Flashlight

130 11 13
                                    

Hari ini ujian semester untuk tingkat SMA tengah diselenggarakan. Termasuk SMAN Agustus 2, tempat para anggota The Seven Musketeers bersekolah. Mereka pun mengikuti ujian dengan berbeda-beda. Remy yang terlihat begitu tenang mengerjakannya. Karena, ia adalah murid paling pintar di kelas. Juni yang terlihat sangat gigih mengerjakannya untuk membuktikan kepada Ayah Alea, bahwa ia juga bisa setara dengan Alea. Dan juga, agar ia tidak mendapatkan ujian remidi, Yogi yang mengerjakannya sembari memejamkan mata. Jika ia tahu jawabannya, barulah ia membuka matanya. Hassan yang terlihat sama gigihnya dengan Juni. Tapi, daripada disebut gigih, lebih tepat lagi kalau Hassan terlalu berisik dalam mengerjakan soal hingga membuat pengawas geleng-geleng kepala. Ia sudah sangat hafal dengan kelakuan mantan ketua OSIS itu.

Sedangkan di kelas dua, Vicky terlihat tak peduli dengan nilai. Kalau ia tahu jawabannya, pasti segera ia jawab. Tapi, jika ia tidak tahu, ia pasti menjawab asal-asalan. Yang penting cepat selesai, dan dia bisa segera bekerja agar bisa bertemu dengan Lisa. Sedangkan Jiro, ia mengerjakan soal sembari menyumbat hidungnya dengan sarung tangan agar mimisan yang seringkali ia alami secara tiba-tiba tidak menetes di kertas ujiannya. Penglihatannya semakin buruk, ia tidak bisa membaca soal itu dengan jelas. Karena, ia merasa kertas soal dan kertas ujian ini ada banyak. Pendengarannya makin hari makin berkurang. Dokter bilang, pendengarannya hanya bisa berfungsi sekitar 50%, dan itu akan semakin berkurang seiring berjalannya waktu. Tangannya semakin sulit digerakkan, hingga membuat tulisannya kacau balau. Bahkan, kakinya pun juga sudah mulai sulit untuk digerakkan.

Sedangkan di kelas satu, Juki sama sekali tidak bisa konsentrasi. Ia memikirkan hubungannya dengan sang ayah yang semakin buruk. Tapi, di sisi lain, ia juga memikirkan Jiro. Ia merasa bahwa dirinya sangat tidak adil karena telah menjauhi Jiro selama beberapa hari ini. Ia memang kecewa dengan Jiro. Tapi, disaat-saat sakit yang dialami oleh Jiro semakin parah, ia malah menjauhi Jiro.

"Sahabat apa'an gue ini?"

*****

Bel pulang sekolah telah berbunyi, Juki berlari menuju kelas Jiro dan Vicky. Ia pun melihat Jiro dan Vicky hendak berjalan menuju luar kelas. Sebelum mereka pergi, Juki pun menghadang Jiro. Jiro dan Vicky tentu sangat heran melihat sikap Juki.

"Ggg... gue... gue mau minta maaf. Tolong, maafin gue, Bang Jiro!" seru Juki. Ia tahu bahwa pendengaran Jiro mulai berkurang. Maka dari itu, ia berbicara dengan keras kepada sahabatnya itu. Jiro tersenyum, ia bisa mendengar ucapan Juki.

"Nggak apa-apa, santai aja," sahut Jiro sembari menepuk-nepuk bahu Juki. Vicky yang melihat sikap aneh keduanya pun mengernyitkan dahi sembari menggaruk-garuk ubun-ubunnya yang tidak gatal.

"Lo berdua kenapa sih?" tanya Vicky. Juki menerobos ke tengah-tengah Vicky dan Jiro, ia merangkul bahu kedua sahabatnya itu. Juki pun tersenyum.

"Nggak, gue kemarin abis marahin Bang Jiro, gara-gara Hp gue dijatuhin sama dia sampai retak," sahut Juki. Ia terpaksa berbohong kepada Vicky. Namun, ia tidak tahu, sampai kapan ia bisa terus menyembunyikan penyakit Jiro?

*****

Vicky dan Remy akhirnya tiba di rumah. Mereka sangat lelah setelah seharian ini menyelesaikan tiga mata pelajaran untuk ujian hingga membuat mereka malas ganti baju. Saat mereka sedang asyik merebahkan tubuh, tiba-tiba mereka mendengar ada orang yang mengetuk pintu rumah Vicky. Remy pun berjalan menuju ruang tamu untuk membukakan pintu. Disaat pintu itu sudah ia buka, Remy sangat terkejut melihat melihat kedatangan ibunya. Ada yang berbeda dari ibunya, pakaiannya tidak se-glamour dulu. Selain itu, ibunya tak terlihat menggunakan make up. Ia terlihat lebih sederhana, namun tetap terlihat cantik.

Remy mempersilakan ibunya masuk, sedangkan Vicky sedang sibuk menyiapkan minuman untuk Ibu Remy. Sang ibu bercerita bahwa ia telah mengundurkan diri dari dunia model, ia juga telah membubarkan agensinya. Karena, ia sangat ingin memperbaiki keadaan keluarganya. Lalu, tiba-tiba ibunya bertekuk lutut di hadapan Remy sembari menangis. Tentu saja Remy jadi sangat bingung.

"Remy, Mama ke sini untuk meminta maaf padamu. Mama sangat bersalah padamu, mama benar-benar minta maaf karena telah menjadi ibu yang buruk buat kamu," melihat ibunya yang seperti ini, Remy sangatlah tidak tega. Memang benar bahwa hatinya terluka karena orang tuanya. Tapi bagaimanapun itu, Remy tetaplah anak mereka.

"Ma, mama nggak perlu kayak gini. Aku udah maafin kok," sahut Remy. Ia berusaha untuk tidak menangis. Tapi, usahanya tidak berhasil. Air matanya mengalir setetes demi setetes di pipinya.

Vicky pun mengantarkan minum untuk Ibu Remy. Ia jadi heran, kenapa suasana berubah menjadi haru? Rasanya kedatangannya sekarang tidak tepat. Tapi, sebagai tuan rumah yang baik hati, ia harus menemani tamunya. Ibu Remy pun mengajak Remy pulang ke rumahnya sendiri. Namun, Remy menolak ajakan itu.

"Maaf, Ma. Aku nggak bisa. Aku merasa jauh lebih nyaman sama diriku yang sekarang,"

"Memang, kehidupanku yang sekarang jauh lebih keras. Kalau ingin sesuatu, harus kerja dulu biar dapat uang. Bahkan, aku juga harus berhemat sampai gajian tiba. Tapi, melalui kehidupan inilah aku bisa belajar banyak hal, aku bisa mandiri, dan aku jadi orang yang tangguh. Maka dari itu, aku nggak bisa pulang, Ma," sahut Remy sembari tersenyum. Ibu Remy sedikit kecewa. Tapi, ia tak bisa memaksa jika sang anak memang menginginkan itu.

"Kalau begitu, apa boleh mama sering mengunjungimu?" tanya ibunya. Remy pun tersenyum.

"Kalau soal itu, Mama tanya aja ke Vicky. Karena, dia adalah tuan di rumah ini," sahut Remy sembari melirik Vicky. Ibu Remy pun menatap Vicky dengan penuh harapan.

"Boleh, Tan. Tiap hari juga nggak apa-apa. Yang penting, kalau tante ke sini, harus bawa makanan. Kan tahu sendiri kan kalau cowok itu mager banget kalau harus masak? Mau beli di luar juga mager, Tan," sahut Vicky sembari tersenyum memamerkan seluruh giginya. Mendengar perkataan Vicky, Remy langsung mendorong kepala sahabatnya sembari tertawa. Iya, mereka semua tertawa dengan penuh rasa bahagia...

*****

Jiro baru saja mendapatkan hadiah alat bantu dengar dari ayahnya. Ia tersenyum getir, kenapa sekarang ia jadi seperti orang tua? Ia pun memasang alat itu di telinganya dengan susah payah, karena tangannya sudah semakin sulit digerakkan. Begitu selesai, ia pun mencoba untuk mendengarkan lagu di handphone.

Ia mendengarkan lagu dari Jessie J. Yang berjudul Flashlight. Ia memejamkan matanya untuk meresapi lagu itu. Ia menangis. Air matanya mengalir dengan deras. Tapi, bukan tangisan kesedihan yang ia teteskan, melainkan tangisan penuh kebahagiaan dan rasa syukur yang tiada kiranya.

Baginya, tidak apa-apa jika otaknya tak bisa digunakan lagi, penglihatannya dibutakan secara perlahan-lahan, telinganya menjadi tuli secara perlahan-lahan, dan juga tangan dan kakinya perlahan-lahan menjadi lumpuh. Ia tidak apa-apa jika semua bagian tubuhnya mati. Ia sudah lebih kuat daripada dulu. Karena, ia memiliki kedua orang tua dan juga sahabat-sahabat yang sangat baik padanya. Benar, bagi Jiro, mereka adalah orang-orang yang mampu membuatnya menjadi orang yang kuat, mereka mampu menerangi kehidupannya yang gelap. Jiro sangat bersyukur memiliki mereka semua...

***** TBC *****

You Must Come Back!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang