02.

430 87 5
                                    

  Suara tuts - tuts piano yang terdengar indah ditelinganya mengalun dengan lembut membuat suasana di Cafe itu semakin terasa teduh dan klasik. Ditambah dengan aroma - aroma makanan manis yang terasa menyenangkan ketika dihirup. Apalagi jenis - jenis kopi dan teh yang aromanya menyeruak saat dibuat.

   Sebuah Cafe kecil dengan desain klasik dan juga menenangkan karena kursi yang digantikan dengan tempat duduk bantalan yang unik ketika diduduki. Disinilah lima orang gadis yang tengah bercanda ria disana.

   Berkumpul dimalam hari disaat redanya hujan adalah kesukaan Yein.

   "Udah lama ya kita nggak ngumpul kayak gini" Yein tersenyum lalu meneguk minumannya.

   "Gimana disana? Seru gak, In?" Pertanyaan yang ditujukan oleh Yein membuatnya menoleh sambil mengangkat kedua alis.

   "Hm? Biasa aja kok." Sinb terkekeh lalu mengelus kepala Yein dengan sayang.

   "Biasa apanya? By the way, Yein kita udah gede loh! Dia lagi suka sama Wooseok temen sekelasnya!!" Yein menutup mulut Sinb yang kelewat bocor dan mengupat pelan pada gadis itu. Dan teman - temannya hanya tertawa melihat tingkah kedua sahabat yang bercanda ria itu.

   Gadis dengan mata bulat berbinar itu menatap Yein dengan penuh minat, lalu detik selanjutnya ia tersenyum. Ia memberi sebuah surat kecil berwarna biru muda kepada Yein.

   "Punya lo 'kan?" Yein menoleh lalu meraih surat biru muda itu dari tangan gadis bernama Cheng Xiao itu.

   "Kamu dapet darimana?" Tanyanya. Cheng Xiao tersenyum kecil, merasa bersalah. Ia menggaruk tengkuknya. "Udah lama mau ngasih, tapi lu selalu pergi duluan. Pas kita udah pisah sekolah, susah banget ketemu sama lu. Jadinya gua simpan sampe kita ketemu." Yein mengedipkan matanya berkali - kali. Mencari celah kebohongan yang tercetak dibibir Cheng Xiao, namun nihil. Gadis itu sama sekali tidak menyembunyikan sesuatu.

   "Apaan tu, In?" Tanya Sinb. Yein menggeleng, namun matanya masih menatap Cheng Xiao.

   "Bukan apa - apa."

   Sinb mengangkat kedua alisnya lalu mencomot daging yang ia pesan tadi. "Kalo pake soju enak nih makannya" Dahyun yang sedaritadi memerhatikan, terkekeh lalu menjitak kepala Sinb.

    "Gegayaan pake soju, minum susu aja masih mual, gimana lagi kalo minum soju?" Celetukan itu dibalas dengan cengiran Sinb, sedangkan yang lainnya terkekeh melihat mereka.

    "Kalian gimana selama di asrama? Enak gak?"

   Halla dan Cheng Xiao saling bertatapan lalu menggeleng lemah. Ekspresi mereka menggambarkan bahwa mereka tertekan disana.

  "Hell no, nggak ada cowok, nggak ada umpatan, nggak ada hal yang menantang and seriously, Xiao, lanjutin, gua gasanggup."

   "Nggak ada hape waktu belajar, mesti tegak kalo mau makan dan kalo mandi nggak boleh lebih dari 10 menit."

    "Dan lebih parahnya, setiap kami ngebuat masalah, kalo pointnya udah sampe 10, kami di skors. Lu ga mikir gimana terkekangnya kami disana?" Dahyun yang lagi ngunyah makanannya mengisyaratkan mereka untuk diam lalu ia mengerutkan keningnya.

    "Kayanya itu bukan asrama deh, lebih tepatnya kaya..." Yein dan Sinb tahu kemana arah pembicaraan mereka. Seketika mata Yein membelak terkejut. Begitupun Sinb.

    "LO MIKIR SAMA KAN KAYA YANG GUA PIKIRIN!"

    "Seriously, sekolah kepribadian?" Sambung Yein.

    "IYA IN! LU KEBAYANG GAK LU DIMASUKIN KE TEMPAT KAYAK GITUU" Yein terkekeh pelan, sedangkan Sinb sudah tertawa lebar.

   Bagaimana mungkin kedua gadis liar seperti Cheng Xiao dan Halla ini disuruh orangtua mereka untuk masuk ke sekolah yang mereka kira hanya sebatas asrama putri, ternyata adalah sekolah kepribadian yang mewajibkan mereka memiliki etika tinggi? Yein dan Dahyun saja tidak habis pikir bagaimana gadis secerdas mereka bisa terjebak di omongan orangtua mereka sendiri.

   "Mau bilang nyesel gimana, protes malah dimarahin, netap malah tertekan. Serba salah tau gak idup disana!" Dahyun, Yein dan Sinb hanya membalasnya dengan tawa bahagia mereka. Dan membuat kedua gadis itu mendengus kesal.

   "Ahahaha nggak abis pikir aja gitu..." Yein menghentikan tawanya sambil meneguk minumannya. Lalu matanya beralih menatap Cheng Xiao. Dengan senyuman manis, gadis itu meraih tangan Cheng Xiao sambil membisikkan sesuatu.

  

"Pulang nanti bareng ya? Ada yang mau aku omongin."



-




   "Kamu udah tau lama?" Yang ditanya hanya diam sambil memerhatikan jala yang sedikit berair karena hujan. Gadis bermata bulat itu menghela nafas lalu menggenggam tangan Yein dengan wajah memelas.

   "Gua ga maksud buat nyuri tu surat, seriusan In. Waktu lu pulang lu ngejatuhin surat itu, jadi gua ambil. Awalnya gua gamau baca, tapi ntah kenapa rasa penasaran gua lebih mendominasi jadi ya..." Cheng Xiao tak berani menatap pemilik mata teduh itu. Ia hanya menghela nafas gusar lalu lagi - lagi menggenggam tangan Yein.

   "Gua ga maksud, In."

   "Aku cuma nanya kamu udah tau lama atau baru - baru aja. Ternyata udah lama.." Yein tersenyum tipis. Sedangkan yang ditatap menahan tangisnya.

   "Gua gatau kalo lu kaya gitu." Yein melepaskan tangan Cheng Xiao dari tangannya. Gadis itu lagi - lagi tersenyum kecil. Yang nyaris tak terlihat.

   "Nggak perlu kaya gitu. Cukup kamu yang tau dan kalo kamu nyebar, aku nggak tau harus gimana." Gadis itu menghela nafas pelan lalu menatap sendu mata Cheng Xiao yang tengah berair.

   "Makasih udah mau keeping. Aku kira kamu biang gosip awalnya. Ternyata nggak, hehe" gadis itu memeluk Cheng Xiao lalu menepuk punggungnya.

   "In, gua gatau lu ngelakuin hal sejauh itu... gua juga ga maksud unt--"

   "Aku bukan cewek yang harus dikasianin." Ucapan itu seakan menjadi pukulan yang sangat keras untuk Cheng Xiao. Gadis yang berasal dari China itu mengerjapkan matanya.

   "Tugas kamu cuma jaga rahasia ini. Selebihnya, aku yang bakalan ngurus sendiri." Senyuman itu tersemat manis dibibirnya. Menyirarkan memang tidak pernah ada luka disana.

   Cheng Xiao menatapnya dalam. Lalu air matanya jatuh. Melihat betapa mirisnya kisah hidup gadis tenang ini.

   "Aku bersyukur kamu nggak nyebar."

   "Dan sekali lagi makasih ya udah ngejaga."

To Bad but So GoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang