Yang Bernama Rindu

182 13 23
                                    

"Maiza..." Arqi memanggil nama itu dalam bisikan. Ia sedang berhenti sejenak, memarkirkan diri depan rumah Maiza. Matanya menatap jendela kamar atas.

Maiza tidak mungkin keluar. Anak itu tidak ke masjid pada subuh hari, sejak tumbuh dewasa.

Dewasa...

"Bagiku Maiza selalu anak-anak."

Tapi perubahan dirinya sudah mulai di masa-masa akhir perkuliahan. Ia menjadi aktif di organisasi luar tempat kuliah. Arqi mendengar kabar bahwa Maiza sudah bisa membawakan materi di organisasi itu.

Maiza menarik banyak perhatian orang. Mungkin dia sendiri tidak menyadari hal itu. Laki-laki maupun perempuan, mereka tidak segan memujinya walau hanya sekedar mengucapkan ia cantik. Arqi sempat mengikuti dan ia merasa marah tiap kali ada junior baru yang memanggil kawan kecilnya itu kakak cantik. Terlebih jika itu seorang teman angkatan mereka atau senior.

Maiza berjilbab. Tidak terlalu besar dan tidak terlalu lebar. Tidak juga tipis maupun kecil. Ia punya gaya sendiri. Arqi menyukai style Maiza, meski sebenarnya ia lebih suka melihat rambut Maiza.

"Rambutku auratku, Arqi. Tiap lembarnya itu akan dihitung di akhirat nanti. Jadi bayangkan ada berapa helai rambut yang kupunya? Dosaku akan berkali-kali lipat jumlahnya. Belum lagi ditambah dosa-dosaku yang lain. Apalagi yang kecil-kecil yang tidak kusengaja? Koin aja bisa sampai miliyaran jika dikumpulkan. Berat lagi. Gimana dosaku? Pokoknya ngeri deh, Qi!" Ucap Maiza waktu pertama kali ia keluar dengan jilbab.

Arqi waktu itu masih bisa santai. Ia menanyakan jilbab itu dan jawaban Maiza membuatnya di antara terkejut dan kagum.

Padahal, Maiza suka menggayai rambut. Arqi suka Maiza mengomentari rambutnya. Arqi juga akan suka menggoda hanya karena masalah rambut. Seperti bilang ia ingin botak atau gundul. Maiza selalu 'monyong' mendengar itu. Dan dia akan terlihat manis sekali. Di bawah hidungnya muncul dua garis mirip kumis kartun orang china.

"Anak Ayah senyam senyum sendiri di jalan. Mungkinkah ia sedang dirundung kegilaan?" Lelaki 50-an muncul di belakang Arqi. Tubuhnya sedikit lebih tinggi. Ayah Arqi menyukai sastra walau ia seorang lulusan teknik arsitek. Saking sukanya, kata-kata ayah akan diselipkan ke-lebay-an.

Arqi senyum sekaligus tersipu malu, "Ayah bisa saja."

Si ayah sedikit tidak berfokus pada kata-kata Arqi. Dia malah menggeser Arqi di tempatnya. Ayah mencoba menatap arah yang sama.

Keningnya berkerut, "Maiza?" Ujarnya sambil memberikan kembali tatapannya.

Anak laki-lakinya tidak menyahut. Ia justru melewati ayahnya.

"Qi." Ia memanggil. Suaranya tidak terlalu besar. Entah mungkin karena emang saking kecilnya, Arqi tidak merespon. Ia terus saja jalan. Sayangnya, sikapnya itu membuat sang ayah menambah volume, "Arqi!"

Oh good. Ayah...

***
"Arqi!" Namanya di pagi hari seperti boom yang meledak. Maiza yang sedang berdoa refleks menoleh.

Tubuhnya bergerak ke arah jendela. Ia mengintip sedikit.

"Om Ridho." Ia mengucapkan itu bersamaan dengan langkah cepat seorang bapak yang dikenalnya baik.

Wajahnya tidak begitu kelihatan di balik jeruji pagar. Tetapi ia tahu, itu ayahnya Arqi.

"Arqi...pasti..." ia beralih ke jendela kurus di sisi lain pintu.

Benar saja, sosok Arqi jelas terlihat untuknya. Sedang menoleh pada ayah. Segera saja, tubuhnya melangkah mundur.

"Apa yang kulakukan?" Ia terkejut akan dirinya sendiri.

"Duh!" Salah satu kakinya terantuk sisi springbed. Maiza meringis. Ia mengangkat kaki itu untuk diusap, berharap sakitnya menghilang.

Sadar itu tak ada gunanya, ia menjatuhkan diri di tempat tidur. Bahunya turun. Maiza berbaring.

"Za...istigfar." pintanya pada diri sendiri.

Kata astagfirullah meluncur dari bibirnya.

Hatinya mulai merasa tenang. Namun ia terdiam sejenak. Matanya yang indah menatap bintang-bintang pada plafon kamar miliknya dan bayangan seseorang muncul lagi di sana. Maiza lalu menarik nafas panjang seolah hendak menenggelamkan kepalanya ke dalam air.

"Astagfirullah..." dia mengucapkan itu berkali-kali, berharap sesuatu yang ia inginkan hilang, hilang dari dalam dirinya.

Ia menginginkan itu hilang, tapi rupanya keadaan berkata lain. Matanya justru tertumpu pada satu titik di depan sana. Di dinding kayu atas meja belajarnya.

"Qi..." panggil Maiza seolah sosok itu nyata.

Arqi sedang di sana. Real. Dalam bentuk foto. Dia berdiri di depan mereka, sedang terikat di tiang. Kawan-kawannya mengikat dia waktu itu, hanya untuk merayakan keberhasilannya masuk universitas ternama. Maiza juga, seharusnya, namun mereka baik sekali tidak mengizinkan seorang gadis mendapat perlakuan yang sama.

Dirinya tertawa. Tawa yang lepas.

Maiza sedikit terhibur. Akan tetapi, sedih kembali datang saat semua kegembiraan itu selesai.

"Qi..." matanya beralih pada foto yang di atas, foto sahabatnya yang sedang senyum. Dia terlihat...

Manis...

Dan baik...

"Qi..." Maiza mengucapkan satu kalimat lagi. Kalimat yang pilu. Menusuk nusuk hingga pada kalbu. Kalimat yang ditujukan pada Arqi, sahabatnya. Kalimat yang hanya dapat dibayangkan oleh dia yang merasa sedih untuk seseorang.
***

Remaja 26 (Dilanjutkan Part2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang