Mengamuk, Ikut Aku.

92 6 0
                                    

"Keluar! Aku tidak mau kamu ada di kamarku!"

Tetap tinggal! Kumohon kamu tetap tinggal! Aku masih ingin lihat kamu...

Arqi mengamuk. Teman-temannya di sudut, berkumpul. Yang cowok di depan terpaku. Yang cewek saling memegang lengan, mencoba menguatkan satu sama lain.

"Qi...aku cuma mau liat kamu..." gadis yang di pintu, sedang menyembunyikan setengah badan di balik tembok, mencoba membujuk.

Suaranya dihiasi isakan. Antara memohon, takut, sedih dan marah.

"Keluar!!" Arqi malah semakin kesetanan.

Masuklah. Jangan menangis.

Suara tergopoh-gopoh terdengar dari tangga kayu. Debum-debam menghiasi ruang luas di depan kamar Arqi.

"Maiza, ada apa?". Pemilik kegaduhan lain itu berhenti di samping Maiza.

Maiza memperlihatkan wajahnya. Wajah cantik itu sudah sembab.

"Tante..." Tubuhnya bergerak meninggalkan tembok dan memeluk wanita itu. Jilbab ungu sang wanita segera basah oleh airmata Maiza.

Maiza menangis pilu dengan suara yang dibenamkan di bahu bundanya Arqi.

Ibunya Arqi terheran-heran. Ia bahkan tak biasa melihat kawan-kawan Arqi hanya berkumpul di sudut kamar. Sebelum-sebelumnya, mereka akan melakukan apa saja di kamar Arqi bahkan di sudut manapun rumahnya. Rumah ini sudah seperti markas bagi mereka. Dan ia tak pernah keberatan. Mereka anak-anak baik yang selalu bertanggung jawab.

Ia mencoba bergerak ke arah pintu tanpa berhenti menenangkan Maiza.

"Qi..." panggilnya yang mendapat respon cepat dari Arqi.

Dia melihat Arqi. Mata putranya merah dengan rambut yang acak-acakan. Kasurnya juga tidak bisa disebut rapi lagi. Bantal berserakan di lantai. Ibu menduga, bantal itu hanya diarahkan untuk Maiza. Tak ada satupun yang jatuh lebih dekat ke arah kawan-kawannya di sana.

"Aku mau dia pulang, Bu! Aku tidak mau lihat wajahnya!"

Aku marah, Bu. Aku marah tapi aku ingin dia di dekatku.

Arqi menggeleng kepala. Ia tiba-tiba menjerit kesakitan sambil memegangi bagian tubuhnya yang satu itu. Ia menarik rambutnya di kedua sisi. Rambut itu sudah lebih panjang dari yang biasanya mereka lihat.

"Qi!" Dua kawan laki-lakinya maju. Tadi kaki-kaki mereka kaku. Ini pertama kalinya mereka melihat Arqi bertingkah seliar ini. Jangankan memperlihatkan marah dalam bentuk apapun, mereka seumur-umur berteman, tidak pernah.

"Qi, kau kenapa, Qi?"

"Tahan tangannya, Anto." Pinta si wajah keturunan arab.

"Yang cewek sebaiknya keluar dulu. Biar aku dan Ipul yang tangani."

Rania yang lebih dulu mengangguk.

"Bagus mungkin kalau dibawa ke rumah sakit saja." Nita, gadis yang dipegangi lengannya oleh Rania dan yang berdiri paling depan bersuara.

"Iya, ntar dilihat." Anto merespon cepat. "Sudah, keluar sana!"

Fiqi mendorongnya. Gadis yang paling tinggi di antara mereka itu jadi pengarah kawan-kawannya keluar ruangan.

"Kami tunggu di ruang tamu, Tante." Fiqi bersopan-sopan sambil senyum ramah.

Bunda Arqi hanya mengangguk.

Ibu melepas Maiza dari pelukannya. Ia menyeka airmata Maiza dan memberi energi lewat sapuan di punggung dan telapak yang mengelus pipi.

"Maiza tenang ya. Tunggu di luar aja dulu sama teman-teman. Biar Ibu yang bicara sama Arqi."

Maiza masih terisak, tapi tetap mengangguk. Seperti dalam film, tangan ibu Arqi dilepas perlahan, membiarkannya melangkah pergi.

Maiza tetap di tempat sementara gorden ditutup.

"Keluarlah, Nak. Ibu mau bicara sama Arqi. Ajak Maiza ke ruang tamu." Maiza mendengar bunda Arqi yang bersuara lembut.

Suara kasur yang kehilangan beban terdengar. Di dalam, Ipul berhenti sejenak. Dia turun tepat depan meja belajar dan lemari. Ada sesuatu yang menarik matanya di sana.

Anto menyadari, tetapi ia berpikir belum ada waktu untuk bertanya. Dia yang turun setelah mendorong tubuh Ipul, tidak bisa melihat apa yang menarik bagi Ipul. Pemuda itu pun menyodok lengan Ipul dengan siku.

"Ayo, Pul." Anto jalan duluan.

Ipul segera menyusul. Dia menutup pintu sambil bergerak melewati pintu. Gorden tak lupa dikembalikan.

"Pul!" Anto memanggilnya lagi.

Ipul menoleh, hampir menabrak tubuh di belakangnya.

Anto memberi tanda tanpa suara agar Ipul mengajak sosok ini keluar. Dia sendiri pergi duluan.

"Ayo, Za, kita tunggu di ruang tamu saja." Tangannya bergerak ke depan. Tadinya hendak menyentuh Maiza. Namun diurungkan. Tangan itu hanya bergerak seperti mempersilahkan.

Kepala Maiza tergeleng lemah. Airmatanya masih jatuh. Sebentar-sebentar tanpa suara. Lalu bersuara lagi. Terisak. Diam terisak. Bersuara lagi.

Ipul jadi tidak tega. Namun dia bisa apa? Maiza tidak akan mendengarnya.

"Kamu mau tunggu apa? Arqi ngusir kamu. Hanya kamu, Za." Ipul kesal.

"Tapi itu Arqi lagi sakit." Tangan Maiza menunjuk ke dalam, seolah meminta diizinkan mengambil yang ia mau.

"Dia cuma bakal makin marah liat kamu nangis-nangis kayak gini. Tadi kan sudah kuingatkan. Kamu harusnya berhenti nangis saat kita sudah sampai. Arqi itu paling tidak mau liat kamu nangis." Ipul berkacak pinggang. Melodi suaranya bak seorang kakak yang lembut menasihati adik.

Di pintu yang memisahkan ruang tamu dan tengah, berdiri Damar. Lagaknya seperti sudah memperhatikan mereka bicara sedari tadi. Tangannya berlipat di depan dada.

"Za, ikut aku!"

Tangan Maiza tiba-tiba ditarik seseorang. Gadis itu dibawa melewati ruang tamu. Kawan-kawannya sampai-sampai terheran-heran melihat pemandangan yang baru sedang berlangsung.

***

Remaja 26 (Dilanjutkan Part2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang