Cepat dan Soal Jadi Perempuan

211 11 31
                                    

Chi, aku ada masalah...

Maiza menuliskan itu di layar androidnya. Ia sedang berbaring di tepian springbed sambil ngecas. Bulir bulir air berjatuhan dari mata. Maiza menyeka berkali-kali bersama hidung yang meler. Sebentar-sebentar gadis itu mampu menahan perih di hati, sebentar-sebentar merasa tidak sanggup.

"Arqi bodoh." Ucapnya menangis lagi.

Chi, aku ada masalah...

Maiza kembali lagi pada kalimat itu. Belum terkirim. Winci pasti sedang menunggu pesannya di sana. Maiza sudah bilang akan bertemu Arqi hari ini, pagi tadi. Winci membuatnya berjanji akan bercerita tentang apa yang terjadi.

Winci mengenal Arqi. Tidak secara langsung. Tapi mereka mampu saling mengakrabkan diri saat pertama kali bertemu. Entah bagaimana. Hanya klik. Sekali klik. Rasanya seperti itu. Ini bukan berarti mereka saling suka dalam artian lebih. Arqi hanya merasa tenang Maiza dekat dengannya. Teman kuliah pertama yang dikomentari baik oleh Arqi. Maiza ingat Arqi mengiyakan dirinya boleh jadi teman Winci saat ia bertanya dahulu.

"Kok Arqi lagi?" Maiza semakin menangis. "Arqi bodoh. Aku seperti anak kecil."

Maiza membenamkan wajahnya di bantal. Dia menangis lagi. Kali ini dengan suara. Tangan yang memegang hp jatuh ke bawah, tetapi tinggi tempat tidur tidak membuat itu membentur lantai.

"Kau kan tidak perlu marah padaku."

Maiza kembali menatap tembok. Hp dia angkat lagi.

"Iiii...kok Arqi yang muncul?" Maiza protes masih dengan tangis. "Pergi! Pergi!".

Telunjuk Maiza menekan-nekan kasar layar.

Ck ck ck. Anak ini. Usianya saja yang dewasa. Tingkahnya benar-benar tidak.

"Maizaaa..." suara dari luar membuatnya tersontak.

"Itu mama." Maiza panik. Segera dihapusnya air yang masih tersisa. Tubuh dibuat bangun. Ia nyaris melompat turun. Dia harus segera keluar. Jika tidak, mamanya...

"Zaaa...." mama berteriak lagi. Nadanya seperti seorang ibu tiri.

"Ya, Ma. Maiza datang." Maiza membalas dengan teriakan pula. Dia bilang datang, padahal masih tinggal sejenak menenangkan diri dan memperbaiki penampilannya.

Hanya sebentar, tetapi cukup membuat mamanya mengeluarkan jurus nasihat.

"Kamu ngapain, Maiza? Tiba waktu makan, anak perempuan itu sudah harus ke dapur persiapkan makan keluarga. Kamu tega sekali buat mama melakukan semuanya sendiri." Kata mama sambil terus bergerak memindahkan sayur di mangkuk.

"Maaf, Mama." Maiza hanya bisa ucapkan itu.

"Ambil mangkuk!" Perintah itu membuat Maiza spontan bergerak.

"Ini, Ma."

"Bawa ini ke sana." Mama menukarnya dengan sesuatu yang berisi.

Maiza bergerak lagi.

"Siapkan piringnya." Mama menyambungnya lagi begitu mangkuk sudah diletakkan.

"Baik, Ma." Maiza bergerak ke tempat benda-benda itu berada.

Mama dengan anggun membawa mangkuk yang sudah berisi ikan ke meja.

Maiza memperhatikannya. Maiza sangat menyukai mama. Sayangnya, ia selalu takut mendengar nada dan ekspresi mama. Dia lebih suka menghindar daripada tahu kalau bunda yang membuatnya ada itu sedang marah. Mama sejujurnya sangat baik. Ia tidak lembut, sepertinya secara khusus tidak ke Maiza. Maiza berusaha tegar tiap kali dia merasakan itu dan akan menangis nanti. Di kamarnya.

"Duh, Za...jangan lambat-lambat."

Tuh. Mama mengomel lagi saat menoleh dan mendapati Maiza belum selesai.

"Maaf, Ma." Maiza menghitung piring yang ditumpuk. Jumlahnya pas 12. Dia membawanya segera ke meja.

"Hati-hati, Za." Mama bersuara lagi. Kali ini ia sambil menuangkan sambel pada piring kecil.

Mama takut sekali Maiza akan menjatuhkan piring-piring itu. Benda-benda itu tidak cantik. Mereka juga punya banyak jika benar-benar jatuh. Hanya saja, entah harus diapakan, Maiza selalu tampak tidak bisa membawa apapun yang berkaca di tangannya. Dia sudah sering membunyikan alarm tanda pecah.

Prang! Tuh kan. Baru saja dibilang, sudah ada alarm pecah.

"Za, kamu jatuhkan apa?" Kali ini papa muncul dari balik tirai penutup pintu dapur. Papa tampak tertarik, bukan cemas.

Maiza cemberut.

"Za, kamu tidak perhatikan barang yang kamu ambil tadi. Lihat! Kamu pecahkan gelas." Mama menunjuk-nunjuk dengan sendok.

Hariku buruk...

Papanya Maiza tertawa, "Biar Papa yang bersihkan. Kamu duduk saja."

"Papa selalu manjakan Maiza. Tidak, Pa, biar Maiza yang bersihkan. Dia harus belajar hati-hati. Kita tidak bisa selalu ada di dekatnya nanti. Usianya sudah 26."

Papa tidak menggubris.

"Malah kamu yang dekat sekali sama Papa." Sikap papa, apa yang dilakukannya sekarang, membuat Maiza memanggil memori beberapa bulan yang lalu.

Maiza menarik dan menghela nafas. Dia merasa terenyuh, oleh papa dan kata-kata sang adik. Tapi ia tidak boleh menangis di sini.

Di luar, dalam kamar mereka, 4 adik perempuannya terdengar tertawa-tawa. Maiza menoleh, tapi jelas ia tidak bisa melihat mereka. Tembok membatasi ruang kecil ini dengan ruang di depan. Demikian pula ruang-ruang kamar.

"Za, cuci tangan."

"Ya, Ma."

***

Remaja 26 (Dilanjutkan Part2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang