Pertama dalam Nafas

348 16 9
                                    

Arqi pulang. Tempat peraduan bergaya adat sulawesi  itu tampak sulit dinaiki tangganya. Hatinya yang membuatnya berat. Pemandangan Maiza pergi bersuara tangis seolah terus menjadi bayangan yang menghalang di hadapannya.

"Assalamualaikum." Mulutnya secara refleks berucap saat kaki melangkah masuk.

Terdengar suara wanita dari dalam, menyahut. Sepertinya sang ibu sedang berada di atas. Maka Arqi memaksa dirinya menuju tempat ibu dan mencium kedua tangannya.

"Ibu akan menjahit apa hari ini?" Ia memaksakan sebuah senyuman. Sayangnya, Arqi sendiri nenyadari bahwa yang dia bisa hanyalah senyuman bertaraf rendah.

Jelas saja ibu memandangi anandanya begitu lama. Dengan mata yang berada di balik benda kembar bulat, wanita 50 tahunan itu tersenyum.

"Apa ada sesuatu, Nak?" Pertanyaan itu sedikit mengobati lukanya hari ini.

Luka.....terlukakah aku?

Ia menatap bundanya dalam diam.

Ibu...

Ia bangga memiliki ibunya. Ibu yang begitu baik dan bersuara lembut. Ibu selalu tampak 'pure' di mata Arqi. Ibu tak pernah membuatnya belajar seperti apa marah itu. 15 tahun, ia dan ayahnya justru mengajarinya menghalau rasa marah menjadi apapun. Apapun asal bukan marah. Tetapi hari ini...entah bagaimana...entah apa yang harus ia lakukan.

Luka...aku terluka...

"Arqi..."

Arqi tersadar. Ia kembali pada ibunya. Namun dia malah menarik kedua ujung bibirnya ke belakang. Posisinya yang duduk di atas lutut seperti boneka yang sedang dipajang, dia ubah jadi bersila. Lesung pipinya muncul.

"Aku baik-baik saja, Ibu. Tak ada yang perlu dikhawatirkan."

Ah Arqi, kenapa kau tidak berterus terang saja?

Ibu mengenal Maiza. Sangat baik. Ia bahkan menyukai Maiza. Jika Maiza datang, Maiza yang pemalu selalu berhasil ibu buat dekat dengannya. Ibu tidak punya anak perempuan. Tidak satupun, kecuali Maiza yang ia anggap anak sendiri. Sayangnya, Maiza selalu takut pada ibu. Anak itu mudah sekali jadi penggugup saat bersama ibunya Arqi.

Ibu menghela nafas. Tapi ia juga memberi Arqi sebuah senyuman. Ia menatap Arqi tanpa kata. Senyum Arqi pun tidak berubah.

"Baiklah..." ibu yang berkata pada akhirnya.

Arqi hanya mengangguk masih dengan senyuman itu. Biasanya, saat sedang duduk seperti ini, Arqi akan membantu ibu untuk sekedar memasukkan jarum, merapikan benang, atau menjahitkan payet. Oranglain mungkin akan menganggap ia aneh. Ah tidak juga, karena zaman sekarang laki-laki berprofesi penjahit sudah banyak. Arqi tidak bilang itu akan jadi profesinya kelak. Itu hanya akan jadi 'skill' untuk membantu istrinya nanti.

Istri...

Maiza...

"Oh tidak tidak. Aku tidak pernah bilang Maiza akan jadi istriku."

"Kau bilang apa, Nak?" Ibunya yakin ia baru saja mendengar Arqi mengucapkan sesuatu.

Arqi membulatkan mata, "Ng? Oh. Uh. Ah. Tidak, Bu. Tidak ada apa-apa." Arqi tersenyum lagi. Kali ini bibirnya menipis. "Aku...aku sebaiknya masuk kamar, Bu. Ng...hari ini...kurasa...aku akan di rumah saja."

Ibunya tersenyum lebar mendengar itu. Ia mengangguk sedikit dengan mata yang seperti melakukan anggukan besar. Arqi secepat mungkin berdiri sambil membalikkan tubuhnya. Saat tegak, ia malah menarik satu tarikan nafas panjang. Pintu kamarnya begitu jauh di sana. Hari ini, untuk pertama kalinya, ia tidak menyukai ruangan tengah yang lebar ini. Lebar tanpa kursi, tetapi hanya ada karpet dan sebuah mesin jahit di belakangnya dan sebuah lemari di sampingnya. Sekelebat bayangan malah seperti baru saja lewat menuju pintu tanpa daun yang menghubungkan ruang ini dan ruang tamu. Bayangan itu seperti menurunkan bahunya dan memudarkan semangatnya kembali. Ia merasa itu tadi adalah Maiza.

Maiza lagi...

Arqi menjadi merasa sangat lelah.

"Itu hanya khayalanku." Ucapnya sambil masuk kamar.

Arqi meletakkan handphonenya di meja. Ia sendiri melepas baju dan membuang dirinya di atas kasur. Saat ia melakukan itu, bunyi karet terdengar. Bunyi itu terdengar hilang saat ia membalikkan badan, berbaring di atas likukan lengan kanannya. Tetapi ia secepat mungkin menutup mata sambil berdesis saat yang dilihatnya justru fokus hanya pada Maiza yang sedang tertawa di sana. Maiza dalam foto yang bersama ia dan para sahabat-sahabat mereka.

"Padahal ada banyak kami di sana. Kenapa dia? Foto pacarku juga ada di samping foto itu. Harusnya lebih kelihatan malah. Kenapa jadinya Maiza?"

Arqi memukul-mukulkan kepalan tangan di atas kasur, tetapi tanpa emosi. Ia menghadap ke atas lagi bersama satu tarikan nafas. Kepalanya kini menjadikan telapak tangan sebagai bantal. Sayang sekali. Punggung menangis Maiza yang pergi malah muncul di langit-langit kamar.

Itu membuat Arqi menarik nafas dengan kesal, sambil menutup mata. Hembusannya dia keluarkan bersamaan dengan mata yang terbuka.

"Okay. Aku pasti sudah gila."

Ia membalikkan badannya lagi ke arah tadi. Lengannya tidak lagi jadi penopang karena kini tangannya menempel pada dahi. Arqi menutup mata. Ia memaksakan tidur, tetapi kepalanya justru sakit. Akhirnya, Arqi melekukkan tubuhnya hingga seluruh bagian bawah tubuh itu naik di atas kasur.

"Maiza. Maiza. Maiza. Maizaaa." Kata yang terakhir membuatnya bangun dengan spontan.

Foto tadi tiba-tiba diingat lagi. Kepalanya pun menoleh ke sana. Tubuhnya turun dari tempat tidur dan mendekati foto itu.

"Harusnya aku tidak membiarkanmu terletak di sini."

Ia mengambilnya, tetapi untuk meletakkannya terbalik. Foto di sebelahnya jatuh. Arqi menatap bingkai yang satu itu, sedang tidak terbalik. Tidak pecah. Mungkin karena ada karet di bagian belakangnya. Ia menatapnya, tetapi tidak berniat mengambilnya.

Perasaannya marah, tetapi mata menatap nanar pada bingkai yang baru saja ia balik. Ia berbalik menjauh, tetapi mendekat lagi hanya untuk membuat benda itu balik berdiri. Ia membetulkan posisinya lagi masih dengan perasaan yang sama.

Arqi sendiri terkejut. Ia mematung seperti orang bodoh sejenak. Mengedip-ngedipkan mata karena sedang berpikir. Menatap pada Maiza yang tentu masih dengan tawa di sana.

"Ha. Kau selalu menertawakanku." Ia mengejek, tetapi juga tersenyum.

"Aku tahu. Kau yang membuatku selalu bisa marah." Arqi menghela nafas sekali, melepas semua amarah yang tadi dia punya.

"Ssssshhhh..." Arqi menunduk dengan menyembunyikan matanya di balik telapak. "Aku membuatmu menangis...lagi."

Ia lalu tertawa hanya dengan suara hembusan nafas, "Kau seperti anak kecil hari ini."

***

Remaja 26 (Dilanjutkan Part2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang