Serpihan

1K 31 20
                                    

"Lebih penting kegiatan ngejomblo bersama kawan daripada berdua dengan Al-Qur'an. Apa bedanya?" Lirih Arqi sinis.

Seketika Maiza berdiri. "Apa kau bilang?"

Antara ekspresi kaget dan tidak senang, ia memandang Arqi di kursi itu.

Kini Arqi terpaksa menatap penuh padanya. Tatapan itu sinis seolah mereka tak pernah lagi jadi kawan.

"Lebih penting kegiatan ngejomblo, pergi dengan kawan cewek maupun cowok daripada berdua dengan Al-Qur'an. Apa bedanya kau dari aku, Za?" Arqi menantang dengan suara keras yang benar-benar kesal. Keras hingga itu seperti berhasil merasuk setiap sendi tubuh Maiza.

Maiza gemetar. Tubuhnya hampir saja melangkah mundur. Namun tangannya berhasil menggapai sandaran kursi taman.

"Arqi, kau..."

"Kau tak pernah memikirkan itu kan?" Arqi memberinya senyuman mengejek. "Kamu tidak pernah pikir itu buruk!".

Bukannya membalas, Maiza justru membuang muka ke arah lain. Ia tidak ingin melihat ekspresi itu dari Arqi.

"Berhenti membicarakan aku, Qi. Kita sedang membicarakan kamu." Ucapnya datar. Suaranya direndahkan, tetapi dia masih berharap Arqi benar-benar tahu dirinya meminta.

"Kau yang mulai, Za!" Arqi mulai emosi, jarinya menunjuk-nunjuk seperti sedang menekan sebuah tombol berkali-kali.

"Aku berusaha menolong!"

"Menolong dari apa?" Kini giliran Arqi yang berdiri.

Maiza tidak bisa menjawab cepat. Lahar terasa naik di ubun-ubunnya. Emosinya ikut kembali. Ia tidak suka diberi suara keras. Biasanya gadis itu pasti akan membalas. Apalagi jika itu hanya Arqi. Namun kali ini, kalimat pada lontaran Arqi itu seperti mengunci rapat mulutnya dan membuatnya...

bingung.

Bayang-bayang kata dan kejadian berkelebatan di kepalanya. Mereka seperti hantu yang sedang menyambar-nyambar sambil berkelahi di atas Maiza.

"Lihat? Kau tidak bisa menjawab kan?" Arqi menunjuk seluruh sosok Maiza dengan telapak tangan.

Arqi menunggu balasan, tetapi Maiza sepertinya tetap saja mematung. Itu membuatnya marah. Namun ia juga merasa tak bisa melampiaskannya lagi.

"Ha!" Akhirnya hanya kata itu yang terlepas dari bibirnya dalam satu hembusan nafas.

Arqi pun duduk, merasa menang dan puas. Matanya berlabuh bersama tarikan dalam. Sandar, lalu mengarahkan muka ke arah yang sebaliknya dari Maiza. Pemuda itu akan menutupi mata dengan telapak, tetapi sesuatu mengarahkannya menopangkan kening. Paha di garis yang sama menjadi alas bagi siku.

Maiza menyaksikan tingkahnya. Dirinya sungguh idak percaya Arqi sanggup melakukan itu. Selama ini, dia tidak pernah...

Arqi tidak pernah...

Entah kenapa, marah yang tadinya hadir di hati Maiza mulai berubah. Wajah yang keras seolah tak akan runtuh, sedikit demi sedikit mengerut ke arah tengah. Sesuatu seperti merayap semakin memasuki ke bagian dalam dirinya. Di dadanya seolah ada retakan-retakan kaca yang semakin menutupi dan menutupi dinding-dinding. Hingga tidak ada lagi yang tersisa, selain rasa kelabu.

"Ya sudah. Aku tidak akan perduli lagi! Aku tidak akan bicara lagi padamu!"

Arqi menoleh dengan perasaan terkejut. Maiza masih berdiri di sana dan ia...

menangis.

Dia mengucapkan kalimat tadi dalam isakan.

Maiza terlihat tunduk. Ia mencoba menghapus air yang jatuh dengan kedua tangan mungil miliknya. Pergelangan bajunya terlihat sedikit basah.

Arqi pikir, Maiza akan berhenti begitu kedua tangannya tak lagi ke arah wajah. Isakannya juga menghilang. Tetapi sayang, mereka muncul dan justru semakin terdengar pilu saat Maiza sudah mulai menatapnya lagi.

"Kau boleh lakukan apapun semaumu. Aku tidak akan perduli lagi. Semua terserah kamu." Ucapnya diiringi rasa sakit. "Kamu..." Isak itu mulai merepotkan.

Bibir indah itu tergigit. Dagunya bergetar.

"Ka...mu..."

Suara terasa berat untuk keluar dari sana.

Maiza tak sanggup. Matanya mengejap-ngejap, berusaha mengusir sedihnya pergi. Tetapi ia terus saja menangis. Menangis. Menangis dan menangis.

Arqi juga tidak bisa mengatakan apa-apa. Ia tampak tidak ingin berusaha menolong Maiza untuk berhenti. Tidak, tidak kali ini. Bukan karena tidak mau, tetapi kakinya tidak sanggup berdiri.

Sebaliknya, Maiza masih melihat Arqi marah seperti tidak perduli. Dan itu membuat sedihnya semakin datang saja. Maka ia memutuskan membalikkan badan, memberi Arqi rasa terkejut untuk kedua kalinya tanpa sengaja.

Arqi tidak tahu harus apa. Sungguh. Baru kali ini ia merasa kesulitan. Ia hanya bisa melihat gadis itu memunggunginya. Dilihatnya bahu yang masih naik turun. Terisak. Saat kaki itu mulai melangkah, ia menyaksikan tangan kiri Maiza seperti ke wajah lagi. Kali ini Maiza pasti memakai lengan itu untuk menutupi wajah sambil jalan pulang.

Tetapi Arqi salah. Maiza tidak lama menggunakan lengan itu. Maiza malah terus jalan dengan wajah yang menatap ke depan meski menangis. Ia bukan anak kecil lagi tetapi ia tampak seperti anak kecil saat ini.

Maiza seperti gadis dalam drama. Berjalan dengan wajah hampir beringus namun berurai airmata. Suaranya terdengar seperti balita yang sedang sangat sedih.

Arqi sekali lagi tidak berbuat apa-apa. Ia membiarkan Maiza pergi.

Tidak.

Ia sebenarnya ingin sekali mengejar. Sangat ingin. Tetapi Maiza bukan lagi Maiza yang dulu. Arqi tidak suka. Ia mau mengatakan itu pada Maiza.

Berkali-kali.

Namun ia tidak bisa. Ia hanya...juga menghargai Maiza.

"Za..."

Jika ini adalah sebuah film, Arqi mungkin saja sedang mengulurkan tangan berusaha meraih Maiza.  Tapi ini bukan film. Ini realitanya.

Realita...

Bayang-bayang beberapa lembar foto yang dilihatnya tiba-tiba bermunculan. Nadi-nadi marah hadir di pelipisnya.

"Tidak!"

***
Author message:

Hai hai. Thank you udah mampir di ceritaku.
Kalau aku liat liat, rata-rata orang yang mampir cuma baca bab pertama atau berhenti di bab 5. Aku sedih deh jadinya...

😣😱😭😭

Apa ceritaku nggak menarik kali ya? Yuk baca terus sampai akhir dong...minimal vote bab-bab yang lain juga.
Moga di akhirat engkau mendapat amal kebaikan yaaaaaang berlimpah. Amin

😘😘

Salam persahabatan dari Eunoia Rain

Remaja 26 (Dilanjutkan Part2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang