Twenty Three

310 49 5
                                    

Ujian terbesar yang pernah ia hadapi adalah saat ayahnya pergi dua tahun lalu karena penyakitnya. Usianya masih sangat muda waktu itu dan tentu saja hal itu membuatnya frustasi mengingat ia sedang tingkat akhir SMP yang harus mempersiapkan diri untuk masuk SMA.

Mina mampu membangun dirinya, mengumpulkan semangatnya dan memulai kehidupan normalnya sebagai siswa SMA. Ia mulai melupakan rasa sakit karena kehilangan itu, setidaknya ia harus kuat untuk ibunya, untuk mereka berdua.

Mina pikir ujiannya akan selesai pada saat itu.

Tapi ia salah.

Ujian berat itu kembali datang padanya. Tuhan tidak mengambil orang yang dicintainya, tapi Tuhan mengambil ingatan orang yang dicintainya. Kehilangan yang sama namun dengan cara yang berbeda.

Kali ini, usianya lebih dewasa. Ia pikir, ia mampu menyikapi semua ini dengan dewasa, ia berharap bisa lebih ikhlas menerima kenyataan. Tapi ia salah. Ia belum bisa menerima ini, sebagaimana seharusnya.

Guanlin yang ia cintai, Guanlin yang mencintainya. Lelaki itu tidak ingat semuanya. Lelaki itu tidak ingat bagaimana rasanya dicintai Mina dan ia tidak ingat pula bagaimana cara mencintai Mina. Lelaki itu tidak ingat semuanya tentang Mina. Tentang mereka.

Mina turun dari taksi, melangkahkan kakinya melewati lobi rumah sakit lalu masuk ke dalam lift yang akan membawanya ke lantai sembilan. Ia keluar dari lift, berjalan perlahan hingga akhirnya berdiri di depan ruangan Guanlin.

Mina memejamkan matanya, maju satu langkah untuk bisa melihat lelaki itu melalui jendela kecil di pintu.

Dadanya kembali sesak.

Guanlin tertawa, tawa renyah itu, tawa yang amat sangat ia rindukan. Guanlin terlihat bahagia, tapi bukan bersamanya. Melainkan bersama Seoyeon. Mereka tertawa bersama, wajah Guanlin terlihat berseri-seri.

Air mata itu kembali luruh seiring dadanya yang semakin sesak. Beginilah pemandangan yang selalu ia lihat selama satu minggu ini. Ia selalu datang ke rumah sakit, hanya menatap Guanlin dari jauh dan tidak berani untuk masuk ke dalam. Ia hanya menunggu di luar, dan hanya bisa berharap.

"Oh, Kang Mina. Kenapa tidak masuk?"

Mina menoleh, sedikit terkejut melihat Seonho yang baru saja datang bersama Jihoon. Kalau dilihat dari ekspresinya, mungkin mereka belum tahu bahwa Guanlin kehilangan sebagian ingatannya.

"Kenapa menunggu di luar?" kali ini giliran Jihoon yang bertanya.

Mina hanya diam, mulutnya sama sekali tidak terbuka untuk menjawab pertanyaan Seonho dan Jihoon. Seonho dan Jihoon terlihat kebingungan. Namun, Jihoon memilih menggeser pintu dan masuk ke dalam, disusul dengan Seonho.

Mina bisa mendengar Seonho yang memanggil nama Guanlin dengan riang. Mereka masuk dan tak lama Seoyeon keluar.

Seoyeon tersenyum, kemudian memeluk Mina seperti biasa. Mina tidak tahu, apakah ia harus membenci gadis ini atau tidak. Ia tidak terlihat seperti orang jahat, ia selalu baik pada Mina.

"Kenapa tidak masuk? Satu minggu ini kau hanya menunggu di luar." tanya Seoyeon lalu melepas pelukannya.

Mina menatap gadis itu. "Aku masih belum siap."

"Guanlin tahu kau selalu menunggu di luar," Seoyeon kemudian duduk di kursi tunggu di depan ruangan Guanlin. "Tapi dia lagi-lagi bertanya kenapa kau ada disini. Kau bisa menjelaskan padanya secara perlahan."

Mina menggeleng. Ia tidak mau memaksa lelaki itu untuk mengingat semuanya.

"Kau sudah makan?" tanya Seoyeon.

LOVE GAME [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang