Jiwa Pemimpin yang Sadar

67 8 0
                                    

"RA! RANIA!" Damar berusaha memanggil. Tapi dia agak kesulitan mendekati motor Rania.

Ketika berhasil, dia tidak bisa menyempatkan berbicara. Pikirannya hanya fokus bagaimana supaya bisa menyamai laju.

Sebenarnya, ada banyak hal yang mengganggu pikiran Damar. Dia pusing menghadapi situasi yang sedang terjadi. Soal Maiza-Arqi, Yugi-Maiza, Sera-Vitri, Opik, kerjaan, usianya, Rania, anak-anak yang dipercayakan padanya,

Rrrrrr...hati Damar geram.

Aku saja tidak pandai mengatasi diriku sendiri, bagaimana aku bisa menjaga mereka? Agamaku saja masih kacau-balau, bagaimana aku bisa menasihati mereka?

Pikir Damar seolah ia mengumpat di luar.

Tubuhnya dicondongkan ala pembalap, padahal lari motornya tidak kencang-kencang amat. Kaosnya terasa ketat sekali di badan. Perasaan lengket itu membuat hatinya malu sebab ada Rania.

Ups...

Damar mengedip-kedipkan kedua bola mata.

Perasaan tadi aku harus ngejar Rania...

Ia menegur diri sendiri untuk menoleh.

Rania cukup jauh di belakangnya. Dia jadi berniat memperlambat motor. Saat mengarahkan wajah ke depan, saat itu pula ia kaget.

"Stoooo..ououoooo...ppp!!!"

Seorang pemuda bertengger di jalurnya. Berani tapi juga ketakutan. Dia berdiri melindungi kepala dengan kedua tangan dan satu kaki terangkat. Samping tubuhnya seakan direlakan untuk dihantam motor.

Suara berdecit timbul. Decitan itu cukup besar, lama, dan pilu. Rupanya kak Damar masih sempat ngerem. Syukurlah dia sempat. Syukurlah dia bisa mengontrol motor. Allah masih sayang mereka, meski ban belakang motor Damar naik.

Rania ikut berhenti di samping kak Damar. Penderatannya mulus semulus kulitnya. Bagian ban depan berhenti di samping pemuda berkemeja kotak-kotak yang kancingnya dilepas itu. Tenang, dalamnya ada kaos hitam. Celananya jeans biru l, senada sama kemeja. Sepatunya coklat sneakers sedangkan topinya putih yang menghadap ke belakang.

"Kalian tidak apa-apa?" Rania membuka kaca helm.

Pemuda yang masih syok itu tidak bisa menutup mulutnya bahkan tidak bisa menggerakkannya. Dia hanya bernafas. Dadanya maju mundur. Badannya perlahan-lahan tegap.

"Rania...untung kamu lembut..." wajahnya melorot ke bawah.

"Hab, kamu mau cari mati??" Damar emosi.

Bagaimana tidak? Dia hampir saja menambah 1 masalah lagi. Dia. Dirinya! Damar yang paling tua di antara anak-anak. Damar yang harusnya bisa menjaga.

Ekspresi Wahab tidak berubah. Yup. Itu si Wahab. Mata sipitnya semakin sipit saja. Konon katanya mama Wahab dulu pernah bilang tidak suka sama orang korea, jadilah anaknya muka-muka korea tidak jadi.

Wahab tadi keluar dari pagar rumahnya. Rania melihat dia berdiri di jalan sambil melambai.

Orang-orang dari arah pos berlarian ke mereka. Rupanya tadi anak muda ngumpul semua di sana.

"Wahab, ada apa, Hab?"

"Hab, kau tidak apa-apa, Hab?"

"Weh, kalau bawa motor tuh pake mata!" Seseorang sudah memajui Damar dan mendorong bahunya dari depan.

"Ini juga cewek, kau teman dia?"

"HAE! APA KALIAN INI?? MAU MAIN HAKIM SENDIRI??" Seorang bapak keluar dari rumah di sisi kanan.

Bapak itu hanya memakai kaos dalam dan sarung. Di keningnya ada Salompas.

"Tidak, Pak. Maaf, Pak."

Yang lain ikut menenangkan bapak itu dengan bersikap kalem-kalem.

Bapak itu maju. Beberapa segera menyingkir ke samping. Agaknya bapak ini orang yang disegani.

"Kalian tidak apa-apa, Nak?" Si bapak malah baik pada Damar.

Pemuda-pemuda tadi saling sodok-sodok lengan mengode: pak Muhtar ngapain bela ni pengendara?

"Hab, lain kali jangan berdiri di tengah jalan kalau mau hadang teman." Ucap bapak itu. "Memang kalian mau kemana, Nak Damar? Pakai buru-buru."

Ooooo...ternyata kenal.

Ya iyalah. Ini bapak kan salah satu petinggi kelompok yang Damar, Rania, Wahab dkk masukin.

"Ini, Pak, kita mau ke dermaga. Ada teman di sana butuh bantuan."

"Bantuan?" Gesture bapak itu seperti habis kesetrum. "Kamu ada teman mau bunuh diri di sana?" Bapak itu jadi panik.

Bagaimana tidak? Dermaga itu sudah punya cerita sendiri. Banyak anak muda palsu yang galau suka ke sana cari kematian.

"Nggak kok, Om. Nggak. Dah, Om. Nanti kami cerita, Om, ya?" Wahab melangkah salah tingkah ke arah belakang motor Damar. Dia naik. "Dah. Ayo, Kak. Kita ke sana."

Damar menyalakan motor. Senyumnya agak kecut. Dia tidak enak hati melihat sikap Wahab. Walaupun, sebenarnya itu sudah biasa dilakukan Wahab dengan saudara ibunya itu.

"Mari, Ustadz, kami jalan dulu." Damar senyum.

"Wan, kalo gue telpon berarti berangkat ya!"

Kawan yang baru keluar dari rumah yang ditinggalin Wahab menaikkan jempol sambil menjawab, "Oke, Bro."

Semua mata anak muda di atas jalan seketika menghadap Wan alias Iwan. Begitu juga pak Muhtar. Bahkan, Damar yang tidak bicara membuat pak Muhtar menatap lekat padanya.

Damar mengabaikan tatapan itu. Tidak, lebih tepatnya dia tidak sadar. Di kepalanya ada banyak hal yang lebih mengambil perhatian. Dia melanjutkan perjalanan disusul Rania.

Di spion, Damar melihat Iwan berdiri depan kawan-kawannya bak seorang yang dihormati.

***

Author's message:

Dear Pembaca novel ini,

Please vote dong...
Y? Y? Y? Biar aku tahu novel ini menarik. Atau dikomentarin aja gitu.

Rasanya frustasi banget tahu nggak langsung divote...

(Curhat)

Well gimana cerita selanjutnya ya? Ada apa dengan Hasrul? Damar? Maiza? Yugi? Dan Arqi?

Remaja 26 (Dilanjutkan Part2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang