이십일

2.9K 616 39
                                    

"Udah sampe, Han?" tanya Joshua di seberang. Dia sedikit memelankan kecepatan mobilnya begitu mendapat telepon dari Jeonghan. Lagi-lagi, dia mendapat telepon dari sekolah dan mendapat kabar terbaru tentang adiknya.

"Udah masuk ke apartemen tadi. Lo udah nyampe?" Jeonghan membuka pintu kafenya. Begitu mengantarkan Jeje ke apartemen, dia langsung mengarahkan mobilnya menuju kafe.

"Gue lagi di mobil. Masih lama nyampenya." Joshua terkekeh. "Adek gue gimana?"

"Dia lagi punya masalah sama temennya, ya, Josh?" tanya Jeonghan hati-hati.

Joshua menghela napasnya pelan. "Tuh anak emang bermasalah mulu sama temennya."

"Bukan itu maksud gue, bego! Tadi, dia kayak aneh gitu pas ada temen cowoknya nyamperin."

"Siapa namanya?"

Jeonghan mengingat-ingat kembali saat dimana dia menanyakan nama Wonwoo pada satpam sekolah. "Wonwoo kalo nggak salah."

Jeonghan bisa mendengar helaan napas berat dari seberang. Joshua enggan menyahuti perkataan Jeonghan lagi dan langsung memutuskan teleponnya sepihak. Jeonghan sedikit terkejut dengan Joshua. Namun, dia berpikir positif tentang Joshua. Mungkin saja, sinyal tidak mendukung saat ini.

Joshua menaikkan kecepatan mobilnya. Dia semakin khawatir pada kondisi adiknya ketika mendengar nama Wonwoo.

"Wonwoo lagi, maunya apa sih, anak itu?"

===

Wonwoo membuka pagar rumahnya dengan langkah gontai. Dia terdiam sejenak sambil memandangi rumah yang sudah dia tempati sejak dia masih kecil. Rumah yang menjadi awal kebahagiaan dan awal kesedihan baginya.

Dia memandangi kursi taman kecil yang kini terlihat kusam di teras rumahnya. Kursi yang selalu dia duduki bersama ibunya menunggu kepulangan ayahnya dari kantor.

Wonwoo tersenyum kecut. Ya, itu kejadian empat belas tahun yang lalu. Saat Wonwoo kecil berusia lima tahun. Dan saat dimana juga, dia ditinggal oleh ibunya yang sampai saat ini, Wonwoo tidak tahu bagaimana keadaannya.

Sejak kecil, dia diasuh oleh bibinya, yang juga ibu dari Seulgi. Sampai akhirnya, dia memutuskan untuk menyendiri di rumahnya. Wonwoo selalu sendirian, tanpa ditemani ayahnya yang gila akan pekerjaan.

Wonwoo sangat membenci ayahnya. Wonwoo benci saat teman-temannya mengejeknya bahwa dia tidak punya ibu. Wonwoo benci saat dia harus duduk sendiri sejak sekolah menengah pertama. Wonwoo tidak pernah berbicara apapun jika itu tidak penting. Itulah yang menyebabkan ketidakpercayaannya terhadap dirinya sendiri. Wonwoo benar-benar sudah membenci hidupnya.

Ponselnya berdering. Dia sudah menebak, pasti ayahnya lagi yang mencoba menghubunginya. Dia sengaja tidak mengangkat puluhan panggilan dari ayahnya. Karena Wonwoo yakin, itu bukanlah hal yang penting.

Wonwoo langsung mengangkat telepon begitu dia membaca nama yang tertera di sana. Seulgi.

"Lo nggak ngangkat telepon ayah lo lagi, ya?" bentak Seulgi. Wonwoo menjauhkan ponsel dari telinganya.

"Kalo lo cuma mau ngomongin itu, gue tutup!"

"Lo mau ketemu sama bunda lo?"

Hening.

Udara dingin kini sudah menyapu wajahnya. Tubuh Wonwoo langsung membeku. Otaknya masih mencerna ucapan Seulgi dalam-dalam.

"Mau ketemu nggak, Wonwoo?"

Wonwoo mengeratkan genggaman pada ponselnya. "Mau."

"Nanti gue kirimin alamatnya. Tapi, lo harus janji sama gue-" ucapan Seulgi terpotong. Seulgi sedikit menggantungkan ucapannya sehingga Wonwoo langsung menyela.

Ciao Wonwoo [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang