Kawan atau Kawan?

154 9 3
                                    

"Maiza, kamu lagi dimana?" Tanya suara di seberang sana. Itu suara seorang gadis. Di belakangnya terdengar cowok maupun cewek sedang ribut-ribut.

"Za, kamu jadi datang kan?" Suara cowok menimpali.

"Za, mau kujemput gak?" Cowok lain nimbrung.

"Hei hei, lo jangan bercanda deh, Yu! Maiza kita tuh nggak mau dibonceng sama cowok." Seorang cewek menegur.

"Lah, tapi kalo sama Arqi oke. Kok aku nggak?"

"Sst diam! Kita lagi telponan sama Maiza ini!" Samar-samar gadis pertama menegur. Sepertinya ia sedang berbisik-bisik.

Maiza tersenyum-senyum saja sambil tetap memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Tangan kirinya mempertahankan handphone di telinga. Ketika ia mendengar dirinya boleh dibonceng Arqi sementara yang lain tidak, tangan kanannya terhenti. Tak ada aktivitas. Senyumnya menjadi hanya ujung bibir yang ditarik ke belakang, tanpa ekspresi sarat senang ataupun sedih. Itu hanya lebih seperti rasa memaklumi.

"Kalian sudah ada semua?" Ia berubah menjadi sangat dewasa.

"Belum, Za. Tinggal kamu nih, kak Damar, sama Arqi."

Maiza menghela nafas mendengar itu.

Arqi...

"Loh kak Damar biasanya cepat. Kok dia lambat hari ini? Jannah udah datang belom?" Maiza bergerak ke arah lemari obat.

Kawannya terdiam sejenak. Mungkin saja kepalanya sedang diarahkan mengarungi sekumpulan mereka.

"Oh iya, Jannah juga belum kelihatan. Eh tapi tadi perasaan ada Jannah deh."

"Cek yang benar. Jannah bisa ngamuk kalo ketinggalan."

"Beh ngamuk gimana. Paling nangis doang. Kak Damar tuh yang bakal ngamuk adiknya ilang." Suara tawa terdengar lagi dari seberang.

Maiza senyam-senyum lagi. Mereka berani sekali kalau kak Damar lagi nggak di tempat.

Ah nggak juga. Ada kak Damar pun, beberapa dari mereka asyik-asyik aja tuh walau dimarahin kak Damar.

"Za, mau dijemput gak?" Suara gadis lain terdengar lagi.

Maiza terdiam.

Biasanya Arqi yang jemput...

Hmm...

Rasanya Arqi nggak pernah absen nganterin...

Tak pernah absen?

"Za, Arqi tuh nggak bakalan jemput kamu lagi..." salah satu temannya mengingatkan, seolah tahu apa yang ada di pikiran Maiza.

"Nita, ssst!" Yang sepertinya memegang hp menegur. Suaranya jauh lebih dekat daripada suara-suara lain.

"Biarin, Fiq, ni anak pasti mau bilang Arqi mau jemput. Padahal ujung-ujungnya jalan kaki dari rumah. Arqi tuh keterlaluan. Dia...ngm ngm ngm."

Kalimat terakhir gadis itu, Nita, malah membuat kening Maiza mengerut.

"Halo, Nit, kamu nggak apa-apa?"

"Nggak papa, Za. Dia cuma keselek." Fiqi, si pemegang hp selanjutnya yang menyahut.

"Kamu tuh hati-hati ngomongnya. Maiza malah bisa sedih kalo..."

"Woi woi. Masih aktif nih! Masih aktif!"

"Kalian tuh kenapa sih? Rempong amat. Maiza nggak pernah permasalahin kita mau bilang apapun. Kok jadi main sembunyi gini?"

"Za..." gadis lain memanggilnya.

"Rania? Ya, kenapa, Ra?"

Gadis itu terdengar meminta izin lalu membawa handphone menjauh dari yang lain. Seorang kawan sempat berteriak menanyakan tindakannya. Namun tidak ada kelanjutan kecuali Rania yg berbicara di tempat yang lebih tenang.

"Za, Arqi membuatmu nangis?" Ia silangsungan.

Maiza terpaku.

Darimana Rania tahu?

"Aku melihat kalian di taman itu, Za. Awalnya aku cuma liat kamu jalan sambil nangis-nangis."

"Rania, apa kamu memberitahu yg lain?"

Maiza panik.

Rania malah tertawa, "Nggaklah, Za. Anak-anak bisa ngamuk. Aku nggak maulah nambah masalah."

"Kamu tahu sendiri kan. Anak-anak itu lagi jengkel-jengkelnya sama Arqi. Kalau mereka tahu si Arqi bikin kamu nangis, tahu deh gimana. Apalagi kak Damar sama kak Tara. Anti mereka."

Kalau bisa dibuat jadi emotikon atau digambar jadi manga, setetes air besar akan ada di kening Maiza.

Maiza bisa membayangkan apa yang akan dilakukan kak Damar dan kak Tara. Mereka sebenarnya kakak yang baik. Tapi jika di antara kami ada yang sudah keterlaluan. Evil mereka akan keluar kapan saja. Apalagi kak Tara.

Maiza bergidik.

"Tidak. Kak Tara nggak akan apa-apain Arqi. Soalnya kak Tara sangat menjaga batasan. Kecuali..." Maiza bergidik. "Tapi kak Tara sadis ngomongnya."

"Za, kamu ngomong apa?" Rania sepertinya mendengar omongan Maiza.

Maiza menutup paksa mulutnya.

Damar dan Tara. Wajar keduanya yang paling marah. Secara, usia mereka yang paling di atas. Mereka itu yang dituakan, guardian yang paling dipercaya para orangtua kompleks.

"Ra, nanti kita ngomongnya ya. Aku mau siap-siap berangkat. Tenang, ettaku yang antar kok." Ujarnya.

Raina terdengar hanya mengucapkan oke. Mereka saling membalas salam berupa doa keselamatan. Maiza menutup komunikasi mereka. Ia lalu menarik tas ke punggung. Jaket tak lupa diambil.

Dari bawah, adiknya terdengar berteriak. Ia menyahut, berusaha lembut. Langkahnya kemudian tergesa. Bergerak mengunci lemari, menyembunyikannya, menutup pintu hingga berdebam.

Ia kaget. Itu seharusnya tak boleh.

"Maaf..." ucapnya lalu melepas gagang pintu kamar. Maiza setengah berlari menuruni tangga.

Dari bawah, sang ayah dengan suara bijak yang agak bercanda menegurnya untuk pelan.

Samar, cibiran terlihat di wajah adik-adik. Tapi Maiza tidak mau mengubris. Bahkan menganggap itu tak ada.

Aku tak mau merusak hariku...

***

Remaja 26 (Dilanjutkan Part2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang