Yogi Stories (Part 1)

97 6 2
                                    

Yogi menaiki bus dari makam neneknya yang dimakamkan di daerah kelahiran sang nenek, yaitu Bogor. Tadinya, ia ingin menaiki kereta listrik. Tapi, ia sudah terlambat. Karena ia terlalu asyik berbincang-bincang  dengan sang nenek hingga lupa waktu. Dan, kereta berikutnya masih cukup lama. Itulah sebabnya Yogi naik bus.

Di dalam bus, Yogi terpaksa berdiri dikarenakan semua tempat duduk sudah penuh. Maklum saja, ia menaikinya pada jam kerja.

Bus berhenti sejenak, karena ada penumpang hendak naik. Penumpang itu adalah seorang nenek-nenek yang berusia sekitar tujuh puluh tahun. Nenek-nenek itu tampak mengenakan kerudung serta kebaya lusuh. Nenek itu tampak kebingungan karena tak menemukan tempat duduk. Nenek itu pun berdiri di depan Yogi.

Yogi pun menepuk bahu pemuda yang duduk di sebelahnya. Pemuda itu menoleh ke arah Yogi.

"Lo harus pindah dari situ, biar nenek ini bisa duduk," ucap Yogi dengan wajah datarnya. Namun, pemuda itu justru marah-marah.

"Emang lo siapa berani perintah-perintah gue!?" seru pemuda itu. Si nenek itu pun menenangkan Yogi.

"Sudahlah, nak, tidak apa-apa. Nenek berdiri saja," ucap nenek tersebut dengan senyuman.

Seperti biasa, Yogi menjawab dengan santai, namun menyakitkan untuk didengar. Sementara sang nenek menatap mereka berdua.

"Kalau lo nggak mau pindah, lo tahu kan akibatnya? Orang-orang yang ada di dalam bus ini ada sekiar 30 orang, sedangkan lo cuma sendiri," Yogi pun berbisik ke pemuda itu.

"Bisa-bisa, ketika bus ini berhenti, lo cuma tinggal nama," bisik Yogi. Bisikan Yogi benar-benar maut, sehingga pemuda itu pun langsung memutuskan turun meski dalam hatinya mengomel.

"Duduklah, Nek," ucap Yogi. Nenek itu tersenyum, dan berterima kasih kepada Yogi.

Kini, tiba saatnya kernet menghampiri para penumpang untuk menagih pembayaran. Yogi pun mengeluarkan dompetnya dan mengambil uang seratus ribu.

"Aku membayar untuk dua orang. Aku, dan juga nenek ini," ucap Yogi kepada kernet itu sembari menunjuk si nenek.

"Jangan, Nak. Nenek daritadi sudah merepotkanmu," ucap nenek itu. Yogi pun menjawab.

"Nggak apa-apa, nek. Aku mohon, jangan ditolak," sahut Yogi. Akhirnya, nenek itu menuruti perkataan Yogi.

"Sekali lagi, terima kasih, Nak," ujar nenek itu sembari tersenyum. Yogi hanya membalas dengan anggukan.

Beberapa saat kemudian nenek itu turun dari bus. Ketika Yogi melihat nenek itu, ia jadi teringat dengan neneknya sendiri yang meninggal sekitar satu tahun lalu karena penyakit kanker hati. Yogi sangat dekat dengan neneknya. Karena, sejak kecil ia diurus oleh neneknya.

Yogi juga cukup akrab dengan ibunya meskipun tak sedekat seperti ia dengan neneknya. Baginya, sang nenek adalah orang yang sangat berharga di dunia ini. Oleh sebab itu, Yogi merasa sangat kehilangan ketika sang nenek meninggal. Bahkan, air matanya sudah habis hingga ia tak bisa menangis lagi.

Sejak kecil, Yogi sudah bersikap dingin kepada semua orang, kecuali neneknya. Karena, sang nenek seringkali mengatakan lelucon yang selalu berhasil membuat Yogi tertawa. Tapi, sekarang ia sangat sulit untuk tertawa. Bahkan saat teman-temannya mengeluarkan lelucon, Yogi hanya tersenyum dengan sangat tipis.

Banyak perempuan yang enggan mendekati Yogi. Bukan karena ia jelek, ia justru tampan dan manis. Tak ada kekurangan dengan fisiknya. Namun, para perempuan itu enggan mendekati Yogi karena sifat Yogi yang terlalu dingin dan raut wajahnya yang sangat monoton, hanya menunjukkan ekspresi datar. Tidak ada ekspresi lainnya. Seandainya Yogi bisa tersenyum sedikit saja, ia pasti sanggup membuat lawan jenisnya pingsan.

*****

Yogi menonton sebuah berita di TV. Di dalam berita itu disebutkan bahwa tim dokter bedah telah berhasil mengoperasi seorang pasien pengidap kanker otak. Entah kenapa, Yogi justru muak mendengarnya.

"Menggelikan. Paling-paling bentar lagi pasiennya mati," ucap Yogi. Ia teringat dengan ayahnya yang terlihat frustasi sejak kematian nenek Yogi yang notabene adalah ibu dari ayah Yogi. Ayah Yogi menghabiskan waktu sepanjang hari di dalam kamar nenek Yogi. Yogi melihat ke arah kamar neneknya yang berada di belakang tempat ia menonton TV.

"Dasar pembunuh," gumam Yogi.

*****

Yogi telah sampai di rumah Juni. Member The Seven Musketeers hendak berkumpul lagi di rumah Juni. Sebenernya ini masih jam sekolah, tapi mereka membolos karena bosan sekolah.

Yogi datang ke rumah Juni sembari membawa sesuatu yang dibungkus dengan amplop berwarna cokelat. Ia melihat, Juni sibuk sekali memasak Mie Aceh. Ia pun menghampiri Juni dan memberikan amplop itu langsung ke tangan Juni.

"Nih, buat loe," ucap Yogi. Tentu saja Juni sangat bingung dengan Yogi.

"Apa ini?" tanya Juni. Yogi menjawab.

"Itu duit lima juta," sahut Yogi dengan singkat. Juni sangat kaget mendengarnya.

"Gi, lo nggak perlu kayak gini. Gue nggak bisa terima ini," ucap Juni. Ia benar-benar merasa tidak enak dengan Yogi.

"Bukannya lo kemarin bilang kalau lagi butuh tambahan dana buat buka usaha? Lo bilang kalau lo nggak bisa sewa tempat gara-gara duit lo kurang kan?" Yogi dengan tenangnya berkata sembari duduk di kursi.

"Tapi, gue nggak bisa terima ini, Gi," sahut Juni. Ia hendak mengembalikan uang itu kepada Yogi.

"Kalau dibalikin, gue bakal keluar dari The Seven Musketeers," Yogi mengancam seperti itu kepada Juni. Tak ada pilihan lain, Juni pun menerimanya.

"Thanks, Gi," ucap Juni dengan senyuman. Yogi pun menjawab.

"Jangan bilang sama yang lain. Gue nggak mau mereka tahu," sahut Yogi. Ia pun melanjutkan kata-katanya.

"Duit itu harus cukup, gue cuma bisa bantu itu. Kalau udah nemu tempatnya, bilang ke gue. Biar gue bisa numpang tidur di sana," lanjutnya. Juni pun tersenyum dan menyetujui persyaratan dari Yogi. Bagaimanapun juga, Yogi adalah orang yang sangat baik dan perhatian meskipun dia bersikap dingin kepada semua orang dan suka tidur di segala tempat dan di segala waktu, begitulah Yogi.

Yogi sering tidur di berbagai tempat, ia tidak peduli meskipun itu di tempat umum. Dia seperti itu dikarenakan ia tak bisa tidur di rumahnya. Sebab, ia selalu mendengar suara ayahnya. Entah itu berbicara sendiri, menangis, bahkan tertawa sendiri. Yogi benar-benar merasa terganggu. Namun, ia tak bisa marah-marah kepada sang ayah. Percuma ia marah-marah, karena sang ayah memang sudah tidak waras.

***** TBC *****

You Must Come Back!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang