십사

3.5K 713 127
                                    

"Kak Jeonghan, plis!" rayu Jeje sambil menarik-narik lengan Jeonghan yang masih sibuk menyiapkan sarapan di apartemen miliknya. Hari ini, dia tidak bekerja di kafenya. Ibunya akan datang hari ini. Jeonghan hanya memutar bola matanya.

Jeje meminta Wonwoo menunggu di dalam apartemennya sambil menikmati nasi goreng buatannya tadi. Kini, dia ada di dalam apartemen Jeonghan. Meminta izin darinya untuk bisa jalan-jalan bersama Wonwoo.

"Trus nanti kakak bilang apa sama Joshua, dek?" ucap Jeonghan. Jeje memasang wajah memohonnya sedari tadi. Namun, Jeonghan abaikan karena ia sudah di amanatkan oleh Joshua untuk melarang Jeje bepergian, kecuali jika mendapat izin dari Jeonghan.

"Ya, kakak kasih alesan apa gitu. Sayang, lho, temen Jeje udah dateng pagi-pagi ngajakkin jalan! Kan, kasian kalo disuruh pulang lagi." Jeje bahkan sudah memainkan matanya. Dia tahu, senjata andalan untuk Jeonghan.

"Nggak."

Jeje mengerucutkan bibirnya. Dia melirik ke arah Sanha, meminta bantuan. Sanha hanya mengangkat bahunya. Dia mengerti bagaimana sifat kakaknya.

"Rayu lagi," Sanha berbisik memberikan kode.

Jeje berpikir sejenak. Akhirnya, ada sebuah lampu di atas kepalanya. "Kak Jeonghan, nanti Jeje beliin pizza deh!"

"Kakak juga mampu beli sendiri."

"Pizza yang di deket jalan raya itu, lho, kak! Yang di sebelah tokonya tante Irene. Tau, kan?" Jeje menaikkan kedua alisnya, menggoda Jeonghan.

Akhirnya, Jeonghan mengerti. Ia meneguk kasar salivanya. Sudah lama ia menginginkan pizza dari restoran itu. Restoran pizza yang terletak di sebelah toko kelontong milik Irene. Jeonghan sangat menyukai pizza disana. Namun, salah satu karyawan disana membuat Jeonghan tergidik.

Bagaimana tidak, ada seorang karyawan laki-laki yang hobi menggoda Jeonghan. Padahal, ia tahu kalau Jeonghan laki-laki. Salahkan saja penampilannya yang tampan namun kelewat manis itu. Banyak orang yang memang tertipu oleh Jeonghan. Karena itu, Jeonghan jarang pergi ke restoran pizza itu.

"Call, kakak mau!"

===

Jeje berkali-kali mengusap wajahnya, mencubit pinggangnya, bahkan menampar pipinya. Menatap sesosok sempurna di depannya. Dengan senyum manis yang masih terekam jelas ketika sosok itu berdiri di depan apartemennya pagi tadi.

Gila!

Wonwoo benar-benar tampan.

Jeje menelan salivanya. Dia bahkan mulai mengontrol detak jantungnya yang sedari tadi bergemuruh. Bahkan, dia masih asyik melirik Wonwoo yang berjalan di sebelahnya. Jeje hampir mengumpat begitu Wonwoo mulai menyentuh punggung tangannya, kemudian menggenggamnya.

Sial.

Jeje mau mati berdiri sekarang juga.

"Eh, maaf, Je! Soalnya kita mau nyebrang," pekik Wonwoo. Tapi, dia masih belum melepas genggamannya.

"Iya gapapa, seneng malah."

Krik.

Bodoh. Jeje menggerutu di dalam hatinya. Dia mulai sesak napas begitu Wonwoo membalas perkataannya dengan senyumnya sambil menggaruk kepalanya dengan tangannya yang lain.

Tolongin gue, plis. Gue mau mati aja rasanya, batin Jeje.

===

Suasana bioskop yang ramai, tiba-tiba membuat Jeje sedikit tergidik. Dia sukses membuat banyak pasang mata yang menatap ke arahnya. Lebih tepatnya, ke arah Wonwoo yang ada di sebelahnya.

Ciao Wonwoo [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang