3.6K 732 72
                                    

Sabtu pagi ini, Wonwoo merebahkan tubuhnya di atas sofa. Dia merasakan lelah dua kali lipat. Tubuh dan pikiran. Tubuhnya masih lelah dengan kejadian kemarin, dan pikirannya yang lelah dengan perkataan Joshua yang masih terngiang di pikirannya. Bagaimana bisa dia menjauh dari perempuan yang bisa mengubahnya secepat ini?

Tidak, mau bagaimanapun, Wonwoo harus bisa mendapat restu dari Joshua. Bagaimanapun caranya.

Dia mengambil ponselnya di atas nakas di sebelah sofa. Ada dua pesan masuk pada kemarin sore. Ingin rasanya Wonwoo menghapus nomor ini dari ponselnya. Nomor ayahnya yang sudah menelantarkannya selama beberapa tahun sejak ibunya pergi entah kemana. Ayahnya yang gila pekerjaan dan hanya pulang sebulan sekali. Lebih memilih pekerjaannya dan menelantarkan Wonwoo sendirian di rumah.

Wonwoo, ayah dapet telepon dari sekolah, katanya kamu di pukul? Maaf, ayah nggak bisa jemput kamu di sekolah. Ayah ada rapat penting hari ini. Jaga diri kamu, ya!

Wonwoo berdecak pelan membaca pesan yang pertama.

Ayah pulang dua minggu lagi. Jangan berantem lagi! Ayah nggak segan potong uang saku kamu kalo ayah dapet telepon lagi dari sekolah.

Wonwoo menghela napas panjang. "Nggak usah kasih makan aja sekalian!"

Dia melempar ponselnya ke sembarang tempat. Mengacak rambutnya. Kenapa ucapan Joshua lagi-lagi menghampiri kepalanya? Apa dia harus bersujud kepada Joshua, agar laki-laki itu mengizinkannya mendekati Jeje?

Hanya Jeje yang ada di pikirannya sekarang. Hanya Jeje yang bisa mengubah sikapnya secepatnya ini. Hanya Jeje yang membuatnya berani untuk bicara. Hanya Jeje yang bisa membuatnya bergaul dengan teman-temannya. Dan hanya Jeje pula, yang bisa membuatnya jatuh cinta.

Wonwoo kini bisa mendengar jelas nada dering ponselnya. Diraihnya ponsel tersebut dan melirik nomor yang tampil di sana. Seokmin.

"Iya?"

"Wonwoo dimana?"

"Di rumah."

"Mau ikut jenguk Minghao nggak? Dia udah boleh pulang besok."

"Wonwoo otw, ya!"

===

Wonwoo kini bisa tersenyum lega melihat ketiga temannya yang menyambutnya di ruang Minghao dirawat. Minghao yang sedang terduduk di ranjangnya sambil melempar senyum. Ada Mingyu yang sedang mengoleskan roti selai untuk Minghao dan ada Seokmin yang mengupas apel untuk Minghao.

Tidak ada Jeje disana.

Wonwoo membawa sekeranjang buah-buahan dan meletakkannya di atas meja. Ditatapnya Minghao hangat. Laki-laki Cina itu hanya terkekeh padahal wajahnya masih penuh dengan luka memar.

"Udah baikan, Hao?" tanya Wonwoo. Minghao hanya mengangguk.

Kemudian, suasana hening terjadi. Tidak ada satupun yang berbicara. Keempat laki-laki itu kompak mempunyai luka memar di wajah mereka.  Bedanya, hanya Minghao yang saat ini memakai gips karena tulangnya patah.

"Wonwoo, maafin Minghao."

Kepala Wonwoo terangkat. Menatap Minghao tidak percaya. Buat apa laki-laki itu minta maaf padanya?

"Gara-gara gue, Wonwoo jadi ikutan dipukulin gengnya cimol."

Kini, Wonwoo bisa melihat wajah Seokmin yang penasaran. Ditambah tatapan Mingyu yang menyelidik seolah ikut penasaran dengan apa yang Minghao bicarakan.

"Kenapa emang, Hao?" tanya Mingyu. Kini, laki-laki itu sudah duduk di sisi ranjang Minghao.

Minghao berdeham. "Jadi, pas gue sama Wonwoo beli minum buat kalian, nggak sengaja salah satu minuman itu jatuh dan kena sepatunya Dino. Dan mereka nggak terima. Jadilah kita diseret ke gudang belakang buat dipukulin. Untung, Yuka ngeliat gue yang diseret sama Soonyoung."

Ciao Wonwoo [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang