Apa yang Salah?

28 3 0
                                    

Bisakah kita kembali jadi sahabat?
Sahabat yang tak lekang oleh waktu...
Sahabat yang sejauh apapun kaki melangkah,
Selalu ada ruang untuk...

Pikiran Maiza terhenti. Dia sendiri kaget. Dicobanya mencari kata yang tepat untuk menyambung kalimat itu. Namun nihil, kepalanya malah sakit.

Setetes demi setetes airmata jatuh. Ia membenamkan kepalanya dalam ruang antara lutut dan dada.

"Za, masuk yuk!" Seseorang di pintu akhirnya memberanikan diri melangkah keluar. Itupun setelah sedari tadi didorong-dorong dan menolak-nolak.

Canggung, langkahnya mendekati Maiza. Duduk menghadap Maiza. Tidak melakukan apa-apa. Hanya duduk. Atau lebih tepatnya jongkok.

"Za, masuk yuk! Nggak baik di luar sendiri. Ntar kerasukan jin." Kawan itu ngomong langsung tanpa filter.

Kawan-kawan di balik jendela lantas menepuk jidat. Ada pula yang terlihat kecewa. Ada pula yang mengecam tanpa suara. Saat berisiknya mulai sedikit terdengar. Salahsatu dari mereka memberi st dengan gerakan telunjuk depan bibir. Lucu, beberapa dari mereka malah ikut meletakkan telunjuk.

Kawan yang satu itu sadar lalu menengok mereka. Dia mendapat sinyal untuk terus melanjutkan aksinya.

"Za..."

Si mungil itu tampak memiliki sedikit gerakan. Ia terlihat menggerakkan tangan di bawah wajah.

Kepalanya kemudian terangkat. Matanya berkaca. Pipinya memaksa sebuah tarikan untuk bibir.

"Kamu masuk aja duluan, La. Aku nggak akan apa-apa kok. Aku hanya butuh udara segar sejenak."

Suaranya lembut namun tetap tegas. Dia lebih terlihat tidak terjadi apa-apa.

Ila, kawan itu, tak sanggup berbicara. Ia hanya bisa menatap Maiza lama. Gadis itu meyakinkan di matanya.

"Ya sudah, tapi jangan biarin pikiran kamu kosong ya...?"

Maiza memberi anggukan. Ila pun berdiri. Ia kembali ke pintu. Namun belum lagi sempat melangkahkan kaki. Tubuhnya dihadang teman-temannya. Ia diminta kembali. Ila menolak.

Maiza tak mau repot-repot menoleh. Ia menatap ke depan. Dagunya diletakkan di atas lutut.

Dia tahu jin bisa saja masuk ke dalam pikiran siapapun yang sendiri. Tetapi itu jika pikirannya kosong. Apalagi galau tingkat tinggi. Terlebih jika tidak dibarengi dengan ingatan akan Allah. Maka hati dan pikiran Maiza mulai menyebut.

"Keluar!" Sebuah suara seakan berteriak lagi di telinganya.

Maiza tersentak. Itu suara sahabatnya Arqi. Bantal-bantal seakan melayang ke arahnya dalam bentuk yang sedikit transparan. Maiza antara sedih dan takut. Ia menutup mata.

Ya, kejadian itu benar-benar menakutkan bagi Maiza. Tidak pernah sedikit pun mengira Arqi akan memperlakukannya seperti jahat. Terlebih di hadapan teman-teman.

Dia juga tidak perlu harus ditarik Yugi dari sana. Membuat kak Damar mengambil keputusan berat. Melihat Opik terbaring di rumah sakit. Mendengar kak Hasrul menghilang bersama motor Farul...

Ini bukan salah Arqi! Sama sekali bukan! Tegas Maiza cepat dalam hati.

Semua membuat Maiza marah, tetapi juga sedih di saat bersamaan. Sebagian hatinya mencoba menyalahkan Arqi, tetapi separuhnya lagi terus berujar bukan. Bulir-bulir air pun kembali jatuh. Maiza menjadi sangat menyalahkan dirinya sendiri.

3 hari, Opik masih di rumah sakit. Opik satu kader di bawahnya. Namun dia teman yang cukup dekat dengan Maiza. Maiza tahu rencana Opik soal Hana. Dia juga yang cukup berhasil membuat Hana-Vitri tetap bertahan.

Tapi kak Hasrul? Maiza rasanya tidak percaya. Begitu juga Yugi. Maiza tidak dekat dengan kak Hasrul. Namun dia cukup tahu harus percaya bahwa dia sudah membaik. Dia sendiri selalu bilang: jika itu yang kita pikirkan, maka 99% itu yang akan terjadi. Kak Yugi mungkin sekarang juga sedang sibuk cari kak Hasrul.

99%...sayup-sayup ragu berhembus di pikiran Maiza.

Bagaimana jika...yang terjadi adalah...Arqi...

Belum ada yang memberitahunya kalau Arqi sudah baikan dan malah mencarinya hari itu juga. Di 3 hari itu pula, Maiza kehilangan kabar sosok maupun dengar. Kawan-kawannya seolah bungkam. Mereka juga seperti sengaja menghindari Maiza.

Tapi itu hanya perasaan Maiza...

Kawan-kawannya bukan tidak menghindari. Atau tidak mau memberitahu. Mereka sudah berusaha memberitahu. Akan tetapi...tidak satupun punya keberanian mengganggu gadis galau, sebaik apapun mereka pernah merasakan dekat.

Damar, Jannah, Fiqih, Ipul, Anto, Rania maupun Yugi secara kebetulan jarang terlihat 3 hari itu di sekretariat. Saat mereka datang, bagi mereka, Maiza terlihat tegar dan baik-baik saja. Maiza mampu bercanda seperti biasanya.

Rania sadar. Seorang sahabat pasti sadar. Karena sahabat pasti menyadari sebuah perubahan kecil sekalipun. Namun entah apa yang terjadi, Rania belum punya waktu berbincang. Handphone Maiza bahkan sedang sunyi.

Maiza ingin sekali curhat pada Winchi, sahabatnya yang jauh. Dia belum pernah cerita apa yang terjadi 3 hari yang lalu itu. Bahkan tentang hingga kini. Namun entah apa yang membuatnya tidak melakukan.

Aku tidak pernah mengharapkan berhenti jadi sahabatmu! Teriak hati Maiza tiba-tiba. Tubuhnya bergetar. Dia takut sekali.

"Qi, maaf..." ucapnya lirih.

Di belakang tiba-tiba heboh. Ribut. Lalu tiba-tiba ter-st dan diam. Sayup-sayup gitar melantun dari sisi kanan masjid.

"Dalam ruang hati ini,
Slalu ada kamu.
Tak usai perdulikan waktu,
Kupikirkanmu.

Duhai, kau yang sedang di sana.
Apakah ada bulir airmata
Sedang kau sembunyikan
Di balik kata kubaik-baik saja
Lagi dan lagi?

Maiza...

Kutahu kau sedang menangis.
Pada ruang sendiri.
Berkata baik-baik saja,
Selalu dan selalu.
Padahal tidak.
Padahal tidak.

Ambil saja salahku,
Balikkan padaku.
Jika itu bisa hapuskan lukamu.

Maiza...
Berbaliklah.
Bila boleh kukatakan
Beri ku senyummu.
Katakan sesuatu.
Apapun.
Apa saja.
Kan kuterima.
Karena tahukah kamu?
Tahukah kamu?
Kau slalu
kurindu.."

Jantung Maiza dag-dig-dug. Dia kenal suara itu. Sejak lirik petikan gitar pertama, dia sudah tahu.

Tetapi pengetahuannya malah membuat sulit untuk bergerak. Jangankan menoleh, mengangkat wajah pun ia tidak berani. Dia takut hanya menghadapi mimpi. Dia takut jin sedang mempermainkan.

Barulah pada saat namanya disebut dalam nada, detakan itu mulai berterima. Namun getaran haru dan kaget karena tersinggung membuat egonya lagi-lagi tidak mau menoleh.

Ambil saja salahku,
Balikkan padaku,
Jika itu bisa hapuskan lukamu...

Seperti meniupkan lega, kalimat itu juga memberi irama pada egonya untuk surut. Lega yang sekejap berubah menjadi senyum melayang pada kalimat beriku senyummu, terlebih di kata kurindu...

Aku hanya sahabat, tapi seorang sahabat pun pantas kau bujuk seperti ini kan?

Maiza menoleh. Ia tetap duduk di sana, dengan model yang tidak berubah, dengan wajah yang berkeringat dan penuh airmata, tetapi kini dengan sebuah senyuman.

Pemuda yang mendekatinya juga tersenyum. Kalau saja boleh, nalurinya akan dibiarkan memeluk gadis itu sekarang juga.

Kalau saja boleh.

Kalau saja.

Dan ia pun menahan.

Menahannya untuk Maiza...

Dan juga dirinya sendiri.

Dari dalam masjid, para gadis seakan lupa pada diri mereka dan ikut tersanjung pula melihat adegan gratis itu. Para ikhwan sebagian berehem-ehem.

Mau menegur? Apa ada yang salah?

Apa ada yang salah?

***

Remaja 26 (Dilanjutkan Part2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang