Yogi pergi bersama dengan Jiro ke Dufan. Sebenarnya, Jiro yang mengajak Yogi pergi. Karena, Jiro ingin melihat perayaan bernuansa Jepang yang juga diramaikan para cosplayers. Sebenarnya, Jiro ingin mengajak semua member The Seven Musketeers. Tapi, hanya Yogi yang bisa menemaninya.
Sebenarnya, Yogi tidak begitu mengerti dengan perayaan itu. Yang ia lihat hanyalah orang-orang yang menggunakan make up dan kostum aneh. Bagi Yogi, apa menariknya? Tapi, Jiro justru sangat menikmatinya.
"Woah... ada Kaito Kid, Conan, Shinichi, Ran, Naruto, Sasuke, Kakashi, Luvi Ackerman, Mikasa. Wah... banyak banget!" Jiro begitu girang melihat tokoh-tokoh anime kesayangannya ada di sana. Sedangkan Yogi melihat Jiro dengan pandangan heran.
"Gue mau foto sama mereka, tapi gimana ya? Hp gue kameranya buram," ucap Jiro. Yogi pun mengambil smartphonenya dari saku celananya.
"Pake Hp gue aja," ujar Yogi. Tentu saja, itu membuat Jiro semakin girang.
"Hore...! Makasih, Bang!" seru Jiro. Yogi pun memotret Jiro dengan banyak cosplayer. Jiro terlihat sangat senang. Ia sangat puas hari ini.
Karena kelaparan, mereka akhirnya berhenti di kafe.
"Makasih banget ya, Bang. Gue seneeeengggg banget hari ini!" seru Jiro dengan raut wajahnya yang terlihat begitu berlebihan bagi Yogi. Yogi hanya menunjukkan cengirannya.
Inilah yang Jiro sukai dari Yogi. Meskipun Yogi begitu dingin, tapi ia orang yang sangat royal. Bahkan, ia seringkali memberikan apapun yang dimiliki kepada semua anggota The Seven Musketeers secara cuma-cuma. Yogi seringkali menjadi tempat mencurahkan hati bagi teman-temannya itu. Meskipun Yogi tak bisa memberikan solusi dengan ucapan, ia seringkali melakukannya dengan tindakan.
Sebelum pesanan datang, Jiro pergi menuju toilet. Yogi menunggu Jiro datang sembari memainkan smartphonenya.
Beberapa menit kemudian, pesanan mereka telah datang. Yogi melihat jam tangannya, kenapa Jiro tak kunjung selesai? Sudah lima belas menit berlalu sejak Jiro ke toilet. Yogi pun menyusul Jiro ke toilet. Begitu sampai toilet, rupanya sangat sepi. Dari beberapa bilik, hanya satu bilik toilet yang pintunya tertutup.
"Pasti Jiro ada di sana," pikir Yogi. Ia mengetuk pintu itu. Dari luar bilik, ia mendengar Jiro muntah-muntah di dalam sana.
"Ro, lo kenapa?" tanya Yogi. Namun, tak ada jawaban. Hanya suara itu yang ia dengar. Itu membuat Yogi khawatir, ia takut jika Jiro sakit. Namun, Yogi mencoba untuk tetap tenang.
Tak lama kemudian, Jiro pun keluar. Yogi melihat Jiro dengan dingin.
"Lo sakit?" tanya Yogi. Ia melihat wajah Yogi yang begitu pucat. Namun, Jiro tetap tersenyum.
"Gue nggak apa-apa kok, Bang. Cuma pusing aja," sahut Jiro dengan senyuman khasnya.
"Ya udah, kita pulang aja. Biar lo bisa istirahat," Yogi mengajak Jiro pulang. Ia benar-benar kasihan melihat Jiro yang begitu pucat seperti mayat hidup.
*****
Pada pagi hari, Yogi duduk di ruang makan bersama dengan ibunya. Sang ibu tampak sibuk mengambil nasi dan lauk untuk Yogi.
"Yogi, panggil ayahmu. Biar bisa sarapan bersama-sama," ujar ibu Yogi. Namun, Yogi justru menolak.
"Nggak mau," sahut Yogi dengan entengnya. Ibu Yogi terdengar menghela napas panjang, ia berhenti sejenak dari aktifitasnya.
"Kamu masih marah sama ayahmu? Kamu masih menganggap ayahmu sebagai pembunuh nenekmu?" tanya sang ibu. Yogi menatap ibunya dengan tajam.
"Memang benar kan kalau ayah pembunuh? Ayah itu kan dokter bedah profesional yang nggak pernah gagal. Tapi, kenapa saat melakukan operasi pada nenek justru gagal!?" Yogi menjadi sangat emosi. Ia selalu seperti ini jika bersangkutan dengan neneknya.
Nenek Yogi meninggal beberapa hari setelah melakukan operasi. Dan operasi itu dilakukan oleh ayah Yogi. Yogi menganggap ayahnya sangat teledor. Bagaimana bisa ayahnya melakukan kesalahan untuk nenek Yogi? Itulah sebabnya, Yogi mengira bahwa sang ayah sengaja membunuh neneknya.
"Kamu harus tahu mengenai ini. Apa kamu tahu jika peralatan-peralatan canggih di beberapa rumah sakit ternama diam-diam ditukar dengan peralatan yang harganya jauh lebih murah?" sang ibu menatap Yogi. Sang ibu mencoba untuk tetap tenang, meskipun dalam hatinya ia sangat sedih melihat sang anak begitu membenci ayahnya. Yogi terdiam menatap ibunya. Ia sama sekali tak mengerti dengan perkataan ibunya.
"Orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu sengaja menukarnya dengan barang rongsokan yang terlihat sangat mirip dengan aslinya, agar bisa mendapatkan keuntungan berkali-kali lipat. Ayahmu bahkan tak menyadari soal itu,"
"Korupsi?" pikir Yogi. Ia memilih untuk melanjutkan mendengar cerita ibunya.
"Beberapa pihak justru lebih memilih untuk bungkam dengan alasan agar tak meresahkan masyarakat. Padahal, mereka menyembunyikan itu agar masyarakat tak ada yang curiga. Polisi pun juga sudah angkat tangan, karena mereka sangat sulit menemukan pelakunya," lanjut sang ibu.
"Ayahmu baru mengetahui masalah itu setelah nenek meninggal. Itu sebabnya, ia sangat terpukul," ibu Yogi menghela napasnya yang begitu berat.
Ayahnya saja tak mengetahui masalah itu, apalagi Yogi? Ia merasa sangat bodoh. Ia menyalahkan diri sendiri, kenapa ia bisa sebodoh itu? Kenapa ia tak mencoba mencari tahu terlebih dahulu mengenai masalah di balik kematian neneknya?
"Ayahmu sengaja memberimu nama Hanya Yogi. Karena, hanya kamu yang bisa ia andalkan, hanya kamu yang bisa ia percaya, dan hanya kamu yang menjadi harapan di keluarga ini," kata ibu Yogi. Yogi merasa sangat bersalah, ia menuduh ayahnya tanpa bukti. Ia hanya bisa menyalahkan diri sendiri.
Yogi mencari tahu mengenai korupsi peralatan rumah sakit itu. Tapi, ia justru menemukan berita bahwa ada seorang penderita kanker yang baru saja selesai melakukan operasi. Namun, pasien itu justru meninggal tadi malam karena pelayanan rumah sakit yang tidak maksimal. Yogi sangat kaget sekaligus merasa sedih membaca berita itu. Kenapa kejadian ini persis seperti yang terjadi kepada neneknya?
Tanpa banyak bicara, Yogi langsung menemui sang ayah di kamar nenek. Ia sangat ingin meminta maaf. Namun, Yogi tidak yakin, apakah sang ayah akan memaafkannya? Apakah dengan permintaan maaf ini bisa mengembalikan ayahnya seperti dulu? Tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain minta maaf.
Yogi melihat sang ayah tengah duduk di kursi goyang neneknya. Ayah Yogi terlihat begitu menyedihkan dengan penampilan yang sama sekali tak terawat.
Melihat ayahnya, Yogi tak kuasa menahan air matanya. Ia bersimpuh di pangkuan sang ayah. Ia menangis sesenggukan di pangkuan ayahnya.
"Ayah, maafkan aku..." tak ada kata-kata lain yang bisa Yogi ucapkan selain kata-kata maaf. Berulang kali, Yogi mengucapkan kata-kata maaf. Ia benar-benar menyesal karena telah menganggap ayahnya sebagai pembunuh.
Yogi merasakan sebuah tangan membelai rambutnya dengan sangat lembut. Yogi mengangkat kepalanya. Rupanya, itu adalah tangan ayahnya. Tak ada kata-kata terucap dari bibir ayah Yogi. Pandangan sang ayah lurus ke depan, namun kosong. Sang ayah terus membelai rambut Yogi, hingga Yogi tertidur di pangkuan ayahnya. Selama satu tahun setelah kematian neneknya, baru kali ini Yogi bisa tertidur dengan nyenyak di rumahnya...
***** TBC *****
KAMU SEDANG MEMBACA
You Must Come Back!
Teen FictionBercerita tentang 7 remaja Bad Boy yang membentuk squad. Masing-masing dari mereka memiliki permasalahan hidup. Mulai dari cinta, hingga keluarga. Semua dirangkum dalam YOU MUST COME BACK!