Five

549 66 4
                                    

Sore itu langit masih cerah, matahari masih bersinar cukup terang dan Mina masih duduk malas di kafetaria. Perkataan Guanlin masih memenuhi pikirannya, jam belajar sudah selesai satu jam yang lalu dan yang membuatnya kebingungan adalah apakah ia harus menemui Guanlin setelah latihan nanti? Atau hanya perlu kembali ke asrama tanpa mempedulikan Guanlin.

Ada kalanya ia ingin membalas perlakuan Guanlin kepadanya. Lelaki itu cuek, bahkan sangat cuek padanya - atau pada semua orang kecuali temannya di klub basket. Tapi masalahnya, secuek apapun perlakuan Guanlin terhadapnya ia masih harus terlibat dengan lelaki itu. Projek tim mata pelajaran sastra dan tentu saja misi bodoh dari Jaden (untuk yang ini, ia bisa mengabaikannya).

Tangannya menatap susu stroberi ditangannya, rasa dingin itu menjalar ke seluruh tubuhnya dan sedetik kemudian Mina berdiri, mendekati vending machine dan mengeluarkan satu kaleng minuman isotonik dari sana. Kemudian langkah kakinya berjalan keluar dari kafetaria.

Langkah kakinya melambat seiring dengan tubuhnya yang semakin mendekati lapangan basket, matanya melihat Guanlin yang masih berlatih di lapangan dengan beberapa temannya - yang Mina tahu hanya Seonho dan Jihoon. Lelaki itu tampak menjadi sosok yang berbeda disana. Well, Guanlin masih tampak cool hanya saja kali ini, dia lebih terlihat keren saat mendribble bola atau saat sedang melakukan lemparan ke ring.

Mata Mina kembali melirik rentetan bangku penonton yang tidak disangka justru dipenuhi oleh para junior yang ramai bersorak menyerukan nama para pemain yang berlatih di lapangan, termasuk Guanlin yang namanya terdengar paling keras diteriakkan. Guanlin sepopuler itu, kah?

"Hai, Mina."

Mina menoleh, tersenyum kecut saat melihat Jaden - no, maksudnya Daehwi - baru saja menepuk pundaknya.

"Bagaimana misimu?" Daehwi tersenyum jahil. "Berjalan dengan baik, kan?"

Mina mendengus sebal. "Aku rasanya ingin menyerah saja."

"Apa?" Daehwi terlihat cukup terkejut dengan keputusan Mina. "Yakin?"

Mina menggedikan bahunya.

Daehwi kemudian merogoh sakunya dan menunjukkan sepuluh kupon gratis makan malam di restoran daging, melambaikannya di hadapan wajah Mina dan menepuk bahu gadis itu dengan semangat.

"Kau pasti bisa, Mina." Daehwi tersenyum, tapi terlihat menyebalkan di mata Mina. "Sedingin apapun dia, pasti ada sesuatu yang dapat menghangatkannya. Dan itu adalah dirimu."

"Apa, sih," Mina menggelengkan kepalanya. "Lagipula ini semuanya hanyalah misi, kalaupun aku ingin menyerah tidak ada masalah, kan?"

"Masalahnya kau melewatkan tawaran menarik dariku."

"Persetan dengan itu semua," Mina semakin sebal. "Aku harus pergi dulu. Ada urusan yang jauh lebih mendesak."

"Menemui Guanlin-mu?" tanya Daehwi dengan senyum menggoda. "Kulihat dari tadi kau memperhatikan Guanlin terus."

"Bukan urusanmu!"

Mina beringsut turun menuruni tangga sambil menggerutu sebal, bagaimana mungkin ia punya teman semenyebalkan Daehwi, tapi lelaki itu sebenarnya tidak sepenuhnya salah juga. Ia saja yang terlalu sensitif membahas topik ini. Ia terus berjalan tanpa menyadari bahwa tubuhnya sudah berdiri hanya berjarak tiga meter dari lapangan basket (jarak yang cukup dekat untuk Mina agar dapat melihat Guanlin dengan jelas, begitupun sebaliknya).

Sialnya, Mina lagi-lagi harus mengakui betapa tampan dan menggodanya lelaki itu. Ia tinggi dan juga proporsi tubuhnya sangat pas, ideal dan menawan. Shit, ia bicara terlalu banyak kali ini.

LOVE GAME [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang