Sakit dan Marah, Apa Bedanya?

108 7 1
                                    

"Hat...chiuw..."

Arqi menggeliat di bawah selimut. Ia melipat tubuh, meletakkan lengan-lengan yang kedinginan di antara kedua paha.

"Hat...chiuw..."

Salah satu tangan cepat bergerak mengambil tissue di samping bantal. Ia mengeluarkan isi hidung dalam sekali hembusan. Ia bergerak lagi menyelipkannya di antara paha. Kedua tangannya saling bergerak memeluk diri. Seluruh tubuh bergetar. Ia berusaha menghangatkannya dengan menggosok-gosok di beberapa tempat. Tidak berhasil. Mata lantas berusaha dibuka lebar, tetapi kesayuan yang hinggap memaksa menutup dari arah sebaliknya. Arqi menarik naik lagi selimut tebalnya.

Langkah-langkah kaki terdengar. Langkah itu meletakkan sesuatu, menggeser gorden, membuka pintu, mengambil benda tadi, lalu melangkah semakin jelas.

"Ibu?" Suaranya bergetar lemah.

Desahan sakit hati terdengar.

"Bangun dulu, Nak. Kamu tidak bisa kalau tidak minum obat."

Sekali bicara, tubuh Arqi bergerak. Meski sangat pelan. Ibunya memasang Fever di kening. Arqi menggerakkan tangan ke arah gelas. Tapi baru diangkat sedikit, ia meletakkannya dengan bunyi. Isinya sedikit terlempar keluar.

"Kenapa, Nak?"

Arqi diam sejenak. Ia menimbang hendak mengatakan atau tidak. Ia mencoba lagi, namun hasilnya sama saja.

"Lenganku rasanya sakit, Bu."

Tangan yang satunya memijat lengan. Sayangnya, tidak ada kekuatan di sana.

Tetesan airmata jatuh di pipi. Arqi menangkap bulir itu.

"Bu...Ibu menangis...?"

Bundanya orang yang sensitif. Arqi sangat hapal itu. Arqi biasa menyembunyikan sakit. Namun kali ini sepertinya tidak bisa. Aneh. Benar-benar aneh. Padahal ini hanya flu biasa.

Bundanya menggeleng, "Nggak kok, Nak."

Ibu cepat menghapus butiran itu. Kacamatanya terangkat di atas punggung tangan saat ia lakukan. Diambilnya obat flu. Wanita yang masih terlihat cantik itu membuatnya sobek di belakang. Dimasukkannya ke mulut Arqi. Tak lupa, air minum pelan-pelan dimiringkan dari gelas. Matanya menyaksikan mulut Arqi tak bisa dibuka lebar.

Ibu mana yang bisa melihat seorang anak sakit? Meskipun ia sudah dewasa dan ia bukan anak perempuan? Kasih seorang ibu berbeda. Ketakutannya ditinggal lebih dulu dari anak yang dibesarkan sejak dalam kandungan, hati mana yang siap?

"Bu, ini hanya flu biasa..." Arqi mengucapkan sesuatu saat ia sudah berbaring namun melihat ibunya melamun.

"Apa perlu Ibu panggil Maiza?"

Wajah Arqi semakin memerah, "Ibu apa-apaan. Tidak ada kaitannya dengan Maiza."

Kekuatannya berkumpul sejenak saat mengucapkan kalimat itu.

Arqi merapatkan lagi pipinya ke bantal. Matanya menghindari ibu. Tepian selimut tergenggam kuat.

"Atau Lika aja yang Ibu panggil? Ibu akan di sini untuk menemani kalian."

"Bu, aku sudah putus sama Lika." Arqi menjawab cepat. "Ibu tidak perlu lagi bahas Lika."

Hati ibunya terkejut. Itu berita yang tidak dia sangka. Ia menatap putra bungsunya lekat. Perasaan khawatir hadir. Pelan ia bertanya, "Apa gara-gara Ibu, Nak?".

Tubuh Arqi refleks menghadap ke atap kamar. Wajahnya menghadap ibu dengan gelengan yang kuat-kuat.

"Bukan, Bu."

Nafasnya menjadi tidak teratur. Tubuhnya lemah kembali. Panas merayap di tengkuk. Sementara dingin di kaki tidak bisa terhindarkan. Lengan ikut dingin. Ia melipat badan lagi.

"Maiza lagi naik gunung sama teman-teman, Bu. Dia akan di sana beberapa hari lagi."

"Gunung? Apa Maiza baik-baik saja? Dia bawa jaket tidak?"

Arqi mendesah, entah karena sakit atau karena perkataan ibu.

"Bu, kalau aku tidak sakit, aku pasti bisa pastikan sendiri yang Ibu mau." Ucap Arqi, ada sedikit nada kesal di suara. "Aku sama Ibu kan satu pikiran."

Ibunya tersenyum. Ia merasa terhibur ada melodi seperti itu di kata-kata Arqi.

Ia dan Maiza memang masih tidak saling ngomong. Bukan marahan atau benci. Marah tidak boleh lebih dari 3 hari. Dia yakin Maiza juga sadar itu.

Maiza mengabarinya. Soal rencana teman-teman ke gunung buat kemping. Kegiatan yang sekedar menghabiskan sisa libur menurut Arqi. Tetapi Maiza berpendapat beda.

Arqi tidak balas. Tidak menanggapi. Dia juga tidak mau mengabari Maiza keadaan tubuh lemah yang sedang terimilikinya. Maiza tidak perlu tahu.

Bukan.

Dua sisi di bagian dalam dirinya saling beradu jotos. Sedikit rasa khawatir menciptakan ego pada sanubari.

Bayangan Maiza nangis waktu itu, membuat hatinya berdecak cemas. Terenyuh tepatnya. Entah sejak kapan dia mulai merasa Maiza itu jadi anak cengeng. Maiza pemalu tapi ceria di hadapannya, kini mudah menangis. Padahal umur mereka bukan lagi anak-anak.

Ah, anak-anak maupun dewasa, airmata itu hal yang lumrah. Makna bahwa manusia memang manusia. Tak punya hati namanya jika tidak menangis.

Arqi senyum. Lalu sedih lagi. Lalu merintih tak nyaman lagi. Ibunya sudah cukup lama meninggalkan kamarnya. Ayah sedang pergi kerja. Ia tak perlu cemas mengeluarkan ekspresi hati.

Tapi ia tetap cemas.

Saat menghayal itu, handphonenya bunyi. Tanda facebook lite sedang dikirimin sesuatu. Arqi memikirkan Maiza. Secepat mungkin meraih alat itu. Ia berharap ada kabar baik.

"Hhhmmmppp..." nafas malah sengaja ditahan, selesai facebook perlihatkan apa yang dia ingin ketahui.

Maiza di sana. Di beberapa foto. Hampir semua foto ada dia. Tapi tangan Arqi paling bergetar saat ada satu foto yang hanya ada dua orang di dalamnya.

Arqi merasa marah. Sangat marah.
***

Remaja 26 (Dilanjutkan Part2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang