko sembari mencoba berdiri meskipun tubuhnya terasa goyang.

Matsumoto membiarkan pasiennya untuk mengimbangi tubuhnya sendiri. Dia tetap berdiri dekat Kyoko bila tiba-tiba gadis itu tumbang. Matsumoto memperhatikan Kyoko yang tengah melangkah tertatih- tatih. Tubuh Kyoko sudah mulai terhuyung-huyung. Tidak butuh waktu lama, tubuh itu mendarat di lantai. Matsumoto segera menghampiri pasiennya. Mia yang sedari tadi memantau dari ruang sebelah, segera membuka pintu ruangan dan membantu Matsumoto untuk mengangkat Kyoko ke sofa lantas membaringkannya.

Mia menatap psikiater muda di sebelahnya. "Jadi sekarang kita lakukan apa, Sensei?" tanya Mia bingung.

"Biarkan Kyoko-san di sini dulu. Kita pantau apa Arina melakukan hal di luar kesadaran Kyoko atau tidak. Soalnya, menurut pengakuannya tadi, bahwa semalam dia sudah tertidur dan setelahnya Arina mengambil alih," jelas Matsumoto.

Mia mengangguk paham.

Matsumoto meninggalkan ruangan, diikuti Mia dari belakang lantas mereka masuk ke dalam ruang sebelah. Di ruangan ini mereka memantau Kyoko.

"Apa Kyoko-san baik-baik saja, Sensei?" tanya Mia resah.

"Selama terpantau, dia akan baik-baik saja."

Ketika mereka tengah memantau Kyoko, suara telepon di ruang kecil itu berdering. Mia segera mengangkatnya. "Moshi moshi! Maaf dengan siapa?" Mia bigung menjawab suara telepon yang terus saja meracau menyebut nama Matsumoto dan meminta untuk bicara dengan pskiater muda itu. Mia menoleh ke arah Matsumoto yang sudah mengerutkan kening duluan.

"Siapa?" tanya Matsumoto heran.

Mia menggeleng dan lubang telepon ditutup dengan telapak tangannya. "Orang ini menyebut nama Sensei," jelas Mia.

Matsumoto meminta gagang teleponnya. "Biar saya yang bicara," pinta Matsumoto.

Tanpa banyak tanya, Mia memberikan gagang telepon kepada Matsumoto dan berpindah tempat.

"Moshi moshi, Matsumoto desu."

Suara penelepon terdengar oleh Mia namun tak terlalu jelas apa yang tengah dibicarakan. Mia terus menatap Matsumoto yang berusaha menenangkan penelepon. Rasa penasaran pun melanda Mia sampai dia lupa untuk memantau Kyoko. Ketika dia tersadar, langsung menoleh kembali ke arah Kyoko. Namun kini gadis itu sudah tidak ada di sofa. Pintu ruangan pun terbuka begitu saja. Melihat kejadian itu membuat Mia panik. Dia ingin memberitahu Matsumoto tapi lelaki itu tengah menenangkan si penelepon. Akhirnya Mia menepuk bahu Matsumoto dan menunjuk ke arah sofa. Melihat pemandangan itupun membuat Matsumoto panik. Dengan bahasa isyarat, Matsumoto memerintahkan Mia untuk mencari Kyoko.

"Kyoko-san, ke mana larinya? Tiba-tiba saja hilang," racau Mia, matanya menyapu lorong rumah sakit.

Sementara itu usai mengakhiri telepon, Matsumoto segera bergegas ke parkiran mobil dan melajukan mobilnya. Ada rasa cemas mengganggu pikirannya. Mungkin karena dia seorang psikiater. Tidak hanya itu saja, ada hal yang membuatnya dilema namun belum tahu pasti kebenarannya.

Matsumoto tiba di rumahnya. Keningnya kembali berkerut ketika melihat seorang gadis tengah bicara dengan kucing di depan pagar rumahnya. "Sudah Akiane, ayo masuk!" pinta Okada Hiraku kepada anaknya. Raut cemas pun tergambar jelas di wajah Okada Hiraku.

"Konnichiwa, Okada-san!" sapa Matsumoto.

Okada Hiraku menoleh. "Ah, Sensei, gomen ne. Saya sudah tidak tahu harus bagaimana," jelas Okada Hiraku dengan wajah melas.

"Tidak masalah," Matsumoto berjalan mendekati Akiane, "Akiane-chan!" sapanya.

Akiane memutarkan kepalanya lalu mendongak melihat lelaki yang sudah berdiri di belakangnya. "Uh, Senpai," Akiane berdiri, "konnichiwa, Senpai."

Okada Akiane merupakan adik kelas Matsumoto ketika SMP hingga SMA. Usia mereka hanya terpaut satu tahun. Merekapun sempat satu kampus di perguruan tinggi namun di pertengahan, Akiane harus berhenti kuliah sebab orang tuanya sudah tak mampu lagi membiayai kuliah. Sejak itu Akiane memutuskan bekerja di sebuah spa pijat. Akiane kerap pulang malam dan mulai jarang bertemu dengan Matsumoto.

"Konnichiwa. Kau lagi apa?" tanya Matsumoto ramah.

Akiane hanya tersenyum lantas berlari masuk ke dalam rumahnya. Tingkahnya membuat ibunya bingung. Okada Hiraku hanya mengerutkan kening ke arah Matsumoto. "Gomen ne, Sensei. Tadi dia mengamuk. Sejak semalam, sikapnya berubah. Saya coba tanya apa yang sebenarnya terjadi, tapi Akiane tidak mau bicara. Dia selalu berteriak setiap saya menanyakan hal itu," jelas Okada Hiraku.

"Boleh saya bicara dengan Akiane?" pinta Matsumoto.

"Boleh. Silakan!"

Matsumoto melangkah masuk ke dalam rumah Okada Hiraku. Dia mendapati Akiane tengah menatapi foto anak berseragam sekolah. Wajahnya senyum-senyum sambil meraba foto itu.

Akiane menyadari kedatangan Matsumoto. Dia segera menyembunyikan foto itu lalu memeluk kedua lututnya dengan wajah ketakutan.

Matsumoto duduk dengan tumpuan kedua kaki di depan gadis itu. "Tidak perlu takut, Akiane-chan." Melihat wajah Akiane berubah lebih rileks, Matsumoto memberanikan diri. "Itu foto apa? Boleh aku lihat?" pintanya lembut.

Sekian detik Akiane menimbang untuk memberikan foto itu. "Sebentar saja."

Matsumoto mengangguk.

Akiane memberikan foto itu lantas menenggelamkan wajahnya ke dalam dekapan kedua lutut.

Kini giliran Matsumoto yang berkerut kening. Ada wajah yang dia kenal. Tunggu, bukan satu foto tapi ada dua foto dalam genggamannya. Foto yang pertama, seorang lelaki berseragam sekolah dengan posisi pengambilan dari samping. Tidak begitu jelas wajahnya sebab sisi pengambilannya tidak menangkap keseluruhan wajah lelaki itu. Namun Matsumoto mengenali sekali siapa sosok lelaki itu. Dia memindahkan foto pertama ke belakang foto kedua. Pada foto kedua, sosok lelaki kembali tergambar di dalamnya. Sepertinya ini lelaki yang berbeda. Lebih dewasa dengan latar sebuah gedung, sepertinya di kampus. Wajahnya pun tidak terlihat jelas meskipun pengambilan foto tersebut dari sisi depan. Hanya saja sinar matahari terlalu berlebih tertangkap kamera sehingga wajah lelaki itu tertutup pantulan cahaya matahari. Kening Matsumoto kembali mengerut. Belum usai dia menelaah siapa lelaki itu, Akiane sudah merampas kedua foto itu kembali lantas menyembunyikannya di balik badan. Matsumoto diam mematung dengan otak terus menerka-nerka siapa sosok di foto itu.

--------------------------

Jangan lupa vomen-nya, ya Kakak! ^_^

Musik : Spring Waltz - Chopin


Another MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang