Hati Seorang Teman

62 5 0
                                    

"Aku terlambat sadar..."
"Aku suka dia, Pul."
"Aku suka Fiqi."

Warna merah muncul pelan-pelan di kedua pipi. Lalu merayap ke seluruh wajah. Dia terpaksa memegangi. Berharap akan sembuh.

"Hufff....kok panas ya?" Tangannya mengipas-kipas wajah. "Huffff...Fiqi, itu jangan dipikirin terus...geer nanti kamu."

"Kak Fiiiiqq..." suara teriakan dari belakang membuatnya menoleh.

Fiqi hanya memutar ayunan. Dia memicingkan mata sedikit. Jarak jauh tidak terlalu bisa menunjukkan jelas siapa itu. Namun karena tadi dia dipanggil 'kak', maka dia bisa menyahut seadanya.

"Kenapa, Deee?"

"Risfa mau masukin telur di kari. Katanya biar cukup buat semua, boleh nggaaak...?"

"Yu, kamu apa-apaan tereak dari sini? Nggak sopan namanya." Seseorang menegur gadis itu dari belakang.

"Oh iya...lakukan apa aja asal enak! Berasnya cukup gak?" Fiqi sudah hampir mendekati jendela.

"Eh Kak Fiqi...maaf, Kak, tadi teriak."

"Nggak papa. Maaf ya nggak bantu." Mereka berbicara lewat jendela. Bagian dapur rumah Arqi memang di bawah, pada bangunan batu. Di bawah itu ada kamar orangtua Arqi, ruang tamu, ruang makan, dapur modern, 4 kamar mandi, dan dapur tradisional. Konon katanya ini warisan nenek Arqi dari silsilah mamanya. Dulu rumah ini kerajaan bagi sepasang anak raja.

"Tidak apa-apa, Kak. Kalau di dapur lebih banyak lagi, kami tidak bisa gerak."

Risfa dan Ayu. Di dalam ada Anti dan kawan-kawan yang tidak bisa disebutkan satu-satu, tapi Fiqi hapal mereka. Mereka tim yang senang masak. Masakannya benar-benar enak. Di beberapa kali pengkaderan, hanya yang waktu angkatan mereka jadi panitia yang membuat Fiqi dan kawan-kawan betah di dapur. Buat makan. Hehe.

"Duh, Risfa, kamu memaaang koki sejati." Fiqi memberi nada ala kura-kura di kartun Pada Zaman Dahulu.

Risfa dan Ayu tertawa.

Suara motor yang datang kemudian menarik perhatian mereka. Itu Sera yang baru datang. Sera mematikan motor dan tinggal membenamkan kepalanya di motor.

"Yu, ambilkan air minum buat Sera. Air putih aja, jangan teh." Pinta Fiqi sebelum jalan ke sana.

Jannah terlihat sudah turun dari atas.

"Ser!" Jannah menepuk bahu Sera, "kamu tidak apa-apa? Ser? Sera?"

Sera mengangkat wajahnya. Matanya menangkap sosok Fiqi yang mendekat bawa air. Fiqi menyerahkan gelas itu sambil memintanya minum.

"Kak, anak-anak yang lain tahu nggak soal apa yang terjadi?" Sera mengecilkan suara.

"Kurasa tidak. Kami memisahkan mereka dulu tadi."

"Nita sudah jalan?" Tanya Sera lagi.

Fiqi dan Jannah mengangguk bersamaan.

"Kita duduk di sana yuk, Ser." Fiqi mengajak ke depan rumah Maiza. Di sana ada semen yang dibentuk segi empat. Tempatnya juga dingin karena banyak pohon tinggi di samping rumah Arqi ini yang melindungi sampai ke seberang sana.

Setiba mereka...
"Kak, ini kita beneran bisa terima kak Hasrul sama kak Yugi di kelompok kita? Mereka buat masalahnya kebangetan, Kak."

"Emangnya kenapa bisa, Ser? Gimana ceritanya?"

"Kan tadi kita kehilangan jejak. Jadi singgah di tepi jalan. Trus, yang bawa hp itu cuma Hana. Hana hubungi Vitri, Hananya nangis nangis dengar kak Opik jatuh. Jadi kak Damar gak bisa biarin dia bawa motor sendiri. Baso diminta antar. Tapi karena motornya nggak ada yang bawa, jadi dititip di rumah omku. Motor Farul dijaga kak Hasrul. Pas kita balik, kak Hasrul sudah nggak ada. Plus motornya Farul. Padahal kuncinya ada sama Farul loh, Kak."

"Motor Farul kemana?"

"Itu dia, Kak. Kita nggak tahu. Raka bilang, mungkin kerjaan kak Hasrul. Mungkin dia itu bukan orang baik."

"Hush. Mana boleh kita ngomong gitu, Ser."

"Aku tahu, Jan."

"Tapi biar gimanapun, kak Hasrul tetap yang bertanggungjawab, Jan" Fiqi menambah.

"Apalagi kak Hasrul dulu terkenal nakal sama kak Yugi." Sera mengingatkan.

"Aku jadi cemas sama Maiza. Dia akan diapakan kak Yugi ya?"

Tangan Jannah tiba-tiba menepuk punggung tangan Fiqi, "nggak boleh gitu, Kak. Itu bisa jadi doa yang buruk buat kak Maiza. Kita banyak berdoa aja moga kak Maiza nggak diapa-apain."

Fiqi cepat mengucap Astagfirullah.

Mereka menjadi diam, sibuk dengan pikiran masing-masing dan doa.

"Kak, kak Hasrul beneran sudah berubah nggak ya? Kasihan Farul kalau motornya nggak kembali..."

Fiqi menoleh ke Sera. Kalimat Sera tepat seperti apa yang dia rasa. Tapi Fiqi cepat-cepat sadar. Dia yang dituakan mereka, dia tidak boleh hilang percaya seperti mereka. Atau hanya sekedar ragu. Kak Damar selalu bilang, pikiran buruk seorang adik tergantung kakak. Kalau kakak mengucapkan atau melakukan hal jelek, jelek-jeleknya adik akan semakin menjadi-jadi. Dan di sini, di organisasi mereka, Fiqi dan beberapa kawan dianggap sebagai kakak meskipun usia mereka sebenarnya tidak semua sudah pantas menyandang kakak. Tapi di sini, kakak ditandai dengan aura positif yang menarik dan menjadi perhatian. Aura positif yang harus disadari untuk dijadikan hal baik: banyak perbaiki diri dan berusaha memberi contoh yang baik.

Fiqi menutup mata dan beristigfar lagi dalam hati.

"Kita percaya saja sama kak Hasrul, De. Kita banyak berdoa semoga kak Hasrul baik-baik saja, melakukan hal baik, dan nggak kembali ke jalan yang salah." Fiqi yang pakaiannya masih celana panjang dan baju kemeja sedikit longgar serta jilbab segitiga yang hanya dipentul di leher, menenangkan kedua kawannya dengan cara meletakkan tangan di atas tangan mereka.

Ini bukan soal baju. Ini bukan soal gengsi. Ini bukan soal siapa yang terlihat sudah belajar agama secara yang tampak. Seperti misalnya yang bergamis dan bukan. Malah, saat yang bergamis tidak mau mendengarkan yang belum bergamis, bukankah itu artinya hati dia belum bergamis?

Belum bergamis karena masih membedakan dari cara berpakaian. Bukankah itu artinya menyombongkan diri: menganggap diri sudah sangat tahu soal agama? Padahal, hati, siapa yang sanggup mengontrol setiap saat? Pengalaman, pengertian, rasa rendah hati, simpati, empati: pelajaran yang sangat sulit diamalkan.

Hati baik sulit dimiliki setiap orang. Hati baik harus dibentuk bertahun-tahun. Sementara apa yang tampak baik secara fisik bisa dipoles hanya sekejap.

Orang-orang yang menyukai fisik, secara tidak sadar akan lupa kesukaannya pada hal yang fisik itu. Terlebih setelah menemukan si pemilik fisik cantik memiliki hati yang busuk. Dia menjadi menyesal karena hidupnya akan dihabiskan bersama hati busuk itu dan tidak bisa lepas. Lantas, siapa yang rugi? Lantas siapa yang untung saat bertemu hati yang baik kemudian ia berhasil memoles fisik dari kebaikan hati itu?

Fiqi menggeleng kepala.

Tidak, justru kasihan yang hatinya busuk. Dia butuh teman untuk membuatnya baik.

Tapi butuh berapa lama waktu? Apa kamu sanggup menyabarkan hati menghadapi hati busuk itu untuk membuatnya baik? Bagaimana jika kamu malah jadi korban?

Fiqi terdiam. Pikirannya melayang ke tempat lain.

Bagaimana denganmu? Apa pendapatmu? Apa yang akan kamu katakan? Apa yang akan kamu lakukan?

***

Remaja 26 (Dilanjutkan Part2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang