Hanya Situasi Biasa

64 4 0
                                    

"Ar...qi..." Fiqi tergagap.

Pemuda itu di ambang pintu. Berdiri dengan berpegang. Rambutnya sudah rapi. Jaket bertengger pada tubuh. Wajahnya masih pucat dan berpeluh. Matanya sayu tapi masih ada sisa kekuatan di sana.

"Ni anak sakit malarindu aja kali ya?" Anto berbisik pada Ipul.

Ipul menyodok lengannya dengan gerakan cepat sementara Fiqi menginjak kakinya.

Anto meringis.

"Apa kalian ini, kompakan banget." Anto protes.

"Qi, kamu kenapa keluar? Di sini dingin."

Salahsatu teman gadis mereka yang sedari tadi hanya di teras rumah, menegur dengan suara cempreng dan manis. Tapi ia tidak mendekat sekali. Hanya sampai batas melewati teman-temannya sedikit.

Arqi menoleh. Beberapa saat. Lalu kembali pada 3 orang di bawah sana.

"Maiza mana?" Itu yang terucap dari mulut.

Suara Arqi tidak lemah tetapi masih menandakan bahwa ia lemah.

Fiqi, Anto dan Ipul saling melempar pandangan. Mereka yakin mendengar sesuatu. Tetapi kelihatannya tidak ada satupun yang jelas.

Kawan-kawannya menoleh ke arah mereka, paham tak harus menjawab. Ketiga makhluk di bawah sana diberi kepercayaan penuh untuk itu. Sebab, ketiganya adalah angkatan yang sama dengan Arqi. Dan ketiganya adalah orang yang dipercaya kak Damar untuk mengurus di sini.

Suasana diam itu membuat Arqi mengerti suaranya kecil. Ia memaksakan diri berjalan ke teras. Anak-anak perempuan merasa ngeri melihatnya. Namun mereka tahu mereka tidak boleh menyentuh. Anak laki-laki berlarian naik. Tetapi ada yang tinggal di tangga dan hanya sedikit yang berhasil menangkap Arqi. Arqi nyaris saja jatuh di tangga. Ia berjalan terlalu di pinggir untuk menghindari kawan-kawan di teras.

"Pul, Maiza mana?"

"Mampus deh kita." Fiqi tak sengaja mengumpat, tubuhnya diputar membelakangi.

Arqi melihat dia dengan kening yang berkerut. Matanya beralih ke Anto yang dibalas dengan senyuman dipaksa. Ia kembali lagi pada Ipul.

Arqi lalu sadar ada seorang lagi yang tadi di kamarnya tapi menghilang.

Ketiadaan orang itu membuat hatinya berubah cemas.

"Maiza mana?" Ia berusaha lembut bertanya pada anak-anak cewek.

Beberapa anak laki-laki di tangga memberi isyarat seperti angin dan slow motion supaya mereka tidak menjawab.

Beberapa anak perempuan hampir saja menghindar dengan cara hendak minta izin masuk ke dalam. Beruntung kawannya bertindak cepat menghentikan. Seperti sudah pernah ada kejadian sebelumnya, mereka paham tidak boleh berbuat tindakan yang lebih mencurigakan lagi.

Arqi mengarahkan kepalanya ke tangga. Sebelum ia benar-benar menoleh, beberapa sudah jalan seolah tadi mereka hanya dihentikan oleh waktu yang ditekan stop.

"Cepat sembuh, Bro." Beberapa cowok mengucapkan itu, meletakkan dukungan lewat sentuhan di bahu.

Salah seorang dari mereka terhenti di pintu. Ia berkacak pinggang di sana.

"Wah ternyata telat kita datang, para gadis sudah ambil kursi duluan."

Beberapa orang di dalam yang mendengar itu menoleh sejenak. Ada yang cengar-cengir, datar, atau bahkan cuek dan kembali ke aktivitasnya.

Jumlah mereka benar-benar sangat banyak. Ruang tamu rumah Arqi seperti didatangi para tamu kondangan. Yah walaupun pakaian mereka tidak wah. Meski begitu, jumlah ini belum seberapa.

Remaja 26 (Dilanjutkan Part2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang